Bullying And Bloody Letters

Sebuah Cincin



Sebuah Cincin

0"Tari, kenapa melamun, ayo jawab kamu mau, kan berpindah kamar demi aku?" tanya Sandra.     
0

      

"Tapi, kamar yang lain kan banyak, Kak, kenapa Kak Sandra tidak memilih salah satu saja?"     

      

"Aku tidak mau, karna aku hanya merasa nyaman di kamar ini," pungkas Sandra.     

      

"Oh, ya sudah kalau begitu aku akan pindah ke kamar yang lain," ujar Mentari dengan terpaksa.     

      

Dimas mendengarkan hal itu, meski mereka berbicara pelan dan menjauh darinya. Tapi tetap saja, Dimas menangkap pembicaraan Mentari dan Sandra.     

Apa lagi Mentari tampak mulai merapikan barang-barangnya.     

"Tari, kamu mau kemana?" tanya Dimas.     

"Aku mau pindah ke kamar sebelah, Om. Dan biarkan kamar ini, Kak Sandra yang menempati saja," ujar Mentari.     

Dan Dimas pun reflect menggelengkan kepalanya.     

"Sandra, Sandra, baru saja Papa berusaha untuk percaya, tapi kenapa kamu malah mengecewakan Papa," ujar Dimas.     

Dan Dimas berjalan mendekati Sandra.     

"Kalau kamu ingin kembali berada di rumah ini, maka silakan kamu pindah ke kamar lain. Tidak baik merepotkan pemilik rumah, sementara kamu hanya menumpang," ujar Dimas.     

Seketika Sandra terkejut mendengarkan apa yang di ucapkan oleh sang ayah, yang baginya terdengar sangat kejam     

      

"Kenapa, Papa, bicara begitu?" tanya Sandra.     

"Papa, jahat! Papa tahu kan kata-kata itu terdengar menyakitkan?!"     

Dimas terdiam tak bergeming, lalu Sandra melanjutkan ucapannya.     

"Papa, aku ini masih anak kandung, Papa, 'kan?"     

Sandra mendekat ke arah Dimas.     

"Kalau iya, tolong, Pa, hargai aku sebagai anak Papa, dan bersikaplah sebagaimana mestinya. Aku rindu Papa yang dulu!"     

"Stop Sandra! Tolong hentikan drama mu itu! Papa berkata begini juga karna ulah mu!  Papa hanya tidak ingin memiliki seorang anak yang tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih!"     

      

"Papa, selalu saja begitu! Menyebalkan!" tukas Sandra dan dia pun pergi meninggalkan Dimas dan Mentari, sambil memasuki kamar kosong yang lainya.     

      

Kembali Dimas menggelengkan kepalanya dengan berdecak heran, dia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi putrinya.     

Ini benar-benar bukan lagi masalah sepele, Sandra adalah sebuah masalah yang berat bagi Dimas.     

      

Dia harus melindungi Mentari dari anak kandungnya sendiri. Disisi lain dia juga tidak mau dianggap ayah yang kejam bagi Sandra.     

 Dimas berharap suatu saat nanti Sandra bisa berubah menjadi anak yang baik.     

Dan  tidak lagi egois serta serakah.     

      

"Yuni! Yuni!" teriak Dimas memanggil sang asisten rumah tangga.     

"Iya, Pak Dimas, ada apa?" tanya Yuni sambil berjalan menghampiri Dimas.     

"Tolong bantu Sandra merapikan kamarnya ya" ujar Dimas.     

"Baik, Pak!" jawab Yuni, dan Yuni berjalan menghampiri Sandra.     

      

"Tari!" panggil Dimas kepada Mentari.     

"Iya, Om, ada apa?!"     

"Mulai sekarang kamu harus berhati-hati kalau, Om tidak berada di rumah," ujar Dimas.     

Mentari terdiam sesaat mendengarnya, lalu dia menganggukkan kepalanya.     

"Iya, Om." Tukasnya dengan wajah yang ragu.     

      

Meski semua hal yang menimpa Sandra adalah ulah Sandra sendiri, tapi entah mengapa Mentari merasa sangat bersalah.     

Dia berpikir jika dirinya turut andil dalam penderita Sandra.     

      

Sandra memang boleh di bilang saat ini sedang bernasib kurang beruntung.     

Karna orang tuanya yang bercerai, ibunya di penjara dan dirinya harus di curigai sepanjang waktu oleh ayahnya, karna dia yang selalu ingin melukai Mentari.     

Dan oleh karna hal itu, Mentari merasa sangat kasihan.     

Dan selalu ingin menolong Sandra. Walau pada kenyataannya Sandra hanya ingin memanfaatkan dirinya.     

      

Setelah Sandra pergi ke salah satu kamar tamu.     

Mentari pun kembali ke kamarnya sendiri.     

Dan saat masuk ke dalam kamar tiba-tiba dia kembali melihat buku diary itu di atas kasur.     

"Cinta menaruh buku ini di atas kasur, apa dia sedang ingin mengatakan sesuatu?"     

Mentari segera membuka buku itu lalu membacanya.     

Dalam buku diari itu bertuliskan,     

      

'Kedatangannya akan membawa petaka bagi mu, dia punya rencana busuk, maka berhati-hati lah' tulisan dalam buku itu.     

      

"Benarkah jika Sandra hanya berpura-pura baik kepadaku?!"     

Huuuft...     

Mentari menghela nafas berat, dia sangat menyayangkan  kedatangan Sandra saat ini.     

Padahal dia sangat ingin berbaikan kepada Sandra.     

Dan sejujurnya dia pun ingin memiliki saudara yang akur seperti yang lainnya.     

Tapi nampaknya semua itu terasa tidak mungkin.     

"Tari, Tari, kenapa kamu itu terlalu naif, harusnya kamu itu bisa bersikap tegas kepada siapa pun, termasuk kepada, Sandra," ujar Mentari yang mengeluhkan dirinya sendiri.     

"Sejak dulu aku adalah seorang gadis pecundang yang penakut. Dan mengapa aku harus seperti itu, dan kenapa aku selalu tak bisa menolak hanya karna rasa kasihan." Tukasnya lagi.     

Mentari terus merenungkan dirinya yang merasa terlalu lemah dan tak bisa melawan.     

Padahal jelas-jelas Sandra memiliki niat jahat kepadanya. Tapi dia merasa jika dia tidak bisa melawannya.     

      

"Huuuh, ah sudahlah aku ingin tidur saja" tukasnya.     

      

***     

Dan tak terasa malam. Pun sudah berganti pagi, dan tiba waktunya Mentari bangun untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.     

      

"Ah, sudah pagi saja!" Mentari mulai membuka matanya.     

Dan tepat di hadapannya sudah ada Cinta yang menyambutnya bangun dengan sebuah senyuman.     

"AKHHH CINTA!" teriak Mentari.     

"Kamu itu bikin kaget saja, pagi-pagi , sudah nyengir di situ!" ujar Mentari yang sedang mengocehi Cinta.     

Tapi Cinta masih juga tersenyum dan enggan pergi meninggalkan Mentari.     

"Cinta, kamu mau apa sih berada disini? Apa kamu gak ada niatan buat pergi gitu?"     

Cinta menggelengkan kepalanya, lalu dia malah tertawa cekikikan.     

Dan dia memberikan sebuah cincin untuk Mentari.     

"Cincin, ini buat aku?" tanya Mentari memastikan. Dan Cinta pun mengangguk, dengan bibirnya masih mengembangkan senyuman.     

Entah apa yang sedang di rencanakan untuk Mentari, bahkan Mentari pun tampak ragu-ragu untuk memakai cincin itu.     

Tapi Cinta terus memaksanya, bahkan Cinta sendiri yang menyematkan di jari Mentari.     

"Cinta, sebenarnya apa sih yang kamu mau?" tanya Mentari.     

Tapi Cinta tak menjawabnya dan masih mengembangkan senyumannya.     

Dan setelah Cincin tersemat di jari Mentari, Cinta pun pergi meninggalkan Mentari begitu saja.     

      

"Huh, lagi-lagi dia pergi begitu saja! Bikin penasaran saja,"     

Dan tak lama bunyi klakson motor pun mulai terdengar dari luar gerbang     

"Ah, si Alvin udah datang!" tukas Mentari lalu Mentari pun berjalan menghampirinya.     

"Pagi, Tari!" sapa Alvin.     

"Pagi, mau langsung berangkat?" tanya Mentari.     

"Iya, dong, ayo!" ujar Alvin.     

Lalu mereka pun pergi ke sekolah.     

Dan di sepanjang perjalanan, Mentari terus memperhatikan cincin di tangannya.     

Dia penasaran dengan apa maksud dari Cinta yang sudah memberikan cincin kepadanya.     

Dan setelah memperhatikannya Mentari baru menyadari jika ada lambang huruf 'M' dalam cincin itu.     

"Kok, kebetulan banget sih, ada huruf 'M' nya?" ujar Mentari.     

      

      

      

To be continued     

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.