Bullying And Bloody Letters

Season3 Kematian Sang Putri



Season3 Kematian Sang Putri

0Suasana senja yang begitu sunyi, tampak seorang wanita paruh bayah sedang menangis di atas sebuah pusara.     
0

Perempuan cantik berkulit putih dan bermata bulat itu tak henti-hentinya meratapi kepergian sang putri tercinta.     

      

Dia bernama Rima Sucipto istri pertama dari pengusaha sekaligus pemilik yayasan sekolahan elite  bernama Pratama Jaya High School.     

Sekolah menengah atas yang bertarap internasional dan semua yang bersekolah di tempat itu adalah anak dari kalangan kelas atas.     

      

      

 Eliza Ayu Sucipto seorang gadis berusia 16 tahun yang meninggal akibat kecelakaan di sekolah itu.     

Eliza jatuh dari lantai tiga gedung sekolahan dan hingga saat ini belum tahu apa penyebab dari kecelakaan itu.     

Tentu saja kondisi ini membuat Rima sang ibu sangat terpukul.     

Apa lagi sekarang dia tinggal sendirian.     

Hubungannya dengan Surya Sucipto sang suami sudah tidak baik.     

Mereka pisah ranjang semenjak kehadiran Nindi Sucipto istri kedua dari Surya Sucipto.     

Meski hubungannya sudah tidak sebaik dulu, tapi Rima tidak mau bercerai dengan Surya.     

Dia lebih memilih bertahan demi kelangsungan hidup kedua putrinya.     

      

Putri pertamanya yang bernama Raisa Nanda Sucipto atau yang akrab di sapa Raisa, kini sedang berada di London untuk menyelesaikan Pendidikannya.     

      

"Eliza! Kenapa kamu harus pergi, Nak! Kenapa? Mama sendirian, Sayang!" tukas Rima sambil mengelus nisan sang putri.     

      

Dan di suasana senja yang sangat sepi itu tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggilnya.     

"Rima!"     

Rima pun menoleh ke belakang, memastikan sumber suara itu, suara yang sangat tidak asing di telinganya.     

"Mas Surya! Kenapa kamu kemari?!" tanya Rima dengan nada tinggi.     

"Aku datang kemari untuk menjemputmu!" jawab Surya.     

"Untuk apa menjemputku segala!? Sejak kapan, Mas Surya memedulikan ku?!"     

"Rima, tentu saja aku peduli dengan mu, karna kamu itu masih istriku!" jawab Surya.     

"Tidak, Mas! Kamu sebaiknya pergi dari sini, dan tinggalkan aku sendiri! Bagi ku, Mas Surya itu sudah tidak ada lagi!"     

"Kenapa kamu bilang begitu?! Aku ini selalu berusaha untuk adil, tapi kamu selalu saja kasar kepadaku! Dan selalu bertindak semena-mena dan menyudutkan, Nindi!"     

"Mas! Mau sampai kapan kamu membela Pelakor itu?!"     

"Cukup, Rima! Jangan sebut Nindi dengan sebutan pelakor! Dia itu wanita baik-baik!"     

"Cih! Wanita baik-baik katanya!" gerutu Rima.     

"Ayo pulang bersamaku! Ini sudah hampir malam! Berbahaya kalau di sini sendirian!" ajak Surya.     

"Enggak, Mas! Aku gak mau pulang! Mas Surya aja yang pulang, aku bisa pulang sendiri!" ketus Rima.     

"Baiklah kalau memang itu mau kamu, terserah!" cantas Surya.     

Lalu Surya pun kembali ke dalam mobilnya sambil menggerutu.     

      

"Sudah di perhatikan malah belagu, dasar istri tidak tahu diri! Masih untung aku punya istri kedua yang sangat baik hati." Ucap Surya.     

      

Dari kejauhan, Rima memandangi langkah kaki suaminya yang kian menjauh dari tempat pemakaman itu.     

Tentu saja dasanya serasa semakin sesak, mengingat sang suami yang sudah berubah total.     

Dulu Surya seorang pria yang baik hati dan selalu ada untuknya, kini menjadi acuh, dan lebih menyayangi istri keduanya.     

      

Rima sangat muak dengan tingkah Nindi istri kedua dari Surya.     

Dia memang sangat cantik, tapi hatinya sangat busuk.     

Nindi adalah seorang wanita licik, yang pandai bersandiwara serta suka mengada-ngada demi mendapatkan hati  sang suami.     

Sampai perlahan-lahan dia nyaris mendapatkan segalanya.     

Bahkan sebagian besar aset dari sang suami, Nindi lah yang memegang dan berkuasa, hingga pada akhirnya Rima memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah rumah sederhana peninggalan orang tuanya.     

      

"Eliza, Mama merasa curiga, atas kematian mu, apa mungkin, Wanita Iblis itu pelakunya?"     

Rima meraih segenggam serpihan kelopak bunga mawar yang tadi di taburkan oleh para pelayat.     

Rima meremas-remas bunga itu dalam genggamannya.     

"Kalau sampai wanita iblis itu pelakunya, maka aku akan membalasnya dengan tanganku sendiri!" ucap Rima penuh yakin.     

"Pasti mereka sudah merencanakan semuanya, tidak mungkin putriku kecelakaan tanpa sebab! Pasti si Licik itu dalangnya." Gumam Rima.     

"Mama pulang dulu ya,  Sayang, besok Mama ke sini lagi." Ujar Rima.     

Rima pun mulai berdiri, lalu dia menatap lagi ke arah nisan sang anak.     

"Ingat, Sayang! Kalau benar kamu meninggal karna ulah para Iblis itu! Maka jangan pergi dulu sebelum kamu membalaskan dendam kamu! Karna Mama benar-benar gak rela!" tegas Rima dalam keadaan Emosi.     

Dan tepat saat itu juga halilintar  saling bersahutan, dan langit mendadak gelap.     

Tak berselang lama hujan pun turun dengan lebat.     

      

Dengan perasaan terpaksa, Rima pergi meninggalkan pusara sang putri.     

"Maaf, Nak! Mama harus pergi! Mama tidak bisa menemanimu di sini!" ujarnya.     

Sambil melihat gundukan tanah makam yang masih basah itu.     

Rima berjalan perlahan-lahan.     

Rasanya dia tak tahan lagi menahan perasaan sedihnya ini.     

Selama ini dia sudah hidup sulit, dalam ketidak adilan serta berjuang sendiri membesarkan kedua putrinya, yang terasa terabaikan oleh ayah kandungnya sendiri.     

Memang kalau soal materi dia tak pernah kurang, sang suami masih mencukupi biaya untuk pendidikan kedua putrinya, termasuk bersekolah dengan fasilitas terbaik di Pratama Jaya High School, sekolah milik keluarga Sucipto yang saat ini sudah di kelola oleh  Nindi istri kedua Surya Sucipto.     

      

Tapi terlepas dari semua itu, Rima harus menahan kesedihannya dulu ketika kedua putri mereka sedang sakit dan dia harus mengurusnya sendirian, karna suaminya yang selalu sibuk, kalau pun ada waktu senggang dia selalu menghabiskannya dengan keluarga dari istri keduanya.     

      

      

      

Menerjang lebatnya guyuran hujan, Rima berjalan sedikit tertatih, dan dia menghentikan sebuah mobil taksi yang melintas di hadapannya.     

"Mau kemana, Bu?" tanya sopir taksi itu.     

"Ke jalan mawar  Pak!"     

"Baik, Bu!"     

Mobil pun melaju meninggalkan tempat pemakaman itu.     

Sambil mengusap kedua bola matanya yang terus meneteskan butiran bening yang membasahi pipi bercampur sisa guyuran air hujan tadi, Rima masih meratapi kepergian putrinya.     

"Kamu pasti kedinginan ya, Nak? Maafkan Mama, Mama gak bisa bawa kamu pulang! Kamu harus tinggal sendirian di sana!"     

Mulut Rima terus meracau tak karuan, dia tampak sangat depresi.     

Ini adalah puncak kesedihannya, selama ini dia bisa menahan segala beban hidupnya, tapi untuk yang sekarang, Rima merasa benar-benar tak mampu.     

Ini amatlah berat.     

      

"Tapi tenang, Sayang! Mama gak akan tinggal diam, Mama pasti bisa mengalahkan Iblis itu! Selama ini kita terlalu banyak mengalah! Haha! Pasti bisa!" ucap Rima penuh yakin sambil tertawa-tawa.     

"Hik hik hik, tapi tetap saja kamu tidak bisa hidup kembali hik ...." Kembali Rima menangis lagi.     

Pikirannya benar-benar kacau dan nyaris tidak bisa berpikir jernih lagi.     

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.