Bullying And Bloody Letters

Sangat Canggung



Sangat Canggung

0Cekiit ...!     
0

Tiba-tiba Vero mengerem dadakan karna reflek, di depan ada seorang pejalan kaki yang sedang lewat.     

Dan tepat saat itu juga posisi tubuh Mentari yang awalnya menghadap ke arah Vero kini tak sengaja, memeluk tubuh Vero, akibat pijakan rem itu.     

      

Seketika wajah Vero dan wajah Mentari pun saling berdekatan.     

Dan tepat saat itu jantung Mentari berdetak dengan sangat kencang. Rasanya sama persis saat dulu, ketika Alvin pertama kali menggenggam tangan Mentari.     

      

'Ya ampun, detak  jantung Tari, kenapa kencang banget? Jangan-jangan, Tari, lagi ....' Batin Mentari.     

      

'Kalau melihat wajah, Mentari, dari jarak sedekat ini, ternyata Mentari itu sangat cantik ya, dan gak tau kenapa, sekarang jantung aku kembali berderak kencang, Mentari mengingatkan ku dengan Cinta,' batin Vero.     

      

"Ma-maaf ya, Kak Vero! Tari gak sengaja!" tukas Mentari dengan wajah yang sangat panik bercampur malu.     

"Eh, iya gak apa-apa kok, Tari. Aku yang harusnya hati-hati!" jawab Vero dengan wajah yang tegang, lalu mereka berdua pun turun dari dalam mobil dan melihat keadaan orang yang hampir saja mereka tabrak tadi.     

      

Ceklek!     

"Bapak, gak apa-apa?" tanya Vero kepada orang yang hampir dia tabrak itu.     

"Ah, gak apa-apa kok, Dik," jawab pria tua pejalan kaki itu.     

"Maafkan kami ya, Pak, kami tidak berhati-hati," ujar Mentari.     

"Iya, gak apa-apa kok, lain kali kalian yang hati-hati ya," ujar si bapak yang tampaknya sangat letih dan lemas itu.     

"Bapak mau kemana?" tanya Vero.     

"Saya mau pulang, Dik," jawab si bapak.     

"Oh, rumahnya di mana? Biar kami antarkan," ujar Vero.     

"Rumah saya ada di gang sebarang jalan itu!" ujar si bapak sambil menunjuk letak arah rumahnya dengan menggunakan tongkat.     

"Oh, kalau begitu biar kami antarkan ya?" ajak Vero.     

"Eh, gak usah, Dik. Saya bisa jalan sendiri kok, udah biasa." Jawab si bapak.     

Tapi melihat keadaan si Bapak yang tampak sangat ringkih serta sendirian, membuat Vero dan Mentari tidak tega.     

"Ah, Bapak biar kami antarkan ya!"  ajak Vero lagi.     

"Iya, Pak, biar kami antarkan pulang ya? Kasihan kalau Bapaknya jalan sendirian," sambung Mentari.     

"Tapi, Bapak tidak mau merepotkan, Adik-adik, ini," ujar si bapak.     

"Eh, gak apa-apa kok , Pak, kami ikhlas, dan tidak merasa di repotkan. Dan anggap saja ini sebagai permintaan maaf dari kami," ucap Vero  yang meyakinkan si bapak.     

      

Akhirnya si bapak itu mau menuruti ajakan Mentari dan Vero.     

Lalu Vero mengantarkan si bapak itu sampai ke depan rumahnya.     

"Ini rumah, Bapak?" tanya Vero.     

"Iya, Dik" jawab si Bapak.     

"Bapak, tinggal dengan siapa?" tanya Mentari.     

"Oh, saya tinggal dengan cucu saya, dan kebetulan cucu saya hari ini sedang bekerja." Jawab si bapak.     

"Oh, bekerja di mana?" tanya Mentari lagi.     

"Oh, sedang bekerja di parkiran mall depan sana!" si bapak menunjuk ke arah sebuah mall yang letaknya jauh di sebarang jalan tempat yang baru saja mereka kunjungi.     

      

Seketika hati Mentari pun cukup terenyuh, rupanya si bapak tua ini, hanya tinggal berdua di rumah yang sederhana dan cucunya hanya bekerja sebagai tukang parkir.     

Mentari segera membuka tasnya, dan mengambil beberapa lembar uang pecahan Seratus Ribuan, lalu memberikan kepada si Bapak tua itu.     

"Pak, saya ada sedikit uang, dan semoga ini bermanfaat buat bapak ya,"  ucap Mentari sambil mengulurkan uang itu ke tangan si bapak tua.     

"Loh, Dik, banyak amat, dan kenapa, Adik, ini tiba-tiba memberi uang sebanyak ini kepada Bapak?"     

"Saya memberikan kepada, Bapak, karna kebetulan saya sedang ada uang lebih,"     

"Tapi—" si Bapak itu hendak menyodorkan uang itu ke arah Mentari lagi.     

Tapi  Mentari segera menolaknya.     

"Sudah, ini rezeki untuk, Bapak. Jadi tolong di terima, tidak baik kalau menolak rezeki itu," tukas Mentari.     

"Iya, Dik, kalau begitu, terima kasih ya!"     

"Iya, sama-sama ya, Pak, dan kalau begitu, kami langsung pulang ya, karna hari sudah mulai gelap," ujar Mentari.     

"Iya, Dik, sekali lagi terima kasih,"  ucap si bapak.     

Dan Mentari pun tersenyum lalu mengangguk dan berlalu pergi.     

Tapi saat mereka berjalan beberapa langkah, mereka di hentikan oleh teriakan si bapak.     

"Dik!" panggilnya.     

Mentari dan Vero pun langsung menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang ke arah si bapak.     

Dan pak tua itu berjalan mendekati mereka berdua.     

"Ada apa, Pak!" tanya Vero.     

"Ah, Bapak, hanya ingin bilang sekali lagi terima kasih, dan Bapak, tidak bisa membalas apa pun yang Bapak, bisa lakukan hanya berdoa kepada Tuhan, agar Kalian selalu sehat dan bahagia" tutur si bapak.     

"Iya, Bapak, terima kasih," jawab Mentari.     

"Dan, satu lagi!" kata si bapak.     

"Iya, apa lagi, Pak?" tanya Vero.     

"Semoga  hubungan kalian itu bisa langgeng, dan hanya maut yang memisahkan, karna kalian adalah pasangan yang sangat serasi, Bapak berharap, kalian akan menyudahi masa berpacaran kalian, dan segera menikah, serta cepat di berikan momongan,"     

"Hah?!" Mentari dan juga Vero tampak sangat syok sekali. Entah angin dari mana si bapak itu bisa berkata demikian, padahal mereka berdua itu tidak ada hubungan apa pun selain hubungan pertemanan.     

"Tapi—"     

"Yasudah, kalian hati-hati di jalan ya, jangan kebut-kebutan." Tukas si bapak.     

Lalu di bapak itu pun  tersenyum sambil mengudap-usap sesaat pundak Alvin lalu dia pun kembali berjalan masuk ke dalam rumahnya.     

      

Sedangkan Laras dan Vero pun hanya bisa terdiam mematung dan saling pandang tanpa bicara. Mereka masih memikirkan doa si bapak tua tadi.     

"Kata orang kalau doa dari orang yang kita tolong itu mudah di kabulkan, bagaimana kalau beneran terkabul?" celetuk Vero.     

"Ya, kalau terkabul berati kita emang berjodoh. Eh!" celetuk Mentari yang reflect dan segera menutup mulutnya yang keceplosan itu.     

Dan Vero pun tersenyum sedikit, tapi dia segera menutupi senyumannya itu. Vero berpura-pura biasa saja.     

      

      

      

Setelah itu Vero pun mengajak Mentari untuk pulang sekarang juga.     

Seketika suasana di dalam mobil pun berubah menjadi sangat canggung.     

Padahal tadi mereka itu sangatlah banyak bicara.     

Sekarang tidak ada lagi canda tawa, kecuali hening, mirip seperti keadaan tengah malam di lokasi pemakaman.     

      

'Duh, suasana macam apa ini? Gak enak banget sumpah' batin Vero.     

'Aduh, harus ngomong apa ya sama, Kak Vero, kalau begini suasanya bikin gak nyaman banget' batin Mentari.     

'Wah, gak bisa kalau begini terus aku harus cari cara, agar bisa mencairkan suasana ini' batin Vero lagi.     

      

      

"Tari, kamu udah laper belum?" tanya Vero berbasa-basi.     

"Kan, tadi baru makan banyak banget sama, Kaka Vero," jawab Mentari.     

"Eh, iya ya! Lupa hehe," ucap Vero sambil menggaruk-garuk keningnya yang merasa malu karna salah  memilih kalimat tanya.     

"Kalau gitu, kita mau kemana nih?" tanya Vero lagi.     

"Kan, kita mau pulang, kata Kaka, tadi Kak Vero ada acara di jam Delapan malam nanti?" tanya balik Mentari.     

"Oh, iya ya!"     

      

Plak!     

Vero menepuk keningnya sendiri yang otaknya sudah mulai eror.     

"Kak Vero canggung ya?" tanya Mentari dengan polos.     

"Eh, iya! Eh, kok kamu tahu?!"     

"Soalnya aku juga merasa begitu, Kak!"     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.