Bullying And Bloody Letters

Setelah Kematian Sandra



Setelah Kematian Sandra

0BRUAAAAAAAK!     
0

      

Mobil bus itu menabrak tubuh Sandra hingga terpental jauh kemudian kembali terseret mobil itu lagi hingga hancur berhamburan.     

Seketika seluruh orang-orang yang berada di tempat itu pun berteriak-teriak histeris melihat kejadian tragis itu.     

      

Mentari pun tak kuasa menahan tangisnya, dia juga berteriak sekencang-kencangnya.     

Akhirnya hal buruk benar-benar terjadi kepada Sandra, bukan hanya buruk tapi sangatlah buruk.     

"Kak Sandra! Harusnya kak Sandra itu mendengarkan ucapanku! Kalau kak Sandra mau mendengarkanku! Maka kejadian ini tidak akan menimpa kak Sandra!" teriak Mentari sambil mengoceeh dan berteriak-teriak histeris.     

"Aku harus berbicara apa dengan, om Dimas!? Pasti om Dimas bakalan sedih banget, hik hik hik ...."     

Kini usai sudah kejahatan Sandra terhadap Mentari.     

Dia sendiri yang selalu ingin membuat Mentari celaka.     

Tidak peduli Mentari itu jahat atau tidak.     

Yang penting baginya dia selalu menjadi yang nomor satu. Apa yang dimiliki Mentari saat ini adalah miliknya.     

Dan sekarang dia mendapatkan balasan dari sifat tamaknya itu.     

      

Tidak ada lagi saudara yang akan mengganggu Mentari lagi. Tidak ada Sandra yang selalu membuat hidup Mentari tidak tenang lagi.     

Semuanya sudah usai. Dan Mentari kembali mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan, ketenangan hidup dan juga harta peninggalan orang tuanya yang tidak akan ada lagi perebutnya.     

      

***     

      

Di atas sebuah pusara yang masih basah, tampak Mentari sedang menangis sesenggukan bersama Dimas, dan di temani oleh Alvin dan Laras.     

Serta para pelayat berkerumun mengenakan pakaian serba hitam, mereka mulai memanjatkan doa.     

"Maaf kan Papa, Sandra, Papa tidak bisa menjadi Papa yang seperti kamu inginkan! Semua itu Papa lakukan demi kebaikanmu, Sandra! Tapi kamu gak pernah mendengarkan, Papa!" ujar Dimas, pria paruh baya itu menangis meratapi kepergian putrinya.     

      

Kini rasa sedih, kecewa, dan juga sesal bersatu padu di dalam hati Dimas.     

Begitu pula dengan Mentari, dia juga merasa sangat tertekan atas meninggalnya Sandra.     

Sandra meninggal juga bisa di katakan karna dirinya.     

Kalau saja Sandra tidak ada niat jahat kepada Mentari, maka Cinta tidak akan pernah murka kepadanya.     

Dan Sandra masih hidup sampai sekarang, tidak mati secara mengenaskan begini.     

"Kak Sandra, maafkan Tari, ya, Kak Sandra! Tari sudah ingatkan, Kak Sandra sebelumnya, tapi  Kak Sandra tidak memercayaiku, harusnya kalau kak Sandra mendengarkan ucapan, Tari. Maka kak Sandra  tidak akan seperti ini," keluh Mentari, dan meluapkan segala isi hatinya.     

"Sudah  Tari. Sudah Om Dimas, mungkin ini sudah menjadi takdir bagi Sandra. Jadi kalian harus bisa mengikhlaskannya ya," tukas Laras yang mencoba menenangkan Dimas dan juga Mentari.     

"Iya, Tari. Kamu juga harus sabar ya," tukas Alvin sambil merangkul pundak Mentari.     

"Tapi, Vin. Kak Sandra meninggal gara-gara aku juga. Mungkin kalau aku memberikan semuanya, Kak Sandra tidak akan seperti ini," ujar Mentari.     

"Stop menyalahkan dirimu sendiri, Tari." ujar Dimas.     

"Tapi, Om. Kak Sandra meninggal gara-gara, Tari!"     

"Bukan, Tari! Bukan kamu penyebabnya, tapi memang Sandra yang terlalu serakah! Tari stop! Sekarang bukan waktunya lagi untuk saling menyalahkan, stop. Dan sekarang waktunya untuk kita mendoakan." Pungkas Dimas.     

Mentari merasa sedikit tenang dan kini mulai menghentikan tangisannya serta rasa sesalnya.     

Semua sudah terjadi, dan mungkin semua ini sudah menjadi suratan takdir bagi Sandra.     

"Tuhan, maaf kan semua kesalahan, Kak Sandra ya, Tari mohon ...." Lirihnya sambil mengelus batu nisan milik Sandra.     

Lalu setelah acara pemakaman usai, semua  pelayat pun mulai bubar dan pulang ke rumah masing-masing kini tinggallah, Dimas dan Mentari saja.     

      

***     

      

Esok harinya.     

Mentari pun sudah masuk ke sekolah seperti biasanya.     

"Pagi, Tari!" sapa Laras dari kejauhan dengan senyuman  khasnya.     

"Eh, Laras. Pagi juga!" jawab Mentari.     

"Ke kantin yuk!" ajak Laras.     

"Boleh," jawab Mentari.     

Lalu mereka berdua pun bergandengan tanganz dan berjalan menuju kantin sekolahan.     

      

Mereka duduk di salah satu bangku yang tersedia.     

Dan tak lama Alvin pun datang menghampiri mereka.     

"Hay, Tari!" sapa Alvin kepada Mentari.     

"Hai, Alvin!" sapa balik Mentari.     

Dan Alvin duduk di antara mereka bertiga.     

Sesaat Alvin melirik ke arah Laras, di masih ingat kejadian dua hari yang lalu.     

Di acara pertemuan keluarga, yang di hadiri oleh keluarganya dan keluarga Laras.     

Mereka belum memberitahu kepada Mentari tentang rencana perjodohan antara mereka berdua.     

      

Melihat Alvin yang menatapnya penuh arti membuat Laras segera menghindar dan menundukkan wajahnya.     

Dia tidak mau jika harus memberitahu hal ini kepada Mentari saat ini juga,     

Karna Laras benar-benar tak tega melihat Mentari bersedih karna hal ini.     

      

      

Tapi nampaknya, Alvin ingin mengatakannya hari ini, dia takut jika Mentari mengetahuinya belakangan justru akan membuatnya merasa kecewa.     

"Tari, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, dan mumpung di sini juga ada Laras, jadi tidak ada salahnya kan kalau kita bicara semuanya biar lebih tenang," ujar Alvin.     

"Emang, ada apa sih, Vin?" tanya Mentari.     

Dan tepat saat itu wajah Laras tampak sangat panik. Dia benar-benar belum siap melihat ekspresi Mentari. Apa lagi dia tahu betul jika Mentari itu benar-benar sangat mencintai Alvin.     

"Sebenarnya, saat acara keluarga yang aku bilang tempo hari itu, bukanlah pertemuan keluarga seperti biasa,"     

"Iya, terus ...?"     

"Emm ... sebenarnya, aku dan Laras itu dijo—"     

"Eh, aku dan Alvin itu tidak sengaja bertemu, terus kita ngobrol bareng, dan orang tua kami itu rupanya rekan bisnis!" ujar Laras dengan penuh antusias, dan berusaha mengalihkan pembicaraan Alvin dan Mentari.     

Alvin mulai terganggu dengan ucapan Laras, terlihat betul jika Laras itu sedang mengalihkan pembicaraannya.     

"Ras, kamu apa-apaan sih ...?" bisik Alvin di telinga Laras.     

"Ssst ...."     

Laras mentikut perut Alvin, memberi kode agar Alvin tidak melanjutkan pembicaraannya.     

"Tapi, Ras...."     

"Please, jangan sekarang, Vin,"     

Mereka berdua malah saling berbisik membuat Mentari merasa bingung.     

"Kalian ngomongin apa sih?" tanya Mentari yang tampak bingung sambil tersenyum tipis.     

"Eh, enggak kok, Tari. Kita lagi ngomongin Tante, Rossa!" sahut Laras yang asal bicara.     

"Tante Rossa?"     

"Iya, Tante Rossa!"     

"Ada apa dengan Tante Rossa?" tanya Mentari.     

Seketika Laras memutar otaknya untuk mencari alasan tentang ucapannya yang membahas Rossa, sementara tadi dia hanya asal bicara tadi.     

"Tante Rossa  sedih banget, dia masih belum melupakan Om Jhon mantan suaminya." Pungkas Laras yang lagi-lagi berbicara asal-asalan.     

"Ah, kamu itu Ras, gak boleh tahu ikut campur urusan orang dewasa, gak baik tahu," tanggap Mentari     

      

"Iya, juga sih, tapi—'     

"Jadi keluarga kalian berdua mengadakan pertemuan ya?" tanya Mentari.     

"Eh, iy-ya tap—"     

"Kalian gak lagi di jodohin, 'kan?"     

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.