Bullying And Bloody Letters

Pulang Malam



Pulang Malam

0Plak!     
0

      

Vero menepuk keningnya sendiri yang otaknya sudah mulai eror.     

      

"Kak Vero canggung ya?" tanya Mentari dengan polos.     

"Eh, iya! Eh, kok kamu tahu?!"     

"Soalnya aku juga merasa begitu, Kak!"     

Seketika Vero terdiam lagi, karna kaget mendengar ucapan Mentari. Rupanya salah tingkah bukan hanya dia yang mengalaminya, tapi juga Mentari.     

Bahkan Mentari dengan polosnya malah terang-terangan berani mengatakan kepadanya.     

"Kamu beneran lagi deg-degan ya?"     

Mentari mengangguk, "Iya!"     

"Kira-kira kenapa ya?"     

Mentari menggelengkan kepalanya, "Gak tau!"     

"Biasanya, kalau kita deg-degan di dekat lawan jenis itu, artinya kita sedang jatuh cinta," ujar Vero dengan jujur.     

Dan Mentari pun terdiam sesaat, dia sedang mencerna ucapan Vero.     

      

Dan Vero melanjutkan ucapannya.     

"Tari, apa kamu suka sama aku?"     

Mentari kembali menggelengkan kepalanya.     

"Kok, geng-geleng? Jadi kamu gak suka sama aku ya?"     

Dan Mentari pun malah menggelengkan kepalanya lagi.     

"La terus?" tanya Vero yang masih penasaran.     

"Tari, gak tahu, Kak Vero," jawab Mentari dengan Polos.     

"Gimana kalau kamu suka sama aku aja, terus kita pacaran!"     

"Gimana ya?" Mentari menggaruk-garuk keningnya.     

"Dan setelah aku pikir-pikir, gak ada salahnya, kan kalau kita pacaran aja, toh kata si Bapak Tua tadi, kita ini serasi lo!"     

"Tapi ...."     

"Tapi, kenapa, Tari?"     

"Tari, belum bisa jawab sekarang ya, maaf ...."     

"Ah, gitu ya? Yaudah. Aku bakal tunggu jawaban kamu, Tari. Sekarang kamu langsung istirahat aja, tuh rumah kamu udah dekat,"     

"Iya, Kak Vero!"     

"Ok, have nice dream,"     

"Terima kasih, Kak Vero."     

      

      

***     

Jam menunjukkan pukul Tujuh malam,  mobil Vero baru saja sampai di depan rumah Mentari.     

"Kita, pulang jam segini, kira-kira, om kamu bakalan marah enggak ya?" tanya Vero.     

"Om, aku belum pulang, tenang om Dimas itu orangnya baik kok, nanti lain kali aku kenalin deh ya," ujar Mentari.     

"Ok, kalau gitu aku langsung pulang ya!"     

"Iya, Kak! Hati-bati ya!"     

"Iya!"     

Dan mobil Vero pun kembali melaju meninggalkan rumah Mentari.     

Dan tepat saat itu mobil Dimas pun sampai.     

      

      

Tin!     

Ceklek!     

Dimas membuka pintu mobilnya, lalu dia keluar dan menghampiri Mentari.     

"Tari, kamu baru pulang ya?" tanya Dimas.     

"Iya, Om. Maaf ya, Tari pulang telat," jawab Mentari dengan  wajah sedikit ketakutan.     

"Iya, gak apa-apa kok, tadi itu siapa? Kok mobilnya, kayak kenal ya?" tanya Dimas lagi.     

"Oh, itu mobilnya kak Vero, Om,"     

"Vero?" Dimas menggaruk-garuk keningnya sambil memikirkan sesuatu.     

"Kok namanya mirip teman bisnis, Om ya?" ucap Dimas.     

"Ah, masak sih, Om? Tapi kak Vero, yang seorang pengusaha sih," ujar Mentari.     

"Jadi benar?"     

"Apanya, Om?"     

"Dia, Vero pengusaha muda, yang penerus Armada Group?"     

"Iya, Om, benar!"     

"Hah?! Kok kamu bisa kenal sih?!"     

"Ya, bisa dong, 'kan, kebetulan kak Vero, alumni di sekolah Mentari."     

"Kalau gak salah Vero itu mantan penyanyi ya?"     

"Iya, dia mantan vokalis band ternama!"     

"Oh, iya! Om juga pernah beberapa kali bertemu dengan Vero, dia kelihatannya pemuda yang sangat baik dan hebat. Kamu patut berbangga bisa kenal dengan dirinya."     

"Haha, biasa aja sih, Om. Tapi kak Vero emang orangnya sangat baik sih,"     

"Terus, gimana kabarnya Alvin, kok akhir-akhir ini dia tidak pernah lagi datang atau sekadar menjemput kamu berangkat sekolah?"     

"Oh, itu ...." Mentari tampak sangat bingung untuk menjawab pertanyaan Dimas.     

Rasanya sulit sekali untuk mengatakan bahwa hubungannya dengan Alvin sudah putus.     

      

"Loh, kok kamu kayak bingung begitu sih? Apa kamu dan Alvin sudah putus?" tanya Dimas.     

Mentari kembali menundukkan kepalanya, raut kesedihan terpancar dari wajahnya.     

"Jadi benar ya, kamu udah putus sama Vero?"     

"Iya, Om ...."     

"Huffttt ... sabar ya, Tari. Hubungan percintaan itu tak semuanya berjalan mulus, jangan 'kan baru berpacaran, yang sudah menikah aja bisa cerai, ya contohnya, Om Dimas dan  tante Karina," tukas Dimas.     

"Iya, Om, Tari tahu. Dan Mentari juga udah mengikhlaskan Alvin buat Laras,"     

"Apa?! Buat Laras?!"     

Mentari pun mengangguk, "Iya, Om."     

"Loh, kok bisa sih?! Kamu dan Laras kan bersahabat?! Kenapa dia setega itu sama kamu!?"     

"Eh, ini bukan salah Laras, kok Om!"     

"Gak salah bagaimana? Kamu itu sahabat Laras, tapi dengan teganya Laras merebut Alvin dari kamu?!"     

"Bukan merebut, Om, tapi memang Mentari yang sudah menyerahkan Alvin kepada Laras, karna mereka memang cocok, Tari tidak mau berhubungan dengan Alvin, sementara keluarga Alvin, tidak suka dengan, tari!"     

"Jadi Alvin di jodohkan?"     

"Iya, Om. Benar,"     

"Wah, kamu yang sabar ya, Tari,"  Dimas mengelus rambut Mentari.     

"Iya, Om. Tari udah enggak apa-apa kok,"     

"Bener nih,"     

"Iya, dong, Om!"     

"Apa perlu, Om, carikan jodoh untuk kamu, anak teman-teman, Om juga banyak lo yang ganteng-ganteng,"     

"Ah, gak usah ah, Tari, masih mau fokus belajar,"     

"Oh, gitu ya, lagian kayaknya gak perlu juga sih, Om Dimas, nyariin pacar buat kamu, toh kamu udah ada Vero ini," ledek Dimas.     

"Eh, tapi Tari sama kak Vero itu cuman berteman lo. Gak pacaran, Om!"     

"Ah, yakin?!"     

"Serius, Om!"     

"Ehem, mungkin sekarang belum ya, tapi buat hari esok kita kan gak tahu, siapa tahu Vero itu memang jodoh kamu!"     

"Eh, kok—"     

"Hahaha! Yasudah ayo masuk ke dalam rumah udah malam, kok malah kita masih berada di sini aja, dingin tahu. Entar kalau masuk angin gimana?"     

"Iya, deh!"     

Dimas pun merangkul pundak Mentari dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.     

Dan di dalam rumah Yuni sudah antusias menyambut mereka berdua.     

"Eh, Pak Dimas, Non Tari, sudah pulang?"     

"Iya, Mbak Yuni," jawab Mentari.     

"Wah, kebetulan nih, saya baru saja selesai menyiapkan makan malam," ucap  Yuni.     

"Aduh, tapi perut, Tari, kenyang banget. Berasa mau meledak nih," ucap Mentari.     

"Hah! Serius?! Tapi Mbak Yuni udah masakin makanan kesukaan, Non Tari, lo,"     

"Tapi maaf, Mbak Yuni, ini perutnya Mentari beneran udah kenyang banget. Lihat nih perut, Tari!" Mentari menunjukkan perutnya.     

"Astaga! Non Tari, habis makan apaan?!"     

"Hehe! Tari abis makan sama kak Vero di restoran tadi, banyak banget!" jelas Mentari.     

"Wah, Om suka nih, sama cowok yang gak membiarkan ceweknya kelaparan saat jalan, berarti dia cowok yang gak pelit tuh!"  ujar Dimas yang asal-asalan nyeletuk.     

"Iya, Om. Bener banget, bukan cuman gak di biarin kelaparan, tapi dikasih makan sampai overload!" ujar Mentari.     

      

Dan Yuni pun menutup mumutnya menahan tertawa.     

"Haha! Non Tari, lucu banget ya, Pak?" Lirih Yuni di telinga Dimas.     

      

      

      

      

***     

      

Esok harinya, Dimas mendapatkan undangan pesta pertunangan  dari anak  salah satu rekan bisnisnya.     

Dan kali ini Dimas berinisiatif mengajak Mentari untuk menghadiri pesta itu, karna Dimas pikir Mentari sedang patah hati dan tidak memiliki pasangan, jadi dia pikir lebih baik Mentari pergi bersamanya dan siapa tahu bisa bertemu dengan anak-anak dari para rekan bisnisnya.     

      

"Om, tapi Tari, gak pernah datang ke tempat seperti ini! Tari gak percaya diri banget, Om."     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.