Bullying And Bloody Letters

Serangan Ane



Serangan Ane

0Setelah beberapa menit berlalu mobil pun berhenti di depan rumah Ane.     
0

"Di sini kan alamatnya?" tanya sopir taksi.     

"Enggak, Pak lanjut aja, soalnya saya dan adik saya mau pergi ke rumah, saudara," ujar Fanya.     

Dan si sopir taksi itu pun mengikuti ucapan Fanya.     

Lalu Fanya menghentikan, sopir taksi itu tepat di depan apartemennya.     

      

"Stop di sini pak," ujar Fanya.     

"Iya, Mbak." Jawab sopir taksi itu.     

"Pak, boleh minta tolong bantu adik saya ini turun," ujar Fanya.     

"Loh, memangnya ada apa dengan adiknya?" tanya pak sopir.     

"Dia ketiduran, Pak, tadi dia bilang kepalanya pusing," tukas Fanya.     

Dan si sopir taksi itu pun percaya begitu saja.     

Dia mengira, Fanya dan Ane, memang kaka beradik sungguhan. Sopir taksi itu tak mendengar obrolan Fanya dan juga Ane saat di mobil.     

Karna sejak tadi dia memakai earphones di telinganya sambil mengendarai mobil. Sehingga dia tak mendengar sama sekali selain musik dan panggilan telepon.     

      

 Fanya merasa sangat bersyukur  akhirnya dia bisa membawa pulang Ane ke apartemennya.     

Dan dengan begitu dia akan dengan muda menyekap dan menyiksa Ane. Bahkan dia berencana akan membunuh Ane.     

Setelah sopir taksi itu pergi kini tibalah Fanya menikmati permainannya.     

Dia mengikat tubuh Ane dan menyekapnya di apartemen.     

      

Beberapa saat berlalu dan Ane mulai terbangun dari pingsannya.     

Dan dia mendapati dirinya sedang berada di tempat yang asing. Dan dengan kaki dan tangan yang sudah terikat kencang.     

"Loh, aku ada di mana ini?" tukasnya yang bingung.     

Dan di hadapannya sudah ada seorang wanita tadi yang satu mobil taksi.     

"Loh, Embak?" Ane menunjuk kearah wanita itu dengan wajah yang sedikit heran.     

"Iya, saya, Dik. Tadi kamu pingsan jadi saya bawa pulang ke rumah," ujar wanita itu.     

"Tapi, kenapa kaki dan tangan saya diikat begini?" tanya Ane lagi.     

"Oh, kalau soal itu, karna saya takut Adik, yang manis ini akan lari."     

"Loh kenapa?"     

"Ya, karna saya ingin membunuh kamu!" tegas Fanya.     

"Apa?!" Ane pun kaget mendengarnya.     

"Aku, benar-benar ingin membunuhmu, Ane!" tegas Fanya sekali lagi.     

Dan perlahan Ane melepas, wig, kaca mata serta menghapus riasan wajahnya.     

"Kamu tahu, 'kan kalau akhir-akhir ini ada seorang gadis yang sangat membencimu?" tanya Fanya hdengan tatapan yang mengancam.     

"Fa-nya?!"     

"Iya, Ane. Ini aku Fanya, sahabatmu, yang sudah membunuh Keysia!"     

"Apa yang kamu mau dariku?!"     

"Apa lagi, ya jelas nyawamu lah!"     

"Fanya! Please lepasin aku! Aku benar-benar tidak akan memberitahu keberadaanmu ke polisi!"     

"Wah, tawaran yang bagus sih! Tapi sayangnya aku tidak tertarik sama sekali tuh!"     

"Fanya, kenapa kamu bisa menjadi sekejam ini?"     

"Kenapa ya?" Fanya pura-pura menggaruk-garuk kepalanya.     

"Karna Fanya yang ku kenal tidak sekejam ini?" ujar Ane.     

"Wah, kata siapa!?" Fanya pun tampak tertawa melecehkan Ane.     

"Ok kamu memang kejam tapi, kamu yang dulu tidak sekejam ini! Sekarang itu kamu seorang pembunuh, tapi aku yakin kamu masih bisa berubah menjadi Fanya yang dulu, Fanya yang ku kenal, Fanya sahabat ku," pungkas Ane.     

"Ummmppp, hahaha haha! Sok tahu kamu itu!" Fanya malah tertawa sejadi-jadinya.     

"Kamu pikir aku masih mau menjadi sahabatmu!? Seorang gadis gila yang suka kerasukan tidak jelas!"     

"Fanya, aku mohon ayo kembali menjadi Fanya yang dulu, jangan menjadi Fanya yang seorang pembunuh, aku tahu ini bukan dirimu,"     

"Oh, begitu ya menurutmu? Padahal aku seperti ini sejak dulu lo, kamu dan Keysia saja yang tidak tahu apa-apa soal aku!"     

"Tapi—"     

"Aku itu seorang pembunuh sejak dulu!"     

"Maksudnya?" tanya Ane yang masih tidak tahu dengan apa yang di maksud oleh Fanya.     

Dengar ya!" Fanya mendekat kearah Ane sambil menjambak rambut Ane.     

"Kamu masih ingat Cinta, si gadis bisu itu?" tanya Fanya.     

"Apa, mak-sudnya?"     

"Sebenarnya, dia tidak hilang, tapi dia itu mati!"     

"Mati!?"     

"Iya, Ane!" Fanya mengencangkan jambakannya.     

"Dan aku yang membunuh!"     

"Hah?!" Seketika pupil mata Ane melotot tajam mendengar ucapan Fanya itu.     

"Kamu pikir, aku ini adalah seorang gadis yang penakut seperti kalian. Yang hanya berani membully tapi tidak berani membunuh?!"     

Ane pun menggelengkan kepalanya, "Kamu itu sudah gila, Fanya!"     

"Yah, aku memang gila, Ane. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau, termasuk membunuh kamu!"     

"Fanya, tolong aku—"     

Plak!     

Plak!     

Duas!     

"Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja!"     

Plak!     

"Sudah pasti tidak lah!"     

"Ah, sakit! Fanya! Sakit! Tolong bebaskan aku!" mohon Ane.     

"Wah, tidak. Bisa begitu dong! Kalau aku bilang membunuh ya aku harus membubuhmu sungguhan!"     

"Fanya!"     

Plak!     

Entah berapa kali Fanya terus menampar, menjambak dan memukul Ane. Yang jelas, dia menikmati permainan ini dan tidak akan berhenti sebelum Ane mati.     

Karna memang itulah tujuannya, tiada ampun bagi siapa pun yang sudah berani mengusiknya.     

"Ane, sudah siap untuk mati?" tanya Fanya.     

Dan di tangan Fanya sudah ada pisau yang hendak ia hunjamkah ke tubuh Ane.     

"Fanya, please! Jangan lakukan itu!" teriak Ane memohon kepada Fanya.     

Tapi Fanya tak peduli dia tetal hendak menghunjamkan pisau itu ke tubuh Ane.     

Dan tiba-tiba tubuh Ane pun kejang-kejang.     

Dan dia seketika mengangkat wajahnya ke tas dengan pandangan mata yang kosong, lalu perlahan-lahan bola mata hitamnya berubah menjadi putih seluruhnya.     

      

Fanya mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Ane, dia tahu sebentar lagi Ane akan kesurupan dan akan menyerangnya.     

      

Fanya mulai waspada kepada Ane, dia yang awalnya tak bisa melawan karna tali yang mengikat kuat. Tapi sekarang dia bisa melepasnya dengan mudah.     

      

Crak!     

Beak!     

Ane berhasil melepaskan tali itu dan  setelah itu dia berjalan mendekati Fanya.     

Fanya seketika berjalan mundur, dengan tangan masih mengacungkan pisau yang dia gunakan sebagai tameng.     

      

"Pergi! Kamu jangan mendekati aku! Atau aku akan menusuk tubuh mu dengan pisau ini!" ancam Fanya.     

Tapi sayangnya Ane sama sekali tak peduli, dia masih berjalan mendekati Fanya dengan tatapan yang tajam dan siap menerkam.     

"Minggir!" teriak Fanya.     

      

Lalu seketika ekspresi wajah Ane berubah lagi dia tertawa-tawa lantang.     

Seperti orang yang tidak waras.     

      

Haha haha haha haha!     

Haha haha haha haha!     

Haha haha haha haha!     

Ane mencekik leher Fanya, dan Fanya pun tak tinggal diam dia menghunjamkan pisau di tangan itu ke tubuh Ane, hingga berkali-kali.     

Darah mulai menyembur dari tubuh Ane, tapi anehnya Ane tidak merasa sedikit pun kesakitan.     

Padahal tubuhnya penuh luka akibat  tusukan pisau dari tangan Fanya.     

      

"Sial! Dia tidak bisa mati!" tukas Fanya.     

"Akhhh!" Fanya mulai merasa kesulitan bernafas, tenggorokannya tertekan kuat oleh cekikan Ane.     

Fanya benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karna meski dia sudah berusaha untuk menusuk tubuh Ane, tapi sayangnya semua itu tidak berguna karna Ane tak bisa mati dan masih bisa menyerangnya.     

"Akhhh!"     

Perlahan tubuh Fanya mulai melemas dan dia menjatuhkan pisau itu ke lantai.     

      

      

Klunting!     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.