Bullying And Bloody Letters

Melawan



Melawan

0"Senangnya akan melihat wanita itu mati!" tukasnya lagi sambil membuka bagian bagasi depan mobil Raisa.     
0

Tapi baru saja membukannya tiba-tiba Ninna di kejutkan dengan adanya jasad seorang gadis berseragam sekolah yang penuh darah dan meringkuk di dalam bagasi mobil itu.     

"AKH! TOLONG!" teriaknya sambil berlari ketakutan.     

"Tante! Tante Rasty! Tolong!" teriak Ninna sambil berlari-lari menuju ruangan Rasty.     

"Loh, ada apa sih?" tanya Rasty.     

"Ada mayat, Tante! Ada mayat!" teriak Ninna.     

"Mayat apaaan?!"     

"Mayat! Di mobilnya Raisa!"     

"Hah?! Kamu itu jangan ngaco deh!"     

"Serius, Tante! Ninna gak bohong! Di mobil, Kak Raisa, beneran ada mayat! Kalau gak percaya ayo ikut, Ninna!" ajak Ninna.     

Dan Ninna menarik tangan Rasty lalu membawanya menuju parkiran, letak di mana mobil Raisa terparkir.     

"Eh, kamu mau bawa, Tante! Ke mana?" tanya Rasty.     

"Pokoknya ayo!" paksa Ninna.     

Dan sesampainya di parkiran mobil Ninna segera membuka bagasi mobil Raisa.     

"Lihat ini!" tukas Ninna penuh yakin.     

Dan ternyata di dalam bagasi mobil itu sudah tidak apa pun.     

"Lihat apanya?!" tanya Rasty yang keherannan.     

Seketika Ninna pun terdiam mematung, dia sangat heran kenapa di mobil itu tidak ada apa pun.     

Padahal dia sangat yakin tadi di dalam bagasi iti benar-benar ada mayat.     

Seorang gadis berseragam sekolah dengan kepala yang berlumuran darah.     

Jeninna kembali teringat dengan kejadian kemarin, di mana saat dia berada di lantai tiga.     

Dia melihat darah, dan selanjutnya dia juga seperti melihat jasad Eliza yang tergeletak di lantai bawah.     

Kemudian jasad itu lenyap begitu saja.     

Dia berpikir apakah ini ada persamaanya dengan pristiwa kemarin, bahwa dia hanya bergalusinasi.     

"Jasad di bagasi mobil tadi, juga mirip dengan Eliza, hanya saja wajahnya tidak kelihatan karna tertutup rambut," gumam Ninna dengan mata nyaris tak berkedip.     

"Jennina! Kamu itu ngomong apa sih?" tanya Rasty.     

Lalu Rasty memegang kening keponakannya itu.     

"Kamu gak lagi sakit, 'kan?" tanya Rasty lagi.     

"Huftt ... ayo kita kembali ke ruangan Tante aja ya, Ninna mau ngomong!" ketus Jeninna.     

Rasty pun geleng-geleng kepala karna bingung dengan apa yang sedang di ucpakan oleh Ninna.     

"Nih anak kenapa sih?! Kenapa jadi aneh banget?" gumam Rasty.     

Sesampainya di ruangan Rasty, segera Ninna duduk dan menaruh kepalanya di atas meja.     

"Sebenarnya ada apa sih, Ninna? Kamu tuh aneh banget tau!" celetuk Rasty.     

"Sejak kemarin Ninna terus berhalusinasi. Ninna terus melihat jasad Eliza," jelas Eliza.     

"Hah?! Maksudnya gimana?!" tanya Rasty.     

"Ya, Ninna itu seolah-olah melihat jasad Eliza yang tergeletak di hadapan Ninna, termasuk saat di dalam bagasi mobil tadi, Ninna lihat jelas banget itu adalah jasad seorang siswi dan itu sangat mirip dengan Eliza!"     

"Ah, Ninna! Ninna! Kamu itu masih waras, 'kan? Eliza itu sudah mati! Bahkan jasadnya sekarang juga sudah membusuk di dalam tanah! Jadi kamu itu jangan mengada-ngada deh!" cantas Rasty.     

"Tapi, Ninna, beneran lihat, Tante!"     

"Ah, sudahlah, Ninna! Tante capek, Tante mau istirahat!"     

"Tapi—"     

"Ssst! Cepat keluar dari ruangan, Tante!"     

"Tante! Ngusir, Ninna?!"     

"Bukannya, mengusir, tapi Tante bener-bener lagi gak mau di ganggu, jadi tolong sebaiknya kamu keluar, karna Tante pusing ucapan Tante gak kamu dengar!"     

"Maksud, Tante, apa?!"     

"Ya kamu gak dengerin, Tante! Ngapain kamu datang ke parkiran dan membuka bagasi mobil Raisa?! Pasti kamu ada niat tertentu, 'kan?!"     

"Iya, Ninna memang ada rencana sesuatu di sana! Ninna mau sabotase mobil Raisa! Karna menunggu kalian itu sama saja menyiksa diri Ninna!?"     

"Kan sudah berkali-kali, Tante bilang, kalau kamu harus bersabar! Dan selain gegabah kamu sekarang juga sudah mulai mengada-ngada!"     

"Tapi—"     

"Keluar, Ninna! Tante capek banget, Tante mau istirahat sebentar, jadi tolong jangan ganggu, Tante!'     

Dan dengan terpaksa akhirnya Ninna keluar dari ruangan Rasty.     

Saat dia berjalan hendak memasuki kelas, tiba-tiba Jeninna berpapasan dengan Raisa.     

Sejenak. Raisa menghentikan langkahnya lalu memanggil Jeninna.     

"Jeninna!"     

Dan Jeninna pun menoleh ke arah Raisa.     

"Apa?!" ketus Ninna.     

"Kenapa tadi pergi?" tanya Raisa dengan pelan.     

"Itu bukan urusan kamu!" cantas Ninna.     

"Kan sudah ku bilang, anak pemilik yayasan itu harus pintar, cerdas dan menjadi teladan!" tukas Raisa.     

"Itu bukan urusan kamu! Mau pintar, mau cerdas ataupun tidak itu juga bukan urusan kamu! Kamu diam saja!" teriak Ninna.     

Dan tak sadar sampai membuat orang-orang yang ada di ruangan itu menengok ke arahnya.     

"Kamu tidak malu orang-orang jadi melihat mu karna berteriak-teriak begitu?" sindir Raisa.     

Dan Ninna pun hanya terdiam sambil mengepalkan kedua tangan dengan gigi gemertak.     

"Wah, tidak salah lagi, kamu itu hanya bisa mengandalkan orang tua saja ya? Kamu itu sebenarnya tak lebih hanya seorang gadis bodoh, kalau di bandingkan dengan Eliza tentu sangatlah jauh ya, Eliza berda 10 tingkat di atasmu." cerca Raisa.     

"DIAM KAMU!" pekik Jeninna.     

"Jeninna, Jeninna, kamu itu memang benar-benar tidak pantas menjadi putri dari Surya Sucipto, karna sikap kamu itu seperti orang rendahan, yang hanya mengandalkan teriakan saja! Maka dari itu sejak dulu aku tidak yakin jika kamu benar-benar putri kandung ayahku!"     

"Sialan!" Jeninna menagangkat tangannya hendak menampar wajah Raisa.     

Tapi Raisa menangkisnya.     

"Sebaiknya perbaiki etika mu jika ingin menjadi pewaris tunggal keluarga Sucipto!" tegas Raisa.     

Dan Raisa pun pergi meniggalkan Ninna yang tampak sangat murka itu.     

"AKH! DASAR, PEREMPUAN SIALAN!" pekik Ninna.     

Sedangkan Raisa tampak berjalan santai sambil tersenyum penuh kemenangan.     

'Ini baru permulaan, aku akan mengalahkan kalian dengan cara yang berkelas, tidak seperti kalian dengan cara yang kotor dan tendahan' batin Raisa.     

Saat memasuki ruangannya, tiba-tiba ada salah satu staf pengajar yang sedang menangis.     

"Loh, ada apa Bu Vivi?" tanya Raisa.     

"Bu, saya tiba-tiba dipecat" ujar staf pengajar itu.     

"Loh kenapa?"     

"Tidak tahu, tapi Bu Rasty memecat saya, karna selama, Bu Raisa di sini saya selalu akrab dengan Ibu," jelas Vivi.     

"Astaga! Hanya karna itu?!"     

Dan Vivi pun mengangguk, "Iya, Bu Raisa," jawab Vivi.     

"Baiklah, kalau begitu, Bu Vivi tolong jangan pergi dulu, dan biarkan saya bertemu dengan wanita itu!"     

"Tapi, Bu! Apa mungkin saya bisa tetap bekerja di sekolah ini?!     

"Tenang saja! Saya pastikan, dia tidak akan memecat Anda!" tegas Raisa.     

Dan Raisa pun segera bergegas menuju ruangan Rasty.     

Tok tok tok!     

"Iya, silahkan masuk!" ujar Rasty.     

Ceklek!     

"Selamat siang, Bu Kepala Sekolah," sapa Raisa.     

"Hah?! Mau apa kamu?!" tanya Rasty yang tampak kaget.     

"Ini kan ruangan kepala sekolah, jadi kalau aku masuk sudah wajar, aku, 'kan ingin menemui atasanku, dan aku sedang ada perlu denganmu!" jawab Raisa.     

"Tidak usah berbasa-basi, apa tujuanmu kemari?!" tanya Rasty dengan ketus.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.