Bullying And Bloody Letters

Bukan Halusinasi



Bukan Halusinasi

0Rasty tampak terheran-heran dengan apa yang baru saja dia alami, dia merasa tak percaya kalau itu semua hanya mimpi, karna kejadian tadi benar-benar terasa sangat nyata.     
0

"Surat! Iya suratnya kemana?" Rasty mengedarkam seluruh pandangannya ke arah ruangan itu, mencari secarik surat yang tadi sempat dia baca.     

"Suratnya benar-benar tidak ada, dan keadaan ruanganku juga terlihat seperti semula! Yah aku hanya mimpi!" tukasnya.     

Lalu Rasty kembali mengerjakan tugas-tugasnya.     

***     

Sepulang dari sekolah, Raisa mengajak Aldo untuk pergi ke restoran milik temannya yaitu, Sherly.     

"Hai, kalian datang lagi! Mari silakan duduk!" sapa Sherly kepada Aldo dan Raisa dengan ramah.     

"Terima kasih, Kak Sherly," sahut Aldo.     

"Iya, thanks Sherly" sahut Raisa.     

Mereka kembali mengobrol tentang Nindi dan keluarganya.     

"Aku benar-benar, khawatir dengan mu, Raisa! Mereka itu benar-benar orang jahat, jadi sebaiknya kamu itu berhati-hati, Rai!" ujar Sherly.     

"Iya, Sherly, aku sudah sangat berhati-hati," jawab Raisa.     

"Orang itu sering sekali datang kemari, bersama adiknya," ujar Sherly.     

"Maksudnya, Tante Nindi?"     

"Iya, siapa lagi! Sudah 3 kali mereka datang kemari semenjak kedatangan kalian waktu itu, dan aku terus mengupingnya secara diam-diam bahkan aku menyuruh salah satu karyawanku untuk menguping pembicaraan mereka."     

"Lalu apa saja informasi yang kamu dapat?" tanya Raisa.     

"Rupanya, Ninna sudah merencanakan untuk membunuhmu,"     

"Maksudnya?"     

"Ninna, berencan mensabotase kebel rem mobilmu,"     

"Terus?"     

"Dia menghentikan niatnya, karna Ninna berhalusianasi!"     

"Berhalusinasi, maksudnya?"     

"Aku dengar, mereka bilang, Ninna melihat mayat di dalam bagasi mobilmu!"     

"Hah?! Yang benar saja haha! Rupanya anak itu sudah mulai gila ya!" Raisa pun malah tertawa-tawa dengan puas.     

"Sudah cukup tertawanya, kamu itu dalam bahaya, Rai!"     

"Haha, aku pastikan, mereka tidak akan membunuhku!" tegas Raisa meyakinkan Sherly.     

"Tapi tetap saja, kamu harus waspada ya!"     

"Iya, Sherly!" jawab Raisa sambil tersenyum.     

Raisa merasa beruntung memiliki teman seperti Sherly dan di sekolah itu dia juga di pertemukan dengan Aldo.     

Seorang pemuda yang sangat baik, yang selama ini menjadi penjaga bagi Eliza.     

***     

Sepulangnya dari restoran itu, Raisa pun menghampiri sang ibu.     

"Mbak, saya sudah pulang, Embaknya sudah boleh pulang," tukas Raisa kepada perawat yang menjaga ibunya.     

"Baik, Mbak Raisa, kalau begitu saya pulang dulu ya," ujar perawat itu.     

Lalu Raisa meraih mangkuk yang ditaruh oleh perawat itu di atas nampan, kemudian dia menyuapi sang ibu.     

"Kita makan duku ya," ujar Raisa.     

Dan Rima pun mengangguk.     

"Bagaimana keadaan, Ibu, hari ini? apa sudah lumayan membaik?" tanya Raisa.     

"I-iya," jawab Rima masih dengan suara yang terbata-bata.     

Rima masih belum lancar untuk berbicara. Tapi keadaannya lumayan membaik, dia sudah bisa duduk dan berbaring sendiri tanpa bantuan. Hampir setiap hari, kondisi Rima selalu ada kemajuan.     

"Besok, Raisa bakalan cuti, mau nganterin Mama terapi, biar Mama cepet sembuh," ujar Raisa.     

"Te-ri-ma ka-sih, sa ... Sayang," sahut Rima.     

Dan Raisa pun mengangguk sambil tersenyum, tangannya masih sibuk menyuapi sang ibu.     

"Ma-ma, sema-lam, ber-te-mu dengan, El."     

"Oh, Mama, mimpi ketemu, Eliza ya?" tanya Raisa.     

Lalu Rima pun menggelengkan kepalanya.     

"Bu-kan, tapi ... ke-te-mu beneran ...!"     

"Hah?!" Raisa tampak kaget dan keheranan mendengar ucapan sang ibu, dia pikir ibunya sedang berhalusinasi, karna keadaannya yang kurang sehat.     

Dia sangat yakin pertemuan dengan Eliza, yang di maksud oleh sang ibu itu adalah mimpi, hanya saja ibunya tidak bisa membedakan antara mimpi dan nyata.     

***     

Di rumah Surya.     

Tampak Ninna sedang tertidur di kamarnya.     

Dan di saat itu Ninna merasa ada yang menyentuh wajahnya.     

"Ah, siapa sih! Iseng banget!" ujar Jeninna.     

Tapi ketika Jeninna membuka matanya tak ada siapa pun yang ada di kamarnya.     

"Ah, aku mimpi ya?" tukasnya.     

Jeninna meraih segelas air putih yang di taruh di meja kamarnya, yang terletak tepat di samping tempat tidurnya.     

Dan tiba-tiba dia melihat secarik kertas bertuliskan.     

'KAMU AKAN MATI!'     

"Ih siapa sih yang ngirim surat beginian?" Ninna memandangi sekitar kamarnya, tapi tak ada siapa pun dan pintunya juga tidak terbuka sedikit pun.     

"Kenapa bisa ada surat ini di kamarku?" Lalu Ninna membalik surat itu, dan di sisi belakang kertas surat terdapat sebuah sketsa, seorang gadis berseragam sekolah bersimbah darah dan terjatuh di lantai 3, keadaan tempat yang tergambar itu sangat mirip dengan gambaran Pratama Jaya High School.     

Dan sekejap dia teringat dengan Eliza, sketsa gambar ini mirip karya tangan Eliza.     

Karna selama ini Eliza itu terkenal sangat pandai menggambar.     

"Gak, mungkin kan kalau dia yang gambar?" ujar Ninna.     

Ninna merasa sangat ketakutan seluruh tubuhnya mendadak merinding.     

Ninna segera keluar dari dalam kamarnya dan masuk ke dalam kamar sang ibu.     

Tok tok tok!     

"Mama! Mama! Buka pintunya, Ma!" teriak Ninna memanggil sang ibu.     

Ceklek!     

Ninndi membuka pintunya.     

"Ada apa sih, Ninna!?" tanya Nindi sambil mengusap-ngusap kedua matanya.     

"Ninna, takut, Ma! Ninna mau tidur di sini!" ujar Ninna dengan wahah ketakutan.     

"Kenapa tiba-tiba menjadi penakut begini?" tanya Nindi.     

"Pokoknya, Ninna, takut!"     

"Ah, yasudahlah kalau begitu!"     

Tak terasa malam pun berganti menjadi pagi. Dan Ninna baru saja terbangun, dia mendapati sang ibu masih terlelap.     

Tapi jam menunjukkan pukul 06 : 30, Ninna terpaksa bangun duluan melawan rasa malas, karna dia harus bersekolah.     

"Ah, rasanya kejadian semalam membuat ku merasa ketakutan hingga kini," gumam Ninna.     

Lalu Ninna masuk ke dalam toilet.     

Baru satu menit berada di dalam toilet, Ninna sudah berteriak histeris.     

"Akhhh!"     

"Ada apa sih, Ninna!?" tanya Nindi yang langsung terbangun.     

"Ada, Eliza! Ma! Eliza!" jawab Ninna.     

"Kamu itu, ngacok banget sih!"     

"Beneran, Ma! Eliza neror, Ninna! Dia mau bunuh Ninna!"     

"Ah, kamu itu sedang kurang sehat ya?!" Nindi memegang kening putrinya.     

"Tapi, normal, badan kamu gak panas!" tukas Nindi.     

"Kan, Ninna udah bilang, Ninna gak bohong! Ninna ngomong apa adanya, Ma! Badan Ninna sehat, dan Eliza, benar-benar mau bunuh, Ninna!"     

"Udah-udah! Cikup, Jeninna! Kamu itu beneran lagi halusianasi! Kalau kamu sering berhalusinasi begini, Mama bakalan bawa kamu ke psikiatri!"     

"Enggak, Ma! Ninna gak halusinasi!"     

"Bahkan, Tante kamu Rasty, juga sudah memeberitahu Mama, kalau di sekolah kamu itu juga sering berhalusinasi."     

"Ma! Ninna benar-benar gak bohong! Dia bakalan jatuhin tubuh Ninna dari lantai tiga, seperti apa yang dudah Ninna lakukan kepadanya!"     

"Udah-udah, ayo cepat ganti baju, terus periksa ke dokter, biar Mama, antarkan,"     

"Enggak mau! Pokoknya enggak mau!"     

Ninna pun segera berlari dan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan menutup pintu.     

"Ninna! Ninna! Jeninna! Buka pintunya!" teriak Nindi.     

Tapi Ninna enggan membuka pintunya, dia sangat marah dengan sang ibu karna tidak mau mempercayainya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.