Bullying And Bloody Letters

Teror surat Untuk Melisa



Teror surat Untuk Melisa

0Melisa yang ketakutan pun langsung beranjak pergi untuk meninggalkan tempat itu.     
0

Melisa sangat ketakutan, dia berlari sekencang-kencangnya namun di tengah jalan, kakinya malah menabrak sesuatu.     

"Apa ini?!"     

Melisa melihat ke bawah dan dia mendapati ada sebuah kepala yang tersangkut di kakinya.     

Melisa kembali terkejut saat melihat kepala itu adalah kepalanya Fanya.     

Dan tak jauh dari letak kepala itu, ada bagian tubuh Fanya yang tergeletak.     

Seketika, Melisa pun berteriak histeris.     

"TOLONG!" teriaknya.     

Lalu dia pun akhirnya terbangun.     

      

"Fuuuuh... ternyata cuman mimpi," Melisa langsung terduduk lalu dia mengambil segelas air putih lalu meneguknya.     

"Kenapa tiba-tiba sekali aku bermimpi seburuk ini? Apa ini disebabkan karna aku yang terlalu memikirkan, Fanya?"     

      

Melisa pun kembali merebahkan tubuhnya, lalu menarik selimutnya lagi.     

"Saking syoknya karna aku mendengar Fanya sudah meninggal, sampai terbawa mimpi begini," ujar Melisa.     

Melisa kembali memejamkan mata, dan tertidur lagi.     

Lalu perlahan hari pun berganti pagi.     

      

Melisa mulai membuka matanya, dan di atas mejanya sudah ada selembar kertas.     

Melisa sempat kaget melihat kertas itu, apa lagi ada percikan darah dalam kertas itu.     

"Ini, surat apaan sih?" ujarnya.     

Dan perlahan Melisa membuka surat  itu.     

Ada tulisan dengan huruf kapital dalam kertas itu, dan sedikit hiasan seperti percikan darah.     

'AKU SUDAH MENUNGGU KEDATANGAN MU SEJAK LAMA, DAN SEKARANG HABISKANLAH SISA HIDUP MU DENGAN BAIK SEBALUM AKU MEMBUNUH MU!"     

      

"Hah?! Kenapa tiba-tiba ada surat ancaman begini? Siapa yang menaruhnya? Terus lewat mana? Pintuku terkunci rapat, kan!?"     

Segera Melisa mendekat kearah pintu dan memeriksanya.     

"Ternyata, pintunya benar-benar masih terkunci rapat." Tukas Melisa.     

Melisa pun menjadi heran dengan hal aneh ini.     

Karna tiba-tiba saja, ada seseorang yang bisa menaruh surat di kamarnya, padahal  pintu kamarnya masih terkunci sangat rapat.     

Tentu saja  itu hal yang sangat aneh? entah dari mana datangnya surat itu  dan bagaimana cara orang itu menaruh surat itu di kamarnya?     

      

"Ahh! Entalah!" Melisa kembali meletakkan surat itu, lalu dia keluar dari dalam kamarnya.     

Tampak seorang asisten rumah tangganya yang sedang menyiapkan sarapan pagi untuknya dan keluarganya.     

"Selamat pagi, Non Melisa," sapa asisten rumah tangga itu.     

"Mbak, semalam masuk ke kamar saya ya?!" tanya Melisa dengan tegas.     

"Eh, enggak, Non! Gimana bisa saya masuk ke kamar, Non Melisa?"     

"Tapi, ada seseorang yang menaruh surat teror di meja kamar saya!"     

"Sumpah demi apa pun saya tidak tahu, Non! Lagian mana mungkin saya melakukan hal itu, dan apa untungnya buat saya?"     

Seketika Melisa pun terdiam sesaat dan berpikir jika apa yang di ucapkan oleh asisten rumah tangganya itu memang benar adanya.     

Mana mungkin dia bisa masuk ke kamarnya, dan kalau pun  bisa, apa tujuan dia menaruh surat itu?     

      

"Pagi, Mel. Anak Papa yang cantik," sapa sang ayah.     

"Eh, selamat pagi, Pa,"  sapa balik Melisa kepada sang ayah.     

"Ada apa sih, kok pagi-pagi udah tegang begitu mukanya?"     

"Ah iya, Pa, ada yang masuk ke kamar, Melisa secara misterius,"     

"Maksudnya?"     

"Iya, Pa. Jadi ada orang yang menaruh surat di kamar Melisa, secara misterius. Dan isinya dalam sebuah surat itu berupa kata-kata ancaman," jelas Melisa.     

"Loh, kok bisa sih?!" sang ayah pun sampai kaget karna mendengarnya.     

"Iya, Pa, aneh banget, kenapa ada yang bisa masuk ke dalam. Kamar Mel. Padahal pintu sedang terkunci rapat dari dalam,"     

"Kalau begitu boleh, Papa lihat suratnya sekarang?"     

"Ah, boleh. Ada di lantai atas kok,"     

"Yasudah kalau begitu syo ke sana!"     

"Ayo!"     

      

Mereka berdua pun naik ke lantai atas untuk mengecek apa yang di ucapkan Melisa itu benar atau tidak.     

      

Ceklek!     

"Dimana surat yang kamu bilang?" tanya sang ayah.     

"Itu, Pa!" Melisa menunjuk kertas di atas meja.     

Dan sang ayah pun mengambilnya lalu melihat dengan teliti.     

Dan ternyata hannyalah sebuah kertas kosong saja.     

"Ini yang kamu maksud?" tanya ayahnya.     

"Iya, Pa!" jawab Melisa.     

"Ini apaan?"     

"Surat, Pa?"     

"Ini hanya kertas kosong, Melisa!" sang ayah pun menunjukkan surat itu ke arah  Melisa.     

"Di mana kalimat ancamannya!?"     

"Hah?!" Seketika Melisa pun menjadi syok saat melihat surat itu, dan ternyata sudah kosong.     

"Loh, kok bisa sih?! Tadi beneran ada tulisannya kok, Pah!"     

"Ah, kamu itu hanya berhalusinasi saja! Kamu baru bangun tidur dan masih terbawa oleh mimpi!" cerca sang ayah.     

"Enggak, Pa! Serius, aku beneran gak bohong kok!"     

"Yang bilang kamu bohong siapa? Papa cuman bilang kamu lagi berhalusinasi, Mel, atau mungkin kamu tadi lihatnya masih dalam keadaan setengah tertidur jadi terbawa mimpi!"     

"Enggak, Pa! Serius! Aku benar-benar melihatnya dan aku yakin banget, aku dalam keadaan sadar sepenuhnya, tidak seperti yang Papa, bilang itu!"     

"Udehlah, Mel. Sebaiknya ayo kita sarapan dulu! Setelah itu kamu istirahat di kamar lagi, karna kelihatan banget kalau kamu itu kecapaian,"     

"Tapi, Pa! Mel beneran lih—"     

"Udah ayo!"     

Ayahnya menarik tangan Melisa dan mengajaknya turun ke lantai bawah dan mengajaknya sarapan bersama lagi.     

      

Sambil duduk dan di depannya sudah ada piring yang di siapkan untuk dirinya.     

"Ayo di makan, Mel! Jangan di lihatin aja!" ujar sang ayah.     

"Iya, Pa," jawab Melisa, tapi Melisa tetap masih melanjutkan melamunnya.     

"Ayo di makan!"     

Karna saking gemasnya, lelaki paruh baya itu membalik piring tengkurap yang ada di depan Melisa itu, lalu dia mengisinya dengan makanan.     

"Ayo sarapan yang banyak, biar kalau perut kenyang itu otak juga lancar!" cantas sang ayah.     

"Huuuf, ayah ini, benar-benar tidak peka ya!" cantas Melisa, sambil segera meraih piringnya, dan memotong sandwich dan memakannya.     

"Kalau makan yang banyak!"     

"Iya, Pa!"     

      

      

      

Setelah selesai sarapan, sang ayah pun pergi ke kantor.     

Sementara Melisa kembali ke kamarnya untuk beristirahat, sesuai dengan apa yang di perintahkan oleh sang ayah tadi.     

"Huh, membosankan banget, coba kalau ada Mama, pasti aku bakalan ajakin dia shopping dan jalan-jalan bareng!"     

Dengan langkah yang malas dia menaiki tangga atas menuju kamarnya.     

"Apa aku akan, telepon Mama aja ya?" ujarnya lagi.     

      

Kemudian Melisa merogoh ponsel yang ada di dalam saku celanya.     

Dan segera menghubungi sang ibu.     

Drrt....     

"Hallo, Mama!"     

"Iya, ada apa sayang?"     

"Kapan, Mama, pulangnya?"     

"Besok, Mama, udah pulang!"     

"Oh, bagus deh, Melisa bosan banget, pengen jalan-jalan sama, Mama!"     

"Ok, Sayang, sampai ketemu besok!"     

"Iya, Ma, bye!"     

"Bye!"     

      

Sambungan telepon pun terputus.     

Lalu Melisa kembali menaruh ponselnya di dalam saku celana.     

      

Drttt....     

Ponselnya kembali bergetar, dan Melisa pun segera mengangkatnya.     

"Halo!"     

"...."     

"Halo!"     

".... "     

"Ini siapa?"     

"...."     

"Woy! Ini siapa!?" Melisa tampak geram.     

"Haha haha haha haha haha!" tertawaan si penelpon.     

Lalu Melisa mengecek bagian nomor ponsel itu, dan ternyata ponselnya dalam keadaan normal tanpa panggilan.     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.