Bullying And Bloody Letters

Ketakutan



Ketakutan

0"Ehem, kita lakukan saja seperti sebelumnya, buat situasi seperti sebuah kecelakaan. Tapi kita tidak boleh terburu-buru. Tunggu sampai dia hidup selama beberapa hari di sekolah itu, bila perlu beberapa minggu atau bulan."     
0

"Kenapa harus lama sekali apa,  Kak Nindi tidak kasihan dengan Ninna?"     

"Bukanya tidak kasihan, tapi kita jangan terlalu gegabah, agar semua ini terlihat lebih natural. Eliza baru saja mati, kalau sampai Raisa juga mati sekarang maka orang akan curiga. Apa lagi mereka itu kaka beradik yang sama-sama anak pemilik yayasan. Jadi tunggu sampai orang-orang mulai lupa dengan kasus kecelakaan Eliza. Atau paling tidak sampai beritanya sedikit redam," tukas Nindi.     

"Baiklah, tapi bagaimana kalau dia terus berbuat ulah?"     

"Kamu harus bisa menghadapinya, lagi pula kamu itu kepala sekolah di situ, kamu jauh lebih berkuasa di bandingkan Raisa!"     

"Iya, juga ya," Rasty mengangguk-anggukkan kepalanya, "berarti obrolan kita hari ini sia-sia dong, Kak? Karna kita tidak mendapatkan solusi apa-apa?" tanya Rasty.     

"Ini dudah solusi Rasty. Kita akan membunuhnya, tapi tidak sekarang, aku bilang tunggu sampai redam dan kita akan habisi Raisa bersama si penyakitan Rima!" tegas Nindi.     

      

      

'Astaga, jadi benar yang membunuh Eliza itu mereka, dan bahkan mereka juga akan membunuh Raisa' batin Sherly.     

Dan setelah mendengar semuanya, Sherly  pun mengatakan apa yang sudah dia dengar kepada Raisa dan Aldo.     

Tentu saja karna hal ini Raisa pun menjadi sangat waspada, dia pun sampai menyewa orang yang bisa menjaga dan melindungi sang ibu dari kejahatan Nindi dan yang lainnya.     

      

      

      

***     

      

Ke esokkan harinya di sekolah, Raisa pun berangkat seperti biasanya, dan tepat di hari ini dia juga ada jadwal mengajar di kelas 10 A.     

Tentu saja ini sebuah kesempatan baginya untuk memberi pelajaran kepada Ninna.     

"Selamat pagi, Anak-anak!" sapa Raisa.     

"Selamat pagi, Bu Raisa!" jawab serempak para murid-murid itu.     

"Senang sekali saya bisa bertemu kalian, di hari kedua ini. Apa kalian sudah siapa untuk belajar?" tanya Raisa sambil melirik ke arah Ninna yang sedang cemberut dengan wajah kesalnya.     

Dan perlahan Raisa berjalan menghampiri Ninna.     

"Selamat pagi, Jeninna?" sapa Raisa.     

"Pagi!" jawab Ninna dengan ketus.     

"Bisa keluarkan buku pelajarannya sekarang?" tukas Raisa.     

Dan Ninna pun tidak menanggapinya.     

"Telinga kamu masih berfungsi dengan baik, 'kan?" tanya Raisa.     

Lalu Ninna pun langsung berdiri sambil menggebrak mejanya dengan kencang.     

Brak!     

      

"Mau mu itu apa dasar sialan!" teriak Ninna.     

Dan seluruh murid yang ada di kelas itu pun langsung menoleh ke arah Ninna dengan keheranan.     

"Maaf, Ninna, Ibu Guru hanya ingin kamu mengeluarkan buku mata pelajaran, kamu datang kemari untuk belajar, 'kan?" tanya Raisa dengan santai dan nada menyindir.     

"Tolong keluarkan bukunya, biar saya lihat. Kamu itu anak pemilik yayasan, seorang konglomerat dan orang terhormat, jadi tolong bersikap lah yang baik dan menjadi teladan bagi yang lainnya. Bukan menujukan sikap arogan sekaligus rendahan begini?" sindir Raisa sekali lagi.     

      

Tentu saja hal itu membuat Ninna menjadi semakin murka.     

"Aku lihat dari catatan wali kelas sebelumnya, nilai kamu itu sangat rendah, tidak sebanding dengan gaya kamu yang mencolok di sini, apa kamu tidak malu?"     

"Malu apanya?!" cantas Ninna.     

"Malu, karna hanya mengandalkan orang tuanya yang seorang pemilik yayasan, dan kamu bisa berbuat seenaknya menindas yang lemah tapi soal nilai selalu di bawah setandar!"     

Raisa menunjuk ke bagian kening Ninna.     

"Otak kamu tidak ada isinya ya? Atau sudah penuh dengan kesombongan dan sikap rendahan kamu? Maklum sih kamu kan bukan keluarga asli dari Sucipto!" sindir Raisa lagi.     

Dan seketika Ninna pun semakin murka dia mulai mengangkat tangan dan hendak menampar Raisa di depan murid yang lainnya.     

Tapi tepat saat itu Aldo pun berdiri dan menangkap tangan Ninna.     

"Cukup Ninna! Ini sekolahan, kamu benar-benar kelewatan jika menunjukkan sikap kasar kamu di ruang kelas dan kepada wali kelas kamu sendiri!" ujar Aldo yang membela Raisa.     

      

Akhirnya Ninna pun kembali pergi meninggalkan kelasnya.     

Raisa pun tersenyum penuh kemenangan melihat hal itu.     

Sengaja Raisa memancing emosi Ninna, agar dia bisa mempermalukan Ninna di depan teman-tamannya. Karna selama ini Ninna selalu mempermalukan Eliza bersama Rasty sang kepala sekolah.     

Untungnya Eliza bukanlah orang yang mudah di permalukan, tapi meski pun begitu, Eliza menjadi kesulitan saat di sekolah.     

"Terima kasih, Aldo," lirih Raisa sambil tersenyum.     

"Sama-sama, Bu," jawab Aldo.     

      

      

      

Sementara itu kembali Ninna menghampiri sang tante di ruangannya.     

Ceklek!     

      

"Eh, keponakan Tante yang cantik, ada apa kok cemberut begitu?" tanya Rasty.     

"Udahlah, Tante! Jangan basa-basi! Sampai kapan wanita itu akan berada di sekolah!" sahut Ninna.     

"Sabar, Sayang! Kita gak bisa langsung membunuhnya, kata Mama kamu tunggu sampai keadaan tenang," jelas  Rasty.     

"Ah, bullshit! Kalian mau aku terus tersiksa di sekolah ini ya?!"     

"Bukan begitu, tapi, memang ini perintah dari Mama kamu, Ninna!"     

"Akh menyebalkan!" Ninna pun langsung keluar dari ruangan Rasty.     

"Jeninna! Kamu mau kemana?!" teriak Rasty. Tapi Ninna tidak menanggapinya.     

"Ninna! Jangan marah begitu, Ninna! Semua ini demi kebaikan kita!" teriak Rasty lagi.     

"Bullshit! Itu demi kebaikan kalian, bukan kebaikanku!" sahut Jeninna sambil berlalu pergi.     

      

Ninna pun masuk ke dalam toilet, untuk merapikan penampilannya.     

Sambil bercermin di depan wastafel, sekejap Jeninna mendapatkan ide baru.     

"Kalau mereka tidak mau menyingkirkan wanita itu sekarang, kenapa aku tidak membunuhnya sendiri saja?" tukas Jeninna sambil menggut-manggut.     

Jeninna pun langsung tersenyum dan keluar dari dalam ruangan toilet.     

Dia pergi ke parkiran mobil sekolah, untuk mencari mobil Raisa.     

"Di mana mobil, Wanita Sialan, itu?" tukasnya sambil mengedarkan seluruh pandangannya mengitari parkiran mobil.     

      

Dan akhirnya dia pun melihat mobil milik Raisa, di bagian barisan paling pojok.     

"Nah, itu dia mobilnya!" Ninna pun tampak tersenyum bahagia.     

Dan tanpa ragu dia mendekati mobil itu, dan merogoh sebuah pisau karter dari dalam tasnya.     

      

Ya, Jeninna hendak menyabotase mobil milik Raisa.     

"Kalau misal aku potong bagian kabel remnya, apa dia akan baik-baik saja?" tukas Ninna sambil tersenyum sinis.     

"Haha! Sudah pasti tidak!" tukasnya sambil tertawa bahagia.     

      

"Senangnya akan melihat wanita itu mati!" tukasnya lagi sambil membuka bagian bagasi depan mobil Raisa.     

Tapi baru saja membukannya tiba-tiba Ninna di kejutkan dengan adanya jasad seorang gadis berseragam sekolah yang penuh darah dan meringkuk di dalam bagasi mobil itu.     

"AKH! TOLONG!" teriaknya sambil berlari ketakutan.     

"Tante! Tante Rasty! Tolong!" teriak Ninna sambil berlari-lari menuju ruangan Rasty.     

      

      

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.