Bullying And Bloody Letters

Menguping



Menguping

"Sebenarnya, aku sudah mengingatkan kepada, Eliza, bahwa jangan terlalu banyak melawan tanpa aku  karna aku tak bisa selalu ada. Tapi Eliza tidak peduli, dia terlalu berani, hingga akhirnya para orang jahat itu membunuhnya," tutur Aldo.     

"Maksudnya?!"     

"Mereka sudah merencanakan pembunuhan ini dengan matang,"     

"Apa kamu ada bukti?" tanya Raisa sekali lagi.     

"Tidak sepenuhnya, tapi aku sangat yakin."     

"Tolong ceritakan dengan detail, Aldo."     

"Jadi, sebelum insiden kecelakaan,  Eliza, sempat tak masuk ke dalam kelas, aku merasa curiga. Dan aku hendak mencari Eliza ke klinik, karna beberapa teman mengatakan jika Eliza berada di klinik karna sedang sakit. Tapi saat aku memasuki klinik tak ada siapa pun di sana!" ujar Aldo.     

"Lalu apa lagi yang terjadi?"     

"Saat, aku hendak naik ke lantai atas, tiba-tiba Sera menghampiriku dan memaksaku untuk pergi ke taman sekolahan, karna  di sana Ninna sudah menunggu, tentu saja aku tidak mau karna aku memang tidak suka dengan Jeninna. Tapi Sera terus memaksaku, karna dia bilang ini adalah perintah dari Jeninna. Kalau dia tidak menurutinya, maka Jeninna akan marah kepadanya dan tentu saja akan membuat perhitungan kepada Sera."     

"Lalu?"     

"Lalu aku pun mengikuti ajakan Sera, aku kasihan kepada Sera. Karna Jeninna memang selama ini bisa berbuat nekat kepada siapa pun termasuk kepada sahabatnya sendiri seperti Sera. Aku pun datang ke taman, berharap bertemu dengan Ninna dan setelah itu aku akan memakinya habis-habissan, tapi ternyata Ninna tidak datang, aku sudah menunggunya cukup lama. Hingga di penghujung jam istirahat telah hampir usai. Terdengar suara gemuruh, seseorang jatuh dari lantai 3 dan itu adalah Eliza." Jelas Aldo dengan mata yang berkaca.     

"Apa kamu  benar-benar yakin jika, Jeninna pelakunya? " tanya Raisa memastikan.     

"Aku seratus persen meyakininya, Kak, hanya saja aku tidak punya bukti yang kuat. Mereka itu terlalu licik dan cerdik. Kalau bukan mereka siapa lagi. Dan aku juga yakin, Pak Jarwo itu ada hubungannya dengan mereka. Karena beliau berada di atas lantai tiga dan setelah itu beliau memberikan kesaksian palsu, jika Eliza terjun karna terpeleset lantai yang licin akibat cairan pembersih lantai yang dia tuangkan, aneh kan?"     

"Aneh yang bagaimana?" tanya Raisa.     

"Ya, aneh saja, Eliza terpeleset dan langsung jatuh ke lantai bawah, saat pak Jarwo mengepel lantai, sementara lantai 3 itu memiliki pagar pembatas yang cukup tinggi, bagaimana bisa Eliza langsung terjun ke lantai bawah?"     

"Iya, juga ya?" sambung Raisa.     

"Saya masih tidak percaya jika ini adalah kecelakaan, meski di tubuhnya di penuhi cairan sabun sekalipun, bisa saja kan mereka melumurinya sebelum mendorong tubuh Eliza, atau mungkin saja Eliza terjatuh dalam keadaan tak sadar. Karna  tak ada teriakan sama sekali saat tubuhnya terjun ke lantai, hanya teriakan para siswi yang melihat kejadian itu. Sepertinya beberapa bagian dari aparat kepolisian juga sudah mereka suap. Sehingga mereka menutup kasus ini begitu. Entalah bagaimana caranya, yang jelas mereka menggunakan uang mereka untuk membuat kejadian ini seolah-olah benar-benar kecelakaan!" tegas Aldo.     

Raisa terdiam sesaat, sepertinya dia sedang membayangkan bagaimana kronologi kecelakaan itu sesuai dengan apa yang di ceritakan oleh Aldo.     

      

"Sejujurnya, walaupun aku tidak bertanya kepadamu, Aldo. Aku dan Mama sudah yakin jika kecelakaan ini bukan murni kecelakaan biasa. Semenjak kepergianku ke London. Mereka selalu meneror Mama dan Eliza. Dan aku sangat berterima kasih, selama ini kamu ada untuk adikku Eliza," tukas Raisa dengan mata berkaca.     

"Aku tidak sebaik itu, Kak, bahkan saat kecelakaan itu aku tidak ada bersama Eliza. Mungkin kalau aku selalu bersamanya. Eliza tidak akan mati. Aku memang bodoh, Kak." Ujar Aldo.     

"Do, kamu gak salah," Raisa memegang pundak Aldo. "Ini semua sudah takdir, aku paham perasaan kamu, aku pun juga merasa demikian, aku tidak ada saat Eliza dalam bahaya, tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. Ini takdir, Aldo." Tutur Raisa.     

"Iya, Kak."     

Raisa pun mengusap-ngusap punggungnya Aldo lalu dia kembali menurun tangannya dari pundak Aldo.     

      

Dan tak lama temannya Raisa pun menghampiri mereka berdua.     

"Hai, akhirnya kamu datang kemari juga, Rai?" sapa wanita itu.     

"Eh, hai, Sherly apa kabar?" sapa Raisa sambil saling berpelukan dengan sahabatnya itu.     

"Aku turut berduka cita atas kepergian adikmu, Eliza," tukas Sherly.     

"Iya, terima kasih, Sherly." Jawab Raisa.     

"Itu siapa?"  tanya Sherly sambil menunjuk ke arah Aldo.     

"Oh, iya kenalkan, dia Aldo anak muridku," tukas Raisa.     

Mereka pun  saling bersalaman dan memperkenalkan diri masing-masing.     

Mereka bertiga pun mulai membahas soal kematian Eliza.     

Sherly adalah sahabat Risa sehingga Raisa pun sangat mempercayainya untuk turut duduk bersama mereka membahas kasus ini.     

      

"Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk membantu kalian?" tanya Sherly.     

"Entalah, sekarang kami belum ada ide untuk membongkar kejahatan mereka, Sher," jawab Raisa.     

Saat mereka tengah asyik mengobrol dari kejauhan Raisa melihat Nindi yang sedang bersama dengan Rasty sang adik hendak masuk ke dalam restoran.     

Tentu saja hal itu membuat Raisa menjadi panik.     

'Kenapa wanita itu bisa datang kemari?' batin Raisa.     

Dan Raisa pun segera menarik tangan Aldo dan juga Sherly.     

"Ayo cepat pergi!" ajak Raisa.     

"Loh ada apa, Raisa" tanya Sherly.     

"Udah ayo buruan pergi!" paksa Raisa.     

Dan dia mengajak Sherly serta Aldo bersembunyi di balik meja kasir.     

"Ada, Kak Raisa?" tanya Aldo.     

"Mereka datang!" jawab Raisa.     

"Siapa?" tanya Sherly.     

"Nindi dan adiknya,"     

"Masa?" Dan Sherly pun langsung melihatnya.     

"Baik kalian, sembunyi saja di ruangan ku, biar aku yang menghadapi mereka. Mereka tidak mengenalku, jadi aku bisa menguping pembicaraan mereka," ujar Sherly.     

"Baik Sherly, terima kasih ya?" tukas Raisa.     

"Sekarang cepat kalian pergi, sudah gak ada waktu lagi!" sergah Sherly.     

Lalu Aldo dan Raisa pun mengendap-ngendap pergi meninggalkan meja kasir itu dan masuk ke dalam ruangan Sherly.     

      

Sedangkan Sherly pun duduk di meja yang bersebelahan dengan tempat duduk Nindi dan Rasty.     

Dengan duduk santai sambil menggunakan earphones, Sherly mulai melancarkan aksinya.     

      

"Kita, gak apa-apa ngobrol di sini, Kak?" tanya Rasty.     

"Ya enggaklah, memangnya kenapa?" tanya Nindi.     

"Ada orang itu?" tukas Rasty sambil melihat ke arah Sherly yang sedang duduk sambil manggut-manggut seolah sedang asyik mendengarkan musik.     

"Biarkan saja, kita tidak mengenalnya, lagi pula dia itu sedang memakai earphones, dia tidak mengenal kita!" tegas Nindi.     

"Ok, baiklah. Lalu apa rencana kita?" tanya Rasty lagi.     

      

"Ehem, kita lakukan saja seperti sebelumnya, buat situasi seperti sebuah kecelakaan. Tapi kita tidak boleh terburu-buru. Tunggu sampai dia hidup selama beberapa hari di sekolah itu, bila perlu beberapa minggu atau beberapa bulan." Ujar Nindi.     

"Kenapa harus lama sekali apa,  Kak Nindi, tidak kasihan dengan Ninna?"     

      

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.