Bullying And Bloody Letters

Asal Kamu Bahagia



Asal Kamu Bahagia

0"Ayo cepat katakan, siapa pacar, Vero, saat ini?!" tanya Melisa dengan nada memaksa     
0

Laras pun segera mencari cara agar Melisa tidak tahu kalau sebenarnya Mentari adalah pacar Vero saat ini.     

"Ya aku tidak tahu! Memangnya aku siapanya Vero sampai harus tahu segalanya tentang Vero?!" sahut Laras.     

"Bukannya kamu dulu pacarnya, Vero?!" tuduh Melisa terhadap Laras.     

"Bukanya waktu itu sudah ku bilang, bahwa hubunganku dan Vero hanya sekedar Fans dan seorang Idola!" jawab Laras.     

"Oya! Tapi aku aku rasa tidak! Karna kamu dulu terlihat sangat menyukai Vero!"     

"Terus kenapa kalau aku menyukai Vero!? Itu bukan urusanmu, 'kan?!"     

      

Plak!     

Melisa menampar wajah Laras.     

"Tentu saja itu urusan ku! Karna Vero itu milikku!"     

"Dasar, Gadis Gila! Mau Vero berpacaran dengan siap pun itu bukan urusan mu! Dan sekali lagi aku tegaskan aku tidak tahu lagi kabar tentang, Vero! Jadi sebaiknya kamu pergi saja dari ku!" sergah Laras.     

Melisa pun terdiam sesaat, karna mendengar ucapan dari Laras. Sepertinya apa yang di ucapkan Laras itu ada benarnya.     

Melihat Laras yang sudah bersama dengan pacar barunya, menandakan dia dan Vero sudah tidak ada hubungan apa pun.     

      

"Dengar ya, Melisa, aku tegaskan bahwa aku sudah tidak punya hubungan apa pun dengan Vero pria pujaanmu itu! Jadi tolong jangan menggangguku lagi!" tegas Laras.     

Dan Laras pun pergi meninggalkan Melisa, yang masih terdiam dan menatap Laras dengan tatapan yang kasar.     

Tatapan yang kesal tapi tidak bisa membuatnya menyerang Laras begitu saja.     

      

      

      

Dengan bibir yang cemberut dengan ekspresi wajah yang sangat kesal dan marah.     

Brak!     

Laras duduk dengan kasar di dekat Alvin dan tangannya menggebrak atas meja di depannya.     

Alvin pun sampai kaget, karna melihat tingkah Laras yang mendadak berubah itu.     

"Ada apa sih, Ras? Kenapa mukanya jadi kesel begitu?" tanya Alvin.     

"Aku kesel banget sama tu, Nenek Lampir!" jawab Laras.     

"Nenek Lampir, siapa?!"     

"Tuh!" Mata Laras menunjuk ke arah Melisa yang sedang duduk bersama ayahnya.     

"Dia, bukanya ...."     

"Iya, dia Melisa, yang selama ini ngejar-ngejar, Vero!" jawab Laras dengan  ketus.     

"Berarti dia juga yang sudah membunuh, Cinta!" tebak Alvin.     

"Iya benar!" Laras pun mengangguk-angguk.     

"Terus kenapa, pipi kamu merah begitu?"     

"Aku di tampar sama dia!"     

"Benar-benar, Wanita Iblis! Aku gak boleh tinggal diam!" gerutu Alvin.     

      

Dan Alvin pun langsung berdiri hendak menghampiri Melisa.     

Dan tentu saja dia ingin memberi perhitungan kepada Melisa.     

Tapi Laras melarangnya, "Stop, Alvin!"     

Alvin langsung menghentikan langkahnya dan dia menengok ke arah Laras.     

      

"Kenapa kamu melarangku!" tanya Alvin.     

"Ya karna percuma aja gitu! Dia itu gadis gila, dan kita gak ada bukti atas tuduhan kita, nanti yang ada orang akan berbalik menyalahkan kita!" jelas Laras.     

Alvin pun akhirnya menghentikan niatnya, dia mengikuti ucapan Laras, karna apa yang di katakan oleh Laras itu memang ada benarnya. Percuma juga dia marah mengabu-gebu di depan Melisa, toh Melisa bisa melakukan hal gila yang justru akan membuat mereka tersudutkab atau bahkan mungkin bisa celaka.     

      

Dari meja tempatnya duduk Alvin menatap Melisa dengan tajam, dan rasanya sudah tidak tahan lagi dia akan membalaskan segala perbuatan Melisa terhadap Laras dan juga Cinta.     

"Ok, kali ini kamu masih bisa makan enak, santai dan tertawa-tawa bebas, tapi lihat suatu saat nanti, kamu pasti akan mendapatkan balasannya!" gumam Alvin.     

"Sabar, Vin." Laras mau mengusap-usap dada Alvin.     

"Sekarang ayo kita pulang saja!" ajak Laras.     

"Iya, baik ayo kita pulang!"     

      

Laras dan Alvin pun meninggalkan restoran itu, sesaat Alvin memandang ke arah Melisa dengan tatapan yang sangat marah.     

"Sudah ayo!" Laras menarik tangan Alvin secara paksa.     

      

***     

      

      

Di rumah Mentari.     

      

Vero baru saja turun dari dalam mobil, masih menggunakan pakaian kantor lengkap, jas dan dasi serta kemeja dan aksesoris yang lainnya.     

Dia melihat Mentari sedang duduk di depan rumah dengan mata yang masih tertuju ke arah laptopnya.     

Mentari sedang mengerjakan tugas sekolah.     

"Sore, Tari!" sapa Vero dari kejauhan.     

"Eh, Kak Vero! Ke sini, Kak!" sahut Mentari sambil melambaikan tangannya.     

"Ini buat kamu," Vero memberikan satu kotak coklat merah jambu dengan kemasan berbentuk hati.     

"Wah, ini buat aku?" tanya Mentari yang memastikan.     

"Iya, dong buat kamu, masa iya buat om Dimas!" jawab Vero setengah bercanda.     

"Ya kali aja, kan Tari gak tahu, siapa tahu emang beneran buat, Om Dimas!"     

"Ya kali buat, Om Dimas, ngasih coklat berbentuk hati, warna pink pula!"     

"Haha! Iya juga ya! Terlalu romantis kayaknya!"     

      

Cup....     

      

Dan Vero pun tanpa permisi mengecup kening Mentari.     

"Ih, Kak Vero! Bikin kaget aja deh!"     

"Iya, dong! Kan surprise!"     

"Ah, apaan sih!" Mental memegang kenanganya sambil malu-malu.     

      

Dan mereka pun mengobrol di teras depan rumah itu, Vero pun menemani Mentari yang sedang belajar, dan sesekali dia mengajari Mentari, apa bila Mentari mengalami kesulitan dan  Vero tahu jawabannya.     

      

"Kak Vero, pasti dulunya dapet nilai bagus terus ya si sekolah?"     

"Ah, enggak juga tuh!"     

"Serius tapi, Kak Vero, Bahasa Inggrisnya bagus banget,"     

"Oh, kalau soal itu, karna emang pelajaran itu yang dari duku aku suka. Makanya sampai sekarang  masih jago, tapi jujur aja pelajaran yang lain, nilainya biasa-biasa aja kok,"     

"Masa sih?"     

"Iya dong! Sama halnya dengan kamu, kamu itu jago matematika, kimia, fisika dan yang lainya, tapi kayaknya kamu lemah di bidang bahasa! Entah itu bahasa Indonesia, Inggris, Jepang atau yang lainya,"     

"Iya, benar! Tari emang gak jago pelajaran bahasa!"     

"Nah, maka dari itu, setiap orang itu punya kekuarangan dan kelebihan masing-masing, kita tinggal mensyukurinya." Tutur Vero.     

"Iya, Kak Vero, benar!"     

"Jadi, gak ada alasan lagi kan yang membuatmu terus minder?"     

"Emm ... ada enggak ya?" Mentari menggaruk-garuk rambutnya.     

"Cinta, punya kekurangan karna dia tidak bisa bicara, tapi dia punya wajah yang sangat cantik seperti bidadari, baik dan juga pandai menari, Kalau kamu, mempunyai kekuarangan karna tidak bisa berjalan dengan normal, tapi kamu punya kelebihan otak yang cerdas, jago matematika, baik hati, dan punya senyum yang manis."     

"Terus?"     

"Ya, kalian berdua itu sama-sama punya kekurangan dan kelebihan, selama kekuarangan kalian hanya sebatas fisik saja, bagiku itu tidak masalah,"     

"Terus kalau Melisa, bagaimana?"     

"Kalau, Melisa ... sebenarnya agak malas membahas dia. Tapi aku akui kalau dia itu sangat cantik, modis, berkelas, dan jago soal Fashion. Tapi secantik apa pun dia, tetap saja, hatinya jelek, jahat, dan nyaris tidak ada baiknya. Makanya aku membencinya." Tutur Vero.     

"Oh, jadi begitu ya!" Tari manggut-manggut.     

"Kayaknya, Tari, beruntung banget ya, bisa jadi pacarnya, Kak Vero! Karna Kak Vero, itu baik banget,"     

"Masa?"     

"Iya!"     

      

      

      

      

      

To be continued     

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.