Bullying And Bloody Letters

Kembalinya Sandra



Kembalinya Sandra

0Setelah melihat kedatangan Cinta kini, Mentari menjadi yakin jika kematian Fanya dan luka di tubuh Ane itu ada hubungannya dengan Cinta.     
0

Cinta tersenyum tipis melihat Mentari, lalu dia kembali lenyap dari hadapan Mentari.     

Dan seketika Mentari merasa pusing. Mendadak perutnya menjadi mual.     

"Kepalaku pusing sekali," tukas Mentari.     

"Loh kenapa, Tari? Kamu sakit?" tanya Alvin.     

Mentari menggelengkan kepalanya, "Enggak, kok aku hanya sedikit pusing, mungkin karna semalam aku tidak bisa tidur," Ujar Mentari.     

"Owh, yasudah kalau begitu kamu duduk aja Mentari," tukas Alvin.     

Dan Alvin membantu Mentari duduk, sedangkan Laras tampak tersenyum melihat tingkah kedua temannya.     

Sambil geleng-geleng kepala dia berkata, "Wah, padahal sudah sedekat itu, tapi kok gak jadian aja ya?" gumamnya.     

"Ada apa ya, Nak Laras?" tanya ayahnya Ane.     

"Eh, gak ada apa-apa kok, Om," jawab Laras.     

      

      

***     

Sepang menengok Ane, Alvin mengantarkan Mentari ke rumahnya.     

Sementara Laras malah pergi ke rumah saudaranya, dia pulang bersama ayahnya.     

"Tari, kamu beneran gak apa-apa?" tanya Alvin.     

"Enggak, Vero. Aku istirahat sebentar juga sembuh kok," jawab Mentari.     

"Yasudah, kamu tidur ya, aku pulang dulu nanti kalau butuh apa-apa telepon aku saja," ujar Alvin dan wajahnya terlihat sangat menghawatirkan keadaan Mentari. Padahal Mentari sendiri sudah bilang kalau dia hanya kurang tidur.     

      

'Alvin itu baik banget ya, entah mengapa aku merasa nyaman dan bahagia dengan perhatian, Alvin, terasa berbeda dari perhatian, Om Dimas. Dan entah mengapa setiap melihat wajah Alvin dari dekat, jantungku serasa mau copot' batin Mentari dan tak sadar bibirnya mulai mengembangkan senyuman tipis.     

      

"Tari, kok senyum-senyum sendiri sih?" tanya Alvin.     

"Eh, enggak kok, aku gak tersenyum tuh!" tukas Mentari yang berusaha menyangkal.     

"Masa? Tapi—"     

"Eh, Vin. Kepala aku tambah pusing, aku mau langsung tidur aja ya?"     

"Oww, gitu ya, yasudah aku pulang sekarang deh!"     

"Hati-hati ya, Alvin."     

"Iya, Tari, daaa!"     

"Daa!"     

Mereka saling melambaikan tangan.     

"Huufft... hampir saja!" Tari mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.     

"Duh, hampir aja, pasti si Alvin menganggap aku aneh, karna udah senyum-senyum sendiri, fuuh...."     

      

Mentari segera masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamarnya.     

Ceklek!     

Baru saja membuka pintu kamar tapi Mentari sudah di suguhi oleh buka diary yang tergeletak di atas kasur.     

"Loh, perasaan buku ini aku taruh di laci deh, terus kenapa bisa ada disini?" ujar Mentari.     

Lalu dia meraih  buku itu dan membacanya.     

Dalam buku itu tertulis,     

'Ya, akulah pembunuh Fanya. Dan yang melukai Ane adalah Fanya. Aku terpaksa merasuk ke dalam tubuh Ane dan membunuh Fanya, karna kalau tidak, Ane akan mati karna di bunuh oleh Fanya. Dan yang terpenting aku juga merasa puas karna kejadian itu. Aku bisa membalaskan dendam ku!'     

      

"Hah! Jadi benar dugaanku, ini semua ulah Cinta!" ujar Mentari.     

Seketika tubuh Mentari merasa lemas karna mengetahui hal ini.     

Cinta benar-benar sudah membunuh Fanya.     

Dan mengetahui hal ini seperti menjadi beban bagi Mentari. Karna dia harus mengetahui peristiwa buruk yang orang lain tidak tahu.     

Kalau boleh memilih, Mentari akan memilih menjadi seperti orang lain yang tidak tahu apa-apa mungkin dengan begitu hatinya akan merasa senang.     

      

"Apa aku harus bercerita kepada, Alvin dan Laras?" Mentari tampak bingung.     

"Yah, aku harus cerita kepada mereka, karna dengan begitu mungkin aku bisa sedikit merasa lega!" ujarnya.     

Lalu Mentari pun menahan rasa ketakutannya itu selama satu hari  karna baru di ke esokkan harinya mereka bisa bertemu.     

      

      

***     

"Jadi aku mengajak bertemu kalian hari ini karna aku ingin bercerita tentang Ane dan Fanya," ujar Mentari.     

"Memang ada info apa tentang mereka?" tanya Laras.     

"Iya, ada apa dengan mereka, apa kamu mengetahui sesuatu?" tanya Alvin.     

"Iya, kemarin aku melihat Cinta, dan Cinta bilang kalau dia lah yang membunuh Fanya" jelas mentari.     

"Jadi—"     

"Iya, Vin, memang begitu adanya. Cinta di balik semua ini!"     

"Apa itu artinya, Cinta sudah tenang karna hal ini?" tanya Laras.     

"Sepertinya belum," jawab Mentari.     

"Lalu apa lagi yang dia mau?" tanya Laras.     

"Entalah, sepertinya dia masih menunggu Melisa, dia mengincarnya." Tukas Mentari.     

      

"Hah?!" Alvin dan Laras tampak terkejut secara serempak.     

***     

      

Masih berada di rumah sang nenek,  Sandra duduk termenung sambil melihat lalu lalang orang-orang yang lewat di jalanan. Karna tempat tinggal neneknya Sandra memang berada tepat di depan jalan raya.     

"Aku harus hidup sederhana, di rumah kecil, dan harus bersekolah di tempat gembel." Gerutu Sandra.     

"Harusnya saat ini aku tinggal, dengan papa dan mama ku di rumah yang besar itu. Karna rumah itu memang milikku," ujarnya lagi.     

Dan perlahan Sandra berdiri dari tempat duduknya, lalu dia mengepalkan kedua tangannya sambil berjalan mondar-mandir dengan gigi yang gemertak.     

"Pokoknya aku tidak mau terus-terusan tinggal di tempat busuk ini, aku ingin kembali di rumah besarku, dan menikmati hidup mewahku!" tegas Sandra.     

Lalu Sandra segera bergegas meninggalkan rumah neneknya.     

"Sandra! Kamu mau kemana?" tanya sang nenek.     

Tapi Sandra tak menanggapi pertanyaan sang nenek sama sekali dia malah pergi begitu saja meninggalkan neneknya.     

"Sandra! Sandra!" teriak sang nenek yang terus memanggilnya.     

Tapi Sandra nampaknya sama sekali tak peduli, dia berjalan begitu saja meninggalkan neneknya dengan langkah yang cukup cepat.     

      

Sang nenek hanya bisa pasrah, dia tidak mungkin akan mengejar Sandra dan menghentikannya, walaupun sebenarnya dia tahu kalau Sandra akan berbuat yang tidak benar.     

"Ya, Tuhan, semoga saja, Sandra tidak berbuat nekat," ujar sang nenek sambil mengelus dada.     

      

      

***     

Sementara itu, Sandra  pergi dengan menaiki sebuah mobil taksi, lalu berhenti tepat di depan rumah Mentari.     

Ceklek!     

Perlahan Sandra keluar dari dalam mobil taksi itu, dan melenggang berjalan memasuki rumah.     

Saat dia memutar knop pintunya, tiba-tiba di belakang ada ayahnya yang  baru saja pulang dari kerja.     

"Sandra!" panggil sang ayah.     

Sandra pun menengok ke belakang, "Ayah," tukasnya.     

"Kamu sedang apa, kemari?" tanya Dimas.     

"Mau apa lagi? Ya mau pulang lah, ini kan rumahku!" tukas Sandra.     

Hhuuuuftt... Dimas menghela nafas berat.     

"Kenapa Papa, melihatku begitu? Papa gak suka ya lihat aku pulang?"     

"Bukan begitu, Sandra tapi—"     

"Tapi apa?!"     

"Tapi kamu jangan—"     

"Papa, aja tenak-enakkan tinggal di rumah mewah, sedangkan aku harus tinggal ditempat kecil dan jelek! Sebenarnya yang anak Papa itu aku atau Tari, sih?!"     

"Sandra, dengarkan Papa bicara. Papa bukannya tidak mengizinkan kamu untuk tinggal di rumah ini, tapi paling tidak kamu harus berjanji untuk tidak membuat kesalahan yang sama dengan Mentari," ujar Dimas.     

"Wah, sangat berharga sekali ya Mentari bagi, Papa? Bahkan aku yang anak kandung sendiri seakan tidak di anggap!"     

"Sandra, kamu itu kenapa masih saja egois! Ibu mu sudah banyak merubah mu menjadi anak yang jahat!"     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.