Bullying And Bloody Letters

Pindah Kamar



Pindah Kamar

0Sandra melenggang sesuka hati memasuki rumah Mentari, seolah rumah itu benar-benar rumahnya sendiri.     
0

Sandra pun berjalan menaiki tangga atas, dan dia menghampiri kamar Mentari.     

"Sandra kamu mau kemana Sandra!" teriak sang ayah.     

Tapi Sandra lagi-lagi tak memedulikannya.     

Baginya yang terpenting dia bisa mendapatkan apa yang dia mau.     

      

Ceklek!     

Sandra membuka pintu kamar Mentari tanpa permisi.     

Dan tampak mentari sedang tertidur pulas dengan tubuh di tutupi selimut.     

      

"Wah, enak sekalinya, Tuan Putri, sedang tertidur pulas," ujar Sandra.     

Sandra berjalan mendekati Mentari. Lalu dia membuka selimut itu.     

"Woy bangun!" bentak Sandra.     

Seketika Mentari yang kaget pun menjadi terbangun.     

Dan di belakang, tampak Dimas sedang meneriaki Sandra yang sudah berbuat tidak sopan.     

"Sandra! Apa-apaan kamu ini! Ayo cepat pulang!" teriak Dimas.     

Dan seketika Sandra menoleh kearah Dimas lalu melihat dengan tatapan yang marah.     

"Papa, kenapa sih selalu membela dia!" tukas Sandra sambil menunjuk kerah Mentari.     

Sementara Mentari hanya menunduk saja.     

"Tentu saja, Papa membela Mentari, karna Mentari tidak bersalah. Dan kamu yang selalu semena-mena terhadapnya!" jawab Dimas.     

"Aku tidak semena-mena, tapi aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan! Kalau bukan karna dia Mama tidak akan melukai Papa dan tidak akan masuk penjara seperti sekarang!"     

"Sandra! Tapi itu semua salah ka—"     

"Dan harusnya aku masih tinggal dengan nyaman di rumah ini!" tegas Sandra menyela ucapan sang ayah.     

      

"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandra!" Dimas menarik tangan Sandra dan hendak menyeretnya keluar.     

"Pa! Papa! Aku mau di bawa kemana!?" teriak Sandra.     

"Ayo biar Papa antarkan kamu pulang ke tempat nenekmu!" ujar Dimas.     

"Enggak! Aku gak mau pulang ke rumah nenek yang butut itu!"     

"Tapi kamu harus terap di sana! Karna kalau kamu di sini kamu akan menyakiti Mentari!"     

"Tidak! Aku tidak mau!"     

Ughhhh! Sandra menepis kasar tangan sang ayah.     

Dan dia berhenti sejenak mengatur nafasnya.     

"Papa, itu pilih kasih!" pekik Sandra.     

"Papa gak pilih kasih, tapi Papa hanya melakukan, apa yang harusnya Papa lakukan!" ujar Dimas.     

"Membiarkan aku menderita tinggal di rumah jelek, dan membiarkan gadis itu tinggal di tempat yang mewah! Apa itu namanya bukan pilih kasih!?" tanya Sandra.     

"Sandra! Papa melakukan ini karna salahmu juga, karna salah Mama mu! Kalian sudah menyakiti Mentari dan bahkan sudah menganggap Mentari sebagai pembantu di rumahnya sendiri!"     

Dimas memegang pundak Sandra.     

"Apa, kamu ini masih belum sadar siapa Mentari?!"     

"Kalau bukan karna Mentari, hidup kita akan jauh lebih susah dari pada ini! Kamu masih ingat, 'kan bagaimana kondisi tempat tinggal kita dulu! Bahkan rumah nenekmu itu jauh lebih mewah di banding tempat tinggal kita dulu!" pungkas Dimas yang menohok hati Sandra.     

      

Tapi meski pun begitu, sama sekali Sandra tak mau mengalah, dia tetap teguh kepada pendiriannya.     

Bahwa apa yang ada di rumah ini adalah hak milik ayahnya yang tentunya milik dirinya juga.     

Dan karna prinsip itu, Sandra tetap tak mau kalah dan terus mengusir Mentari agar pindah dari kamarnya yang sekarang.     

"Sudah! Aku tidak mau berurusan panjang dengan, Papa! Dan urusanku kemari adalah Mentari!" tegas Sandra.     

Lalu Sandra membongkar lemari Mentari dan mengeluarkan idi di dalamnya, tak hanya itu, dia juga mengobrak-abrik isi kamar itu. Hingga suasana kamar nyaris seperti kapal pecah.     

      

Dimas semakin geram melihat tingkah anaknya, dan tanpa ragu lagi, Dimas menarik tangan mentari lalu membawanya keluar!     

      

"Papa! Lepaskan, Papa!"     

"Tidak! Kali ini Papa tidak akan melepaskanmu! Dan tidak akan membiarkan mu menjadi anak yang nakal lagi! Kamu harus berubah Sandra!" oceh Dimas.     

      

Mentari pun turut keluar mengikuti Sandra dan juga Dimas.     

"Stop, Om!" teriak Mentari.     

"Iya, Tari! Ada apa?" tanya Dimas.     

"Sebaiknya biarkan saja, Kak Sandra tinggal di sini!" ujar Mentari.     

"Tapi, Tari, dua itu—"     

"Om, kasihan kalau dia tinggal di rumah nenek, mungkin Kak Sandra juga ingin dekat dengan Om Dimas," tutur Mentari dengan wajah ibanya.     

"Tari, kamu itu terlaku baik. Kalau kita membiarkan dia tinggal di sini, bagaimana kalau dia berbuat yang tidak-tidak denganmu! Dia itu licik seperti Mamanya!" pungkas Dimas.     

"Tari, yakin kalau, Kak Sandra tidak akan seperti itu, iya kan, Kak?" tanya Mentari kepada Sandra.     

Dan dengan terpaksa karna tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, akhirnya Sandra pun mau mengangguk dan mengiyakan ucapan Mentari.     

"Iya, Pa. Aku berjanji tidak akan berbuat jahat lagi kepada, Tari. Tapi biarkan aku tinggal di sini ya," ujar Sandra.     

"Apa ucapanmu itu bisa, Papa, pegang?"     

"Tentu saja, Pa. Kalau sampai ketahuan aku akan mencelakai Mentari, maka Papa boleh mengusirku!" pungkas Sandra.     

      

"Tidak apa-apa, Om. Kita kasih kesempatan buat, Kak Sandra," ujar Mentari.     

Akhirnya hati Dimas pun luluh karna ucapan Mentari, dan mempercayai ucapan Sandra.     

Padahal sejujurnya dari hatinya yang terdalam, Dimas masih sangat meragukan ucapan putrinya sendiri.     

Dia takut jika Sandra akan merencanakan sesuatu yang buruk kepada Mentari.     

      

Sebenarnya Dimas juga tidak tega harus membiarkan sang anak tinggal dengan neneknya, sementara dia tinggal di rumah mewah bersama keponakannya.     

Tapi mau bagaimana lagi. Melihat perlakuan Sandra kepada Mentari yang sudah kelewat batas itu, membuat Dimas takut jika kejadian buruk yang menimpa Mentari akan terulang kembali.     

      

Tapi mau bagaimana lagi, Mentari sendiri yang memintanya agar Sandra bisa tinggal kembali di rumah ini. Tentu dia sendiri tidak mau di anggap sebagai ayah yang kejam.     

      

Padahal meski pun tinggal dengan sang nenek, Dimas sudah memberi uang yang cukup untuk Sandra dan neneknya sehingga mereka tidak pernah kekurangan.     

Dan tentunya uang itu berasal dari uang keluarga Mentari.     

Tapi Sandra masih belum cukup dengan semua itu dan dia masih berharap kembali ke posisinya dulu yaitu sebagai putri yang berkuasa di rumah mewah.     

      

      

"Tari, aku ingin tinggal di kamar itu lagi, apa kamu bersedia untuk pindah kamar?" tanya Sandra dengan tatapan yang mengintimidasi.     

Mentari pun tampak bingung menjawabnya, sementara dia sudah mulai nyaman di kamar itu, apalagi, sejak kecil dia memang tinggal di kamar itu. Hanya sejak orang tuanya meninggal dan di asuh oleh orang tua Sandra, semenjak itulah Sandra mulai menguasai kamar itu dan Mentari di suruh pindah di kamar yang sangat sempit.     

Dan sekarang nampaknya Sandra mulai akan melakukan hal yang sama, hanya saja, kali ini caranya lebih halus.     

      

"Tari, kenapa melamun, ayo jawab kamu mau, kan berpindah kamar demi aku?" tanya Sandra.     

"Tapi, kamar yang lain kan banyak, Kak, kenapa Kak Sandra tidak memilih salah satu saja?"     

"Aku tidak mau, karna aku hanya merasa nyaman di kamar ini," pungkas Sandra.     

"Oh, ya sudah kalau begitu aku akan pindah ke kamar yang lain," ujar Mentari dengan terpaksa.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.