Bullying And Bloody Letters

Jadian Secara Sepihak



Jadian Secara Sepihak

0Semua memandang ke arah Mentari dengan tatapan yang seakan memaksanya untuk memberi jawaban atas perasaan Vero.     
0

"Kalian dong, jangan memandangku seperti itu, aku seperti tersangka pembunuhan saja," tukas Mentari.     

"Tari, ayo katakan apa yang sedang kamu rasakan terhadap, Kak Vero! Kamu suka kan dengan dirinya?" cecar Laras.     

"Eh, jadi pembicaraan kalian masih ke arah situ ya?" tanya Mentari dengan polosnya.     

"Yaiyalah, Tari. Kemana lagi?" jawab Laras.     

"Aku, belum bisa memberikan jawabannya sekarang!" tegas Mentari.     

Lalu dia pun langsung berlari begitu saja meninggalkan yang lainnya.     

"Eh, Tari! Kok malah pergi sih!?" teriak Laras.     

Namun Mentari tak menghiraukannya, dia masih berlari kencang.     

"Yah! Kok jadi marah sih!" keluh Laras.     

"Kak Vero! Ayo kejar!" suruh Laras kepada Vero.     

"Iya!" jawab Vero.     

Dan Vero pun berlari mengejar Mentari.     

      

      

"Tari! Tunggu, Tari!" teriak Vero.     

Menteri terus berlari, dari dua sudut netranya tampak mengeluarkan air mata.     

Sambil berlari Mentari sambil menghapus air matanya.     

"Tari! Tolong berhentilah, Tari! Aju mohon!"     

"Kak Vero, jahat!" pekik Mentari.     

"Loh kok aku yang jahat?!"     

"Hik ...!"     

Dan saat berlari tak sengaja kaki Mentari terkilir.     

      

Gelebuk!     

Mentari pun terjatuh, dan Vero segera menghampirinya.     

"Tari! Kamu gak apa-apa?" tanya Vero yang panik.     

"Awwh, sakit," keluh Mentari.     

"Ayo aku bawa ke klinik ya!"     

"Jangan, Kak Vero!"     

"Udah ayo! Kaki mu itu luka lohl!"     

"Ah, jangan! Aku ini beneran gak apa-apa ini cuman lecet!"     

      

Meskipun Mentari tidak mau di bawa ke klinik, tapi Vero tidak peduli, dia tetap menggendeng Mentari dan membawanya ke klinik.     

      

      

***     

Sesampai di klinik.     

"Kak Vero, kaki ku ini cuman lecet, kenapa sampai harus dibawa kemari sih?"     

"Iya, aku takut terjadi sesuatu, kita harus periksa dulu, siapa tahu kakinya patah,"     

"Hah?!"     

'Kak Vero, ini berlebihan banget, aku  cuman jatuh begitu, gak mungkin, 'kan tulangnya sampai patah? Kak Vero kelihatan panik banget kayaknya' batin Mentari.     

      

      

Sepulang dari klinik, dan kaki Mentari di nyatakan tidak apa-apa, akhirnya mereka pulang.     

Vero mengantarkan Mentari pulang ke rumahnya dengan menggunakan mobil.     

"Tari, kamu kenapa sih hanya memberi jawaban atas perasaanku itu kayaknya susah banget, sampai harus lari-larian dan nangis-nangis segala?" tanya Vero.     

Mentari pun diam saja, di kedua matanya masih terlihat sangat sembab.     

"Tu, kan aku kasih pertanyaan malah diam aja, matanya udah mau nangis aja? Emangnya pertanyaan ku itu berat banget ya, sampai kamu gak bisa jawab?"     

Vero melirik ke arah Mentari, dan nampaknya mata Mentari kembali berkaca-kaca dan nyaris menjatuhkan butiran air matanya.     

      

"Tari, kalau pun kamu menolakku, aku gak akan marah kok, lagian Cinta itu memang gak bisa di paksakan," lirih Vero, dan dia menyeka air mata Mentari dengan telapak tangannya secara perlahan.     

"Ma-maaf, Kak Vero," tukas Mentari lagi.     

"Sebenarnya apa alasan mu menjadi begini? Dan kenapa sampai sesulit ini untuk sekedar menjawabnya?"     

"Karna ...."     

"Karna apa? Katakan saja, aku gak akan marah kok,"  ujar Vero.     

"... aku, aku takut ...."     

"Takut apa, Tari?"     

"Aku takut, Kak Vero hanya menjadikan ku sebagai pelarian saja!"     

"Hah! Kenapa kamu sampai berpikir begitu?"     

"Ya, karna sampai detik ini, Kak Vero masih mencinta,  Cinta. Dan kemarin-kemarin, Kak Vero, juga masih berusaha melupakan Laras, lalu bagaimana bisa, Ka Vero, langsung mengatakan suka kepadaku?"     

"Tapi—"     

"Kalau bukan karna, Kak Vero, ingin menjadikanku sebagai pelarian?"     

"Loh, kok kamu mikirnya begitu sih?"     

"Iya, habis bagaimana? Bukannya emang begitu, 'kan?"     

"Eh, enggak dong, Tari. Aku suka sama kamu itu, murni dari hati, bukan karna hal-hal lainnya. Termasuk bukan karna aku ingin menjadikan mu sebagai pelarian."     

Mentari menunduk terdiam dan mendengarkan ucapan Vero.     

"Aku memang sangat menyayangi Cinta, bahkan sampai kapan pun dia masih tetap ada di hatiku, tapi sayangnya aku dan dia tidak bisa bersatu, dunia kami sudah berbeda, dan kalau pun aku sekarang menyukaimu, itu bukan karna aku menjadikanmu sebagai pelarian, tapi karna aku benar-benar menyayangimu dengan tulus," tutur Vero.     

"Bagaimana bisa begitu?"     

"Tentu saja bisa, karna gak ada alasan untuk tidak mencintaimu, kamu cantik, kamu pintar, dan kamu punya hati yang baik!"     

"Tapi aku cacat, Kak! Kakiku pincang!"     

"Tidak masalah, selama itu bukan hati kamu yang cacat!"     

Mentari terharu mendengar ucapan Vero, dia yang salah menduga.     

Vero adalah pria yang  memiliki hati yang tulus.     

Dia tidak memandang fisik, dia juga tidak pernah berpikir tentang kekurangan untuk mencintai seseorang.     

Cinta yang seorang tuna wicara, dan sekarang Mentari yang kakinya pincang.     

Vero tetap mencintai dengan tulus, dan dengan bangga secara terang-terangan mengatakannya.     

Padahal dia adalah sosok pria yang nyaris sempurna. Dia bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih sempurna di bandingkan Mentari dan Cinta. Tapi nyatanya dia hanya mencinta dua gadis yang sama-sama memiliki kekurangan itu.     

      

"Kak Vero, apa Kak Vero benar-benar tulus dengan, Tari?"     

"Iya, apa perlu aku harus membuktikan perasaan ku ini seperti yang ada di film-film?"     

"Eh, enggak usah!" Mentari segera melambai-lambaikan tangannya.     

"Loh, kenapa? Katanya mau bukti?"     

"Ah, enggak usah, Tari udah percaya kok!"     

"Serius nih?"     

"Iya, Kak, serius!" Mentari mengacungkan dua jari.     

"Ok, terus jawaban kamu apa?"     

"Ah, apa ya ...?" Mentari menggaruk-garuk kepalanya bingung.     

"Ayo, jawab!" Vero melotot tajam.     

"Eh, nanti ya!"     

Mentari pun langsung berlari keluar dari dalam mobilnya, tapi Vero meraih tangan Mentari dan langsung menciumnya.     

"Kak Ver ...." Mata Mentari melotot tajam dan mulutnya tak berani lagi bergeming.     

      

Dan tak berselang lama Vero melepaskan kecupannya.     

"Aku anggap hari ini, kita jadian!" ujar Vero.     

"Hah?! Kok gi-gitu?!"     

"Salah siapa gak mau jawab! Kalau diam, 'kan artinya mau!"     

"Hah?!" Kembali Mentari melotot tajam, dan Vero pun langsung masuk ke dalam mobilnya, sementara Mentari masih berdiri sambil melamun dengan mata melotot karna masih syok mendengar pernyataan Vero, yang memutuskan jadian secara sepihak.     

"Tari! Ayo buruan masuk ke mobil! Mau sampai kapan berdiri di situ?!" teriak Vero.     

"Ah, iya, Kak Vero!" Mentari pun segera berlari memasuki mobil Vero dan mobil pun melaju kencang.     

      

Sepanjang perjalanan Vero terus mencuri-curi pandang ke arah Mentari, yang wajahnya tampak sangat tegang.     

      

Sedangkan Mentari masih membayangkan apa yang baru saja Vero lakukan kepadanya.     

Tak sadar dia memegang-megang bibirnya sambil tersenyum sendiri.     

Vero yang melihatnya pun tampak tersenyum pula melihat ekspresi polos Mentari itu.     

Dari situ dia yakin dengan keputusannya untuk berpacaran dengan Mentari secara sepihak.     

Karna dia tahu jika sebenarnya Mentari itu juga menyukainya.     

      

"Tari, bibirnya mau sampai kapan di pegang-pegang begitu?" tanya Vero.     

      

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.