Bullying And Bloody Letters

Mendengarkan Curhatan Ninna



Mendengarkan Curhatan Ninna

0"Ayo cepat kat—"     
0

Kedua netra Jeninna melotot tajam karna ternyata yang ada di sampingnya bukanlah Sera melainkan Eliza yang sedang menunduk dengan tubuh yang di penuhi dengan darah.     

"AKHHHHH!" teriak Jeninna.     

Seketika Jeninna berlari dengan kencang meninggalkan ruangan kelas itu, sementara Sera hanya bisa memandang dengan tatapan nanar bercampur keheranan.     

"Ninna, kenapa sih?"     

Sebagian teman-teman yang lain malah asyik berbisik-bisik membicarakan sikap aneh Ninna yang tiba-tiba beralari ketakutan tanpa sebab begitu.     

"Kenapa dia?"     

"Entalah!"     

"Jadi benar dia itu depresi?"     

"Aku rasa bukan depresi lagi, tapi memang sudah gila!"     

"Wah, parah haha!"     

"Apa mungkin ini karma? Karna selama ini dia selalu berbuat jahat kepada, Eliza!"     

"Ssstt... sudah! Jangan berbicara yang tidak-tidak! Kalau sampai, Ninna atau Bu Rasty dengar kita semua bisa dalam masalah!"     

Sementara yang lain sedang asyik membicarakan Jeninna, Sera tampak hanya terdiam sambil cemas memikirkan nasib sahabatnya itu.     

Meski Jeninna sering kali berbuat semena-mena terhadapnya, tapi Sera tetap sangat peduli dengan Jeninna.     

Karna baginya Jeninna tetaplah sahabatnya, dan melihat semua orang membicarakan Jeninna seperti itu membuatnya merasa sangat kasihan.     

Duh, masa iya sih, Ninna itu beneran gila?" tukas Sera.     

Dan Sera pun berlari keluar kelas untuk mengejar Jeninna.     

"Jeninna! Tunggu!" teriak Sera.     

Sementara itu Jeninna sudah berlarau menuju ruangan Rasty.     

"Aduh, malah masuk ke dalam ruangan, Bu Rasti lagi!" keluh Sera.     

Sera pun turut masuk ke dalam ruangan Rasty si kepala sekolah.     

"Ninna! Kamu di mana?!" teriak Sera. "Ayo keluar, Ninna!" pinta Sera.     

Lalu dia mendapati Ninna sedang bersembunyi di pojokakan.     

"Kamu gak apa-apa, 'kan?" lirih Sera.     

"Pergi! Kamu! Pergi! Tolong! Jangan ganggu aku!" teriak Ninna.     

"Ninna! Ini aku, Ninna! Aku Sera!" tukas Sera.     

"Minggir! El! Kau sudah mati! Tolong jangan ganggu aku!" teriak Ninna.     

Dan dari Rasty pun mulai memasuki ruangannya.     

Rasty tampak heran kenapa sejak dari luar sudah terdengar sangat bising.     

"Loh, ada apa sih ini?" ujar Rasty.     

"Bu Rasty, Jeninna, Bu!" ujar Sera.     

"Ninna, kenapa?!"     

"Dia ketakutan sendiri! Bu!"     

"Hah?! Dasar anak ini!" Dan Rasty pun segera mengangkat tubuh Jeninna yang sedang menunduk ketakutan itu.     

"Sini peluk, Tante," tukas Rasty dengan suara pelan.     

Akhirnya Ninna pun menjadi sedikit lebih tenang karna mendengar suara Rasty.     

"Tante Rasty! Ninna takut, Tante!"     

"Ssstttt... sudah, sudah, jangan takut ada Tante disini," tukas Rasty.     

"Tante! Dia datang lagi! Tante!"     

"Siapa?"     

"Eliza, Tante!"     

"Hufftt... kan sudah Tante bilang, kalau dia sud—" Rasty menengok kearah belakang, dan masih ada Sera yang berdiri dengan wajah oaniknya menatap Ninna.     

Tentu saja hal itu membuatnya merasa tidak nyaman. Apa lagi ini menyangkut Eliza, gadis yang sudah dia bunuh.     

"Sera!" Panggil Rasty.     

"Iya, Bu Rasty!" jawab Sera.     

"Bisa kamu keluar dari ruangan saya sebentar?"     

"Tapi, bagiamna dengan Ninna?" tanya Sera.     

"Tenang saja, Sera! Ninna kan udah ada saya!" tukas Rasty.     

"Ah, baiklah, kalau begitu, Bu Rasty, saya pergi dulu,"     

"Iya,"     

Sera pun keluar dari ruangan kepala sekolah, dan tinggalah Rasty bersama Ninna keponakannya.     

"Ayo, sini duduk! Bicara sama Tante!"     

Rasty memaksa Ninna duduk di bangkunya, lalu dia memberikan satu gelas air putih untuk Ninna.     

"Minum, biar pikiran kamu jadi tenang,"     

Dengan pelan Ninna meneguk segelas air itu.     

"Bagaiamana? Apa sudah mulai tenang?" tanya Rasty.     

Dan Ninna pun menganggukkan kepalanya.     

"Bagus, sekarang kamu boleh ceritakan apa yang baru saja terjadi kepadamu di kelas?" tanya Rasty.     

"Tante, Eliza terus menggangguku, Tante! Dia menerorku, dan sepertinya dia ingin membunuhku!" jelas Jeninna.     

"Membunuhmu?"     

"Iya, bukan hanya pagi ini, semalam Eliza juga mengirim surat anacaman kepadaku,"     

"Surat?"     

"Iya!" Ninna mengangguk.     

Rasty terdiam sesaat, dan dia teringat dengan kejadian kemarin.     

Dia juga di kirimi surat anacaman, bahwa Jeninna akan mati, tapi kemarin hanyalaah mimpi, walau pun baginya terasa sangat nyata dan sampai detik ini masih membuatnya merasa sangat takut dan merinding.     

"Lalu apa lagi setelah itu?" tanya Rasty kepada Ninna.     

"Tante, percaya dengan ucapan Ninna?" tanya balik Ninna yang merasa sangat keheranan. Karna sebelumnya, Rasty sama sekali tidak menanggapi ucapannya, bahkan dia selalau bicara kalau Ninna hanya berhalusinasi, tidak sehat dan lain sebagainya.     

Dan terasa sangat aneh saat Rasty tiba-tiba meresponnya dengan baik seperti ini.     

"Ya, Tante, bukanya percaya, hanya saja, tidak ada salahnya kan kalau Tante lebih mendengarkan apa yang di katakan oleh keponakan Tante ini," jawab Rasty yang seolah menutupi dirinya yang mulai mempercayainya.     

Dan hal itu membuat Ninna sedikit kecewa.     

"Huft... ku pikir, Tante, beneran percaya, tapi ternyata aku salah,"     

Rasty terdiam tak bergeming.     

"Tapi, ya sudahkah, setidaknya Tante mau mendengarkan apa yang Ninna katakan, tidak seperti Mama," ujar Ninna lagi.     

"Yasudah, sekarang katakan saja, apa lagi yang kamu alami?"     

"Baik, Tante. Ninna akan ceritakan semuanta kepada Tante, dan Ninna berharap Tante mau mempercayai apa yang yang sudah Ninna katakan ini,"     

"Iya, Ninna, silahkan katakan saja, apa yang ingin kamu katakan,"     

"Eliza, akan membunuh ku dengan cara yang sama, Tante,"     

"Maksudnya?"     

"Dia akan menjatuhkan tubuhku dari lantai tiga, sama persis dengan apa yang sudah kita lakuakn,"     

"Dari mana kamu bisa tahu semua itu?"     

"Dia mengirimiku sebuah surat ancaman, dan memberiku sebuah seketsa gambar, tentang bagaimana tubuhku setelah terjatuh dari lantai Tiga, dan sepertinya kematian ku nanti akan jauh lebih mengenaskan dari pada kematiannya!"     

"Sepertinya sudah cukup, Ninna!" sergah Rasty yang sudah tidak tahan lagi.     

"Dan kepalaku akan terpisah dari tubuhku setelah jatuh nanti!" lanjut Ninna lagi.     

Rasty hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ini terdengar menyeramlan namun juga taknmasuk akal, menanggapi uacapan Ninna membuatnya merasa bingung harus berbuat apa, dia merasa antara percaya dan tidak percaya.     

"Tante! Ninna takut, Tante!" Ninna segera memeluk Rasty.     

"Sudahlah, Ninna, jangan takut, percaya sama Tante, bahwa tidak akan terjadi apa pun kepadamu, dia tidak akan melukaimu, apa lagi sampai menjatuhkanmu dari lantai tiga, toh buktinya kamu masih baik-baik saja, kan di sini?" ujar Rasty yang memcoba menenangkan Ninna.     

"Tapi, Tante, Ninna takut,"     

"Tenang, Ninna, Tante yakin, pasti ini adalah ulah dari Raisa, entah bagaimana caranya dia sudah membuat mu menjadi seperti ini, tapi kamu tenang saja, karna Tante gak akan tinggal diam,"     

Rasty terus memeluk dengan erat sambil mengusap-usap punggung Ninna. Perlahan Ninna melepaskan pelukan Rasty.     

Dan di saat itu tiba-tiba wajah Rasty berubahnya menjadi wajah Eliza.     

Seketiak Ninna pun berteriak histeris.     

"TIDAAAK!"     

Ninna berlari keluar dari ruangan Rasty.     

"Ninna! Ninna! Tunggu! Jangan lari, Ninna!" teriak Rasty memanggilnya keponakannya itu.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.