Bullying And Bloody Letters

Kepergian Sang Ayah



Kepergian Sang Ayah

0Cukup lama Vero enggan memejamkan matanya, karna pandangannya masih terarah kepada sang ayah.     
0

Dia melihat wajah sang ayah yang tampak tenang.     

Dia mulai berpikir, bagaimana jika sang ayah benar-benar pergi, dia bingung dengan nasib sang ibu.     

      

Dan tentunya dia sebagai anak laki-laki satu-satunya harus memikul beban yang cukup berat.     

      

      

***     

      

Ke esokkan harinya, Vero terbangun dari tidurnya.     

Dan mendapati sang ayah masih tampak tertidur pulas di sampingnya, dia meraba kening sang ayah.     

"Loh, kok, kening Papa dingin banget sih?" ujar Vero.     

Dan Vero memeriksa detak jantung dan juga nafas sang ayah, yang rupanya sudah tidak ada.     

"PAPAAA!"     

Vero pun menangis histeris saat mengetahui jika sang ayah sudah tiada,     

      

"Vero asa apa, Sayang?" tanya sang ibu.     

"Papa, Ma!"     

"Papa, kenapa?"     

"Papa udah meninggal!"     

"Apa?!"     

Seketika tangis Sarah langsung pecah saat mendengar sang suami sudah tiada.     

"Papa! Kenapa harus tinggalin, Mama, sih, Pa?"     

"Papa, ayo bangun, Pa!"     

"Papa!"     

Hari itu menjadi puncak hari terkelam bagi Vero dan Sarah sang ibu.     

Mereka harus kehilangan orang yang paling mereka sayangi dan harus menanggung malu karna ulah dari Fanya.     

      

Seberat apa pun cobaan ini, Vero tetap berusaha untuk kuat, karna dia sadar bahwa sekarang, hanya dialah yang menjadi pelindung bagi sang ibu.     

Kebahagiaan sang ibu ada di tangannya.     

      

***     

      

Setelah kejadian itu, Vero memutuskan untuk berhenti dari bermusik, dan dia  memutuskan untuk mengurus perusahaan keluarganya, tentunya masih di bantu oleh sang ibu.     

Kemundurannya di dunia hiburan memang sangat si sayangkan, terutama saat ini kariernya sedang di atas.     

Tentu banyak para fans dari Vero yang sangat kecewa dengan keputusan ini.     

Tapi mau bagaimana lagi, keluarganya lebih penting dari apa pun, dan dia tidak mau melihat sang ibu yang kesusahan karna harus bekerja keras mengurus perusahaannya sendirian.     

      

***     

Sementara itu Fanya yang masih dalam penyamarannya, kini mulai memberanikan diri untuk mencari tempat tinggal baru, dan berpindah dari vila keluarganya.     

Dia sekarang bisa melangkah bebas dengan identitas barunya.     

Fanya kini mengganti namanya menjadi, Sonia Wirawan. Seorang wanita berusia 20 tahun dan berprofesi sebagai mahasiswa.     

Padahal orang asli dalam kartu identitas itu sudah meninggal.     

Fanya mendapatkan semua itu di bantu oleh Melisa.     

Sonia adalah seorang gadis yang sudah menghilang sekitar, Satu tahun yang lalu.     

Dan Melisa yang sudah membunuhnya     

Yah, Melisa masih sama seperti dulu, dia bisa membunuh siapa pun yang menurutnya sebagai pengganggu.     

      

Meski Melisa masih berada di luar negeri untuk melanjutkan studinya, tapi dia dan Fanya masih saling berhubungan baik.     

      

Hubungan kedua gadis gila itu memang sangat dekat, meski pada akhirnya Melisa tidak mendapatkan Vero, tapi baginya Fanya adalah teman yang terbaik.     

Teman yang sama-sama memiliki pemikiran yang sejalan dengannya dan tidak pernah ia dapatkan di mana pun.     

Oleh karna hal itu Melisa selalu membantu Fanya saat Fanya dalam kesusahan.     

      

"Hari ini, aku akan jalan-jalan santai, dan pastinya, aman dari kejaran polisi," ujar Fanya.     

Dia sudah tahu jika sang ayah sudah meninggal, meski begitu terlihat raut kesedihan dalam wajahnya.     

Fanya masih tetap santai, seolah tak terjadi apa pun.     

Memang saat awal mendengar semua itu Fanya merasa sedih, tapi kesedihannya hanya sesaat saja, setelah itu dia sudah bisa melupakan segalanya.     

      

      

Fanya berjalan menuju sekolah untuk memantau keadaan Ane, tentu saja bukan hanya sekedar memantau, tapi dia juga mencari cara untuk mencelakai Ane.     

Baginya dia sekarang sudah bukan Fanya, namanya sudah terlanjur hancur karna berita dirinya yang menjadi buronan.     

      

Dia tidak mau namanya sudah terlanjur hancur, tapi masih bisa melihat Ane melenggang bebas tanpa beban.     

Baginya semua gara-gara Ane, kalau bukan karna Ane dia tidak akan bermusuhan dengan Keysia dan sampai harus membunuh Keysia.     

      

Dan sekarang tiba saatnya dia akan mengeksekusi Ane.     

      

"Yah, kamu harus mati, Ane. Karna orang sepertimu itu tidak pantas hidup berlama-lama. Aku sudah terlanjur hancur, masa depanku juga sudah hilang,  dan sekarang yang aku cari adalah kebahagiaanku, yaitu membunuh kalian yang menyusahkanku," tukas Fanya penuh yakin.     

Fanya menunggu Ane sampai pulang dari sekolah, waktunya dia habisnya hanya untuk menunggu si target keluar dari sekolah.     

Dia tidak peduli dengan yang dia lakukan yang terpenting sekarang dia bisa mendapat apa yang dia inginkan.     

      

      

Setelah menunggu berjam-jam di cafe depan sekolahan, akhirnya  dia melihat  Ane mulai keluar dari sekolah.     

      

"Itu dia, si target sudah keluar," ujar Fanya  penuh bahagia.     

Ane tampak menunggu sang ayah menjemputnya,     

Berkali-kali, Ane melirik jam tangannya tapi sang ayah tidak datang juga.     

Drrt....     

Ponsel Ane mulai bergetar.     

"Halo, Papa sedang berada di mana?"  tanya Ane lewat telepon.     

"Maaf, Ane. Papa tidak bisa jemput, Papa ada meeting mendadak," tukas sang ayah.     

"Yah, Papa kenapa gak bilang dari tadi? Tau begitu Ane pulang naik taksi," ujar Ane.     

"Maaf, Sayang, soalnya mendadak."     

      

      

Dari kejauhan Fanya tampak tersenyum-senyum sendirian.     

Dia tahu, bahwa Ane akan pulang sendirian saat ini.     

"Yah, kini saatnya aku menghabisimu!" ujarnya penuh yakin.     

Tak lama Ane pun menghentikan sebuah mobil taksi dan tepat saat itu juga Fanya menyerobot masuk.     

"Ma-maaf, Dik. Mau arah mana ya?" tanya Fanya, dengan suara yang di buat-buat.     

"Saya mau ke jalan anggrek," jawab Ane.     

"Wah, searah dengan saya, dan kebetulan saya juga sedang buru-buru, kita barengan aja ya, Dik. Biar saya yang bayarin deh," ujar Fanya.     

"Oh, iya deh, Mbak" jawab Ane.     

      

Sebuah langkah awal yang bagus bagi Fanya untuk menghabisi Ane.     

Di dalam mobil taksi itu Fanya memberikan air mineral untuk Ane.     

"Oh, iya, Dik, mau minum?" tanya Fanya.     

Ane menatapnya sesaat, rasanya dia ingin menerima minuman itu, karna memang dia sedang kehausan, tapi mengingat kejadian yang baru saja menimpa Keysia membuatnya enggan menerima apa pun dari orang lain, terutama berupa minuman.     

      

"Maaf, Mbak, saya tidak haus," ujar Ane.     

'Oh, raupannya masih trauma ya' batin Fanya, sambil tersenyum licik.     

"Oh, yasudah," tukas Fanya dan dia membuka botol minuman yang satunya, karna dia memegang dua botol yang satu di taruh racun dan yang satunya tidak. Lalu dia meminum yang tidak beracun di depan Ane.     

Terlihat sekali jika Ane sangat menginginkannya.     

Dan tepat saat itu juga Fanya sengaja menumpahkan tepat mengenai bagian wajah dan dada Ane.     

Seketika Fanya berpura-pura meminta maaf kepada Ane.     

Dan dia menguarkan sapu tangan dari dalam tas.     

Dan sapu tangan itu sudah iya beri obat bius sebelumnya.     

      

"Sini biar saya bersihkan,"     

Fanya membersihkan wajah Ane.     

Dan Ane terlihat sangat risi dan tidak enak.     

"Tidak usah Mbak, biar saya bersihin sendiri—"     

Blek!     

Ane pun pingsan di pundak Fanya.     

'Fuuh, berhasil,' batin Fanya yang bahagia.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.