Bullying And Bloody Letters

Tak Bisa Terima



Tak Bisa Terima

0Esok harinya, tubuh Rima tampak mengigil kedinginan.     
0

Terbaring di atas ranjang dengan seluruh tubuh yang di balut dengan selimut tebal, Rima tampak terus mengigau dan meracau tidak jelas.     

      

"Iya, Sayang, Mama pasti akan membalas orang-orang yang sudah jahat sama kamu!"     

"Eliza, jangan takut, ya! Tante jahat itu tidak akan berani menyentuh kamu lagi! Mama berani jamin!"     

Mulut Rima tak henti-hentinya mengigau.     

      

Ceklek!     

      

"Mama!" tukas Raisa yang baru saja pulang dari London.     

"Mama, kenapa?"     

Raisa memegang bagian kening sang Ibu.     

"Badan, Mama panas! Mama demam!"     

Dengan segera, Raisa memapah tubuh sang ibu dan membawanya masuk ke dalam mobilnya.     

"Ayo, kita ke rumah sakit!" ajak Raisa.     

"Mama, baik-baik saja! Eliza! Mama gak apa-apa!" celoteh Rima.     

"Ya ampun, Mama! Eliza udah gak ada, Mama, ini Raisa!" jelas Raisa.     

"Iya, sebentar lagi, Kaka kamu Raisa akan datang, sabar ya, nanti rumah kita akan kembali ramai," ujar Rima lagi.     

      

Raisa pun tak kuasa menahan tangisnya melihat kesedihan sang ibu.     

Ibunya benar-benar tidak rela kehilangan, Eliza sang adik.     

Sampai tubuhnya drop begini, sambil menangis di sepanjang jalan Raisa menyetir mobilnya.     

Sesekali dia menghapus air matanya yang terus menetes, sambil melirik sang ibu yang duduk di sampingnya.     

Sesekali pula dia merapikan selimutnya agar tubuh ibunya tidak kedinginan.     

      

Sesampainya di rumah sakit, sang ibu pun langsung di tangani oleh pihak medis.     

Dan beliau harus di rawat selama beberapa hari sampai tubuhnya benar-benar pulih.     

      

Berkali-kali Raisa menelpon Surya sang ayah, tapi pria itu tak mengangkatnya, bahkan chat yang di kirimkan pun tak di balas, padahal sudah di baca.     

"Papa! Jahat! Kenapa di saat anak dan istrinya sedang dalam kesulitan begini, dia tidak ada! Orang tua macam apa dia itu!" gerutu Raisa.     

      

"Aku harus bisa menjaga, Mama! Toh, sejak dulu memang Papa tidak pernah ada untuk kami!" gerutunya lagi.     

Dan dengan segera, Raisa Memblokir nomor ayahnya lalu menghapus dari ponselnya.     

"Sekarang, tinggal kita berdua, Eliza enggak ada! Raisa menyesal sudah kuliah di luar negeri, kalau tau begini, Raisa kuliah di sini saja, biar bisa jagaain, Eliza dan Mama!" ujar Raisa.     

Kembali Raisa menghapus air matanya, dengan kedua telapak tangan.     

"Raisa, Janji akan jagain Mama mulai dari sekarang! Raisa gak akan kembali ke London! Bila perlu Raisa akan berhenti kuliah saja!" gumam Raisa, sambil memegang erat tangan sang ibu yang masih terlelap.     

"Sekarang, Mama istirahat dulu, dan setelah sembuh nanti. Ayo sama-sama kita berjuang! Kita lawan orang jahat itu!"     

      

Hari itu Raisa pun terpaksa bermalam di rumah sakit, untuk menunggu sang ibu yang tengah di rawat.     

      

      

***     

Sedangkan di rumah Surya.     

 Tampak Nindi sedang mengotak-atik ponsel suaminya, yang masih berada di kamar mandi.     

"Kenapa anak sialan ini, menelpon suamiku! Pakek acara ngadu kalau si wanita bodoh itu sakit!"     

Nindi pun hanya membaca pesan-pesan dari Raisa, dan setelah itu dia menghapusnya kembali.     

"Jangan berpikir kalau kalian akan bisa merebut hati mas Surya lagi, karna aku tidak akan tinggal diam," gumamnya.     

Lalu Nindi juga menghapus seluruh riwayat panggilan telepon dari Raisa.     

      

"Nah, kalau begini kan aman!" tukasnya sambil tersenyum penuh bangga.     

      

Ceklek!     

      

"Siapa yang, menelpon?" tanya Surya yang baru saja kuar dari dalam kamar mandi.     

"Bukan ponselnya, Papa, tapi ponselnya Mama!" jawab Nindi berbohong.     

"Kenapa gak di angkat?"     

"... em ... gak penting kok, Pa! Dari jeng Ulfa, palingan mau nawarin tas branded lagi, Mama males, nanggapinnya, lagian Mama gak minat cuman ngabisin duit aja!" jawab Nindi berakting.     

"Oh, begitu! Emang Mama ini istri pintar, selalu pintar berhemat, walaupun Papa udah kasih uang bulanan lebih,"     

"Iya, dong, Pa!"     

"Makanya, Papa gak salah udah mempercayakan Mama, untuk mengurus beberapa aset keluarga kita,"     

"Iya, Pa. Terima kasih ya!"     

"Iya, Ma!"     

"Oh, iya. Sebenarnya, Mama ingin menemui, Mbak Rima lo, tapi Mama masih takut!" ujar Nindi     

"Kenapa kamu ingin menemui wanita itu?"     

"Tentu saja, ingin mengucapkan bela sungkawa, Pa. Karna bagaimana pun Eliza itu juga sudah kuanggap sebagai anak sendiri, tapi sayangnya, Mbak Rima, selalu salah paham kepadaku!"     

"Sudahlah, Ma. Jangan pikirkan Rima. Rima itu sangat kasar, yang ada nanti kamu malah kenapa-kenapa gara-gara dia!"     

"Tapi, Pa—"     

"Sudah, Mama, di rumah aja! Percuma berbaik hati dengan orang macam dia!"     

"Baik, Pa!" jawab Nindi.     

'Dasar laki-laki, bodoh' batin Nindi sambil tersenyum sinis.     

      

Lagi-lagi Nindi selalu paling ahli dalam soal bersandiwara dan merebut hatinya Surya. Dia selalu bisa membuat Surya berpikir bahwa dia adalah wanita yang baik hati bak malaikat.     

Tanpa tahu hati Nindi yang sebenarnya sangatlah busuk.     

      

      

      

      

***     

      

Setelah, keadaan sang ibu sudah membaik, Raisa pun membawanya pulang.     

Sambil menyetir mobilnya, Raisa mengajak ngobrol sang ibu yang terlihat sangat murung.     

"Gimana keadaan, Mama?" tanya Raisa.     

"Sudah lumayan, baik." Jawab Rima.     

"Ma, sudah jangan bersedih lagi ya, kita harus merelakan, Eliza. Biarkan Eliza tenang di alam sana! Raisa janji, Raisa akan selalu ada buat Mama!"     

"Gak, bisa Raisa! Mama akan berhenti memikirkan, Eliza! Sampai dia membalaskan dendamnya!" ujar Rima dengan tegas dan mata melotot.     

"Gak boleh gitu, Ma! Eliza itu udah pergi! Kita harus ikhlas!"     

"Engga! Dia gak akan pergi dari dunia ini sebelum membalaskan dendamnya kepada Nindi dan para saudaranya!"     

"Tapi, Ma! Eliza itu meninggal karna kecelakaan, bukan salah mereka!" ujar Rima.     

"Hah! Kata siapa?! Eliza bukan kecelakaan biasa! Melainkan ada penyebabnya! Dan penyebab kecelakaan itu adalah mereka semua, aku berani jamin!"     

"Tapi, Ma! Mama gak ada bukti!"     

"Iya! Mama memang gak ada bukti! Tapi Mama yakin mereka adalah pelakunya! Dugaan Mama gak pernah meleset!"     

      

Raisa pun hanya bisa mengelus dada, dia tahu jika hati ibunya benar-benar sedang hancur, dia harus bisa membantu sang ibu agar bisa bangkit kembali, kalau pun ibunya berpikir yang tidak-tidak, maka dia juga harus bisa menerima keadaannya.     

      

Ckit...!     

      

Mobil pun berhenti tepat di depan gerbang rumah mereka.     

"Sebentar ya, Ma! Raisa buka gerbangnya dulu," ujar Raisa.     

Setelah membuka gerbangnya, Raisa langsung memasukkan mobilnya dan memarkirkannya di dalam  garasi.     

      

Mereka memang tak memiliki asisten rumah tangga satu pun, lagi pula tempat tinggal mereka juga tidak terlalu besar, di bandingkan dengan rumah yang di tinggali suami dan istri keduanya. Yang sangat mewah berpilar bak sebuah istana.     

Selama ini mereka berusaha tidak mengeluh, dan Tetap tinggal di rumah mereka yang sederhana tanpa menuntut untuk di perlakukan sama. Kalau pun menuntut juga semua akan sia-sia, karna sang ayah tetap akan membedakan mereka bertiga dengan istri keduanya.     

      

Bahkan Raisa menganggap ayahnya itu adalah pria yang sangat bodoh, karna tidak bisa membedakan yang mana wanita baik-baik dan yang mana wanita berhati busuk.     

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.