Bullying And Bloody Letters

Ulah Sandra



Ulah Sandra

0Hufftt... Dimas mendengus kesal.     
0

"Lagi-lagi anak itu selalu membuat masalah dengan Mentari. Dia benar-benar tidak pernah bisa untuk berubah!"     

Dimas pun segera pergi meninggalkan Mentari dan yang lainya.     

      

"Om Dimas! Mau kemana?!" panggil Alvin.     

"Om, mau pulang dan menanyakan semuanya kepada Sandra!"     

"Jangan, Om!" ujar Mentari.     

"Sudah kamu tenang saja! Om bisa mengontrol emosi kok. Jadi kamu tenang aja!" ujar Dimas, sambil terus berjalan cepat meninggalkan ruangan rumah sakit.     

      

      

***     

Setibanya di rumah.     

      

"Sandra! Sandra!" teriak Dimas.     

Dan Sandra yang ada di dalam kamar pun mulai panik karna mendengar teriakan dari sang ayah itu.     

"Aduh, Papa, teriak-teriak begitu, pasti dia lagi marah banget!" ujar Sandra yang panik.     

"Pasti si Brengsek Tari, sudah mengadu kepada, Papa!"     

      

Sambil berjalan tergesa-gesa, dia membuka pintu dan menghampiri sang ayah.     

"Iya, Pa. Ada apa?" tanya Sandra dengan santai.     

"Wah, kamu masih bisa terlihat santai begini ya?" ujar Dimas.     

"Loh, memangnya aku harus bagaimana sih, Pa?"     

"Ayo bicara jujur saja! Pasti kamu yang sudah mencelakai Mentari ya?!" cecar Dimas.     

"Loh, kok, jadi, Sandra yang di tuduh sih, Pa? Justru Mentari yang sudah mencekik leher Sandra!"     

"Benarkah?! Apa sebelumnya kamu tidak berniat mencelakainya?!"     

"Ya tentu saja tidak, Papa!"     

"Benarkah?! Tapi Papa tidak percaya dengan ucapan mu! Karna kamu dan Mamamu itu sama saja!" cerca Dimas.     

"Pa! Kenapa, Papa, setega itu!?"     

"Sudah cukup, beraktingnya, Sandra! Dan sebaiknya kamu pergi yang jauh saja, dan jangan mengganggu Mentari lagi!"     

"Papa, ngusir, Sandra!?"     

"Iya, Papa gak mau punya anak tidak tahu diri dan sejahat kamu, jadi kamu harus pergi sekarang juga!" bentak Dimas.     

"Tapi, Pa!"     

"Ayo, cepat pergi! Papa malu punya anak seperti kamu!" teriak Dimas.     

"Pa...!" Sandra pun bersujud di kaki sang ayah.     

"Pa... Sandra benar-benar gak salah, Pa. Papa tidak ada di tempat kejadian, tapi Papa sudah menuduh Sandra begitu saja, seolah-olah Sandra benar-benar bersalah, padahal Papa sendiri tidak melihatnya secara langsung!"     

"Huuft... Papa, tidak mempercayaimu, karna Papa sudah sering kamu kecewakan, Sandra!" tegas Dimas.     

      

Sandra pun merasa tertohok, karna ucapan Dimas, tapi dia tidak menyerah begitu saja, bukan Sandra kalau dia tidak pandai mengelak dan mencari alasan yang bisa membuatnya ada di posisi yang benar.     

"Pa, Sandra mohon... percaya sama Sandra, untuk kali ini saja, Pa. Sandra akan buktikan, kalau Sandra itu tidak salah," tukas Sandra memohon.     

"Maaf, Sandra, tapi Papa, sudah tidak bisa percaya sama kamu lagi. Jadi tolong sekarang bereskan pakaianmu, dan ayo biar Papa antarkan kamu ke rumah, Nenek. Dan Papa harap, kamu tidak menyusahkan nenekmu di sana!" pungkas Dimas.     

"Pa, Sandra, mohon, Pa... percaya sama Sandra, Sandra tidak akan lagi mengecewakan, Papa. Jadi Sandra mohon kasih kesempatan Sandra sekali ini saja. Percaya sama Sandra, bahwa Sandra tidak bersalah," tukas Sandra.     

      

Sandra terus memohon dan memelas kepada sang ayah, bahkan dia tidak mengindahkan tubuhnya dan terus bersujud di kaki sang ayah.     

Dia tidak akan pantang menyerah sebelum sang ayah mau memaafkannya dan mengizinkan agar dirinya tetap tinggal di rumah ini lagi.     

      

Hingga pada akhirnya, Dimas pun menyerah, karna dia kalah dengan kata-kata Sandra yang terus menyerangnya tanpa henti.     

Dan terus memojokkan dirinya, bahwa seolah-olah dia bukanlah ayah yang baik bagi Sandra.     

      

"Papa, aku mohon, Pa. Sekarang Mama, sudah di penjara, dan aku sendirian, tidak ada yang mau mengertiku, satu-satunya yang Sandra punya hanya, Papa, tapi kenapa Papa malah setega ini kepadaku?"     

      

Hhuuuuuft... kembali Dimas mendengus kesal bercampur bingung, karna kalah dengan ucapan Sandra.     

      

"Baik, Papa akan mengizinkanmu tinggal di sini. Tapi janji, kalau kamu tasak boleh mengganggu, Mentari lagi. Apa lagi sampai berbuat jahat kepadanya.     

"Baik, Pa. Sandra berjanji," tukas Sandra.     

      

Dan setelah itu Dimas pun pergi meninggalkan Sandra.     

Dimas kembali ke rumah sakit untuk menemui Mentari dan yang lainnya.     

      

Sementara, Sandra, tampak sangat bahagia sekali karna kali ini, kemabli dia berhasil merayu sang ayah.     

"Papa itu payah ya! Gampang banget dirayu haha!" Sandra pun  kembali ke kamarnya dan bersantai ria.     

"Huuuft, indahnya hidup jika tanpa Mentari!" ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur.     

"Walau hari ini aku tidak berhasil membunuh Mentari, tapi setidaknya aku bisa membuatnya celaka dan masuk ke dalam rumah sakit. Dan aku harap lukanya tidak sembuh-sembuh, bila perlu sampai membusuk dan mati!" ujarnya.     

      

Perlahan Sandra menarik selimutnya, lalu memejamkan matanya, dan tepat saat itu juga Cinta datang menghampirinya.     

Dia melihat ke arah Sandra dengan tatapan marahnya.     

Lalu perlahan dia menarik selimut Sandra.     

Sandra yang matanya sudah mulai terpejam itu pun langsung terbangun.     

Dan dia mendapati tepat di atas perutnya ada sebuah buku diary.     

"Ini, kan bukunya Mentari?" tukas Sandra, dengan ekspresi bertanya-tanya.     

Dia paham betul jika buku itu memang milik Mentari, karna dulu pernah melihatnya di kamar Mentari, sesaat sebelum dia mengalami peristiwa aneh hingga membuatnya cedera tulang leher.     

      

Bulu kuduk Sandra mulai berdiri, dan perasaannya mulai tidak enak.     

Dia merasa ragu-ragu untuk membuka buku itu.     

Dia takut, akan ada peristiwa buruk yang menimpanya.     

"Aku harus membuka buku ini atau tidak ya?" tukas Sandra yang merasa sangat ragu-ragu.     

      

Akhirnya karna rasa penasarannya cukup tinggi membuat Sandra membuka buku itu.     

Lalu dia menemukan tulisan berupa ancaman dalam buku itu.     

'BERHENTI MENGANGGU MENTARI, ATAU KAMU YANG AKAN MATI!'     

bunyi tulisan dalam buku itu. Seketika Sandra melempar buku itu, dia merasa takut.     

Tapi dalam rasa takut itu dia berpikir  jika ini tidak nyata, dan mungkin saja, Mentari yang sengaja menulis dalam buku itu untuk mengerjainya.     

      

"Tapi, siapa yang menaruh buku ini di kamarku, sementara Mentari sedang berada di rumah sakit?" ucap Sandra sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri.     

"Apa jangan-jangan, Yuni yang menaruhnya di kamarku, karna dia itu kan sangat dekat dengan Mentari."     

Dia melemparkan buku diary itu dan  ke lantai.     

Sandra pun memutar gagang pintunya, untuk memeriksa pintunya sedang di kunci atau tidak.     

Dan ternyata benar saja, pintunya tidak di kunci, tadi dia lupa menguncinya, lalu dia pun mulai yakin jika ini memang ada hubungannya dengan Yuni.     

Dan kejadian yang dulu pernah dia alami itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Mentari.     

      

"Hah, kalian pikir aku akan terperangkap dalam permainan kalian?!"     

Sandra pun kembali merebahkan tubuhnya lagi di atas kasurnya.     

"Aku bukan orang bodoh! Jadi jangan harap kalian akan mengalahkan ku,"     

      

Kembali rasa percaya diri Sandra bangkit, dan dia yakin bahwa tidak akan ada yang bisa mengalahkannya.     

Dan dia tidak akan mundur untuk mengalahkan Mentari dan kembali menduduki posisi Mentari saat ini, yaitu sebagai anak emasnya Dimas.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.