Bullying And Bloody Letters

Cinta Yang Usil



Cinta Yang Usil

0Laras sangat kaget saat mendengar cerita dari Mentari rupanya Alvin adalah sahabatnya sedari duduk di bangku sekolah dasar.     
0

Bahkan mentari juga menceritakan kebersamaannya dengan Alvin beberapa hari ini.     

"Kalau mendengar dari cerita kamu itu, sekarang rasa benci dan kesalku kepada Alvin sedikit hilang," tukas Laras.     

"Iya memang seharusnya begitu, kamu jangan kesal dengan Alvin, Alvin itu baik lo," Sahut Mentari.     

"Kamu suka ya sama, Alvin?" cecar Laras     

"Ya suka. Tapi sebagai sahabat," jawab Mentari.     

"Yakin sahabat?"     

"Yakin dong,"     

      

Tringg....     

Bel masuk sekolah pun kembali terdengar di telinga, dan mereka semua pun mulai berbondong-bondong masuk ke dalam kelas.     

 Mentari dan Laras pun mulai duduk di bangku mereka.     

Sebentar lagi pelajaran akan di mulai, Pak Handoko si Guru Agama sudah memasuki kelas.     

Dan Mentari mulai mengeluarkan buku-bukunya.     

Namun saat dia merogoh laci meja untuk mengeluarkan Buku-bukunya, dia malah menemukan banyak sekali hadiah.     

"Hah?! Apa itu?!" tanya Laras yang syok.     

Sementara Mentari mengeluarkan satu-persatu benda-benda dari dalam laci mejanya.     

Mulai dari coklat, bunga, surat dan beberapa kue vanila.     

"Gila, siapa yang ngirimin tuh?" tanya Laras.     

Mentari menggelengkan kepalanya, "Aku juga gak tau, Laras."     

"Apa mereka, para penggarmu?"     

"Penggemar? gak mungkin lah," jawab Mentari.     

"Tapi, bisa aja kan?"     

"Gak mungkin, Laras, justru aku pikir ini dari para penggemarmu,"     

"Haha, ya enggaklah, aku dari dulu tidak pernah punya penggemar!"     

"Masa?! tapi kamu cantik, gak kayak aku, jadi sudah pasti itu bukan aku,"     

Laras pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.     

"Kamu itu benar-benar gak sadar ya, kalau sebenarnya kamu hari ini tuh cantik banget,"     

"Hah!?" Mentari malah bengong karna tak percaya dengan ucapan Laras.     

"Kamu, itu lagi bercanda ya sama aku?"     

"Haha, ya enggak dong, Tari. Aku bicara jujur, sejujur-jujurnya malah, kamu hari ini cantik banget, kamu kemarin habis di apain sih bisa berubah gini?" tanya Laras yang penasaran.     

"Emm, aku kemarin pergi ke mol dan di belikan baju baru banyak banget, sama Om Dimas, setelah itu aku di bawa ke salon,"     

"Waw, pantas saja,"     

Di saat mereka tengah asyik, mengobrol, tiba-tiba saja Pak Handoko menghampiri mereka.     

"Tolong ya, jangan mengobrol di dalam kelas, apa lagi jam pelajaran seperti ini," tukas pak Handoko dengan sabar.     

Mentari pun seketika menjadi tidak enak dengan pak Handoko.     

"Maaf kan kami, Pak. Kami janji tidak akan berisik lagi," tukas Mentari.     

"Baik, Tari, Bapak maafkan tapi tolong jangan di ulang lagi ya," tukas Pak Handoko.     

      

      

Dan tak terasa jam pelajaran pun sudah usai, dan kini waktunya mereka untuk pulang.     

Mentari dan Laras berjalan beriringan. Dan di depan gerbang sekolah mereka berpapasan dengan Fanya.     

"Loh, itu ...." Tukas Fanya sambil menunjuk ke arah Mentari.     

"Dia, beneran si culun itu ya!" ucap Fanya lagi.     

Dua temannya, yaitu Ane dan Kesya tampak turut melihat dan memperhatikan Mentari.     

Mereka semua benar-benar masih belum yakin jika gadis itu adalah Mentari.     

"Itu serius, si Dekil?" tanya Keysia.     

"Gila, beda banget, tapi kalau dilihat dari cara jalannya, memang beneran, si Dekil, sih," ucap Ane.     

      

"Akhhh! sial!" teriak Fanya, "jadi yang pergi kemarin bersama Alvin itu beneran Mentari ya!" segera Fanya menggenggam dan mencekram tisu yang ada di tangannya karna saking geramnya.     

"Awas, aja, dia udah berani dekat-dekat dengan Alvin. Pokoknya siapa pun tidak akan aku biarkan bersama Alvin, Alvin cuma milikku!" tukas Fanya penuh amarah.     

"Sabar, Fanya." Sahut Ane.     

"Iya sabar, Fanya. Tenang aja kita pasti bantu kamu, buat dapetin Alvin." Imbuh Keysia.     

Fanya masih menatap Mentari dan Alvin yang masih berjalan santai.     

Lalu tanpa mereka sadari, tiba-tiba datang tamu yang tak di undang.     

Cinta berada tepat di bagian belakang mereka.     

"Kok, perasaan jadi gak enak ya," tukas Ane.     

"Aku juga merasa merinding," imbuh Keysia.     

"Ah, itu perasaan kalian aja, ayo kita pergi!" ajak Fanya.     

Dan mereka bertiga berjalan meninggalkan tempat itu, tapi saat mereka melangkah tiba-tiba saja, Cinta menjambak rambut, Ane dan juga Keysia.     

"Akh! sakit!" Teriak Kesya.     

"Kamu jambak rambutku ya, Ne?!" tukas Keysia menuduh Ane.     

"Enak aja! aku gak jambak kamu tahu!" jawab Ane. "Kamu tuh yang jambak rambutku!" Kesya malah menuduh balik  Ane.     

"Ih enggak kok!" teriak Ane.     

"Atau jangan-jangan kamu ya!?" teriak Keysia yang gantian menuduh Fanya.     

"Hey! Enak aja! Aku gak ngapa-ngapain main tuduh aja!" Fanya tampak kesal kepada kedua temanya itu, "lagian kurang kerjaan amat aku jambak kalian!" tambahnya lagi.     

"Terus siapa dong?" tanya Ane sambil melirik ke arah Keysia.     

"Jangan-jangan—" ucap serempak Ane dan Keysia.     

"Awww! Sakit!" teriak Fanya yang ada di belakang mereka berdua.     

Seketika Ane dan Keysia pun menoleh ke arah Fanya.     

"Kenapa kamu, Fanya?" tanya Keysia.     

"A-ada ... yang jambak aku!" jawab Fanya yang mulai takut.     

"Tuh, kan aneh," tukas Ane yang mulai merasa was-was.     

"Yaudah tunggu apa lagi!" Fanya menarik tangan kedua sahabatnya, "ayo lari!" ajak Fanya.     

Dan mereka bertiga pun langsung berlari sekuat tenaga.     

Tapi Cinta malah sudah muncul di depan mereka sambil tersenyum sinis.     

Tapi tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan Cinta.     

Dan Cinta pun malah kembali mengerjai mereka bertiga lagi, Cinta menuang sebuah ember berisi bekas air untuk mengepel. Lalu mereka bertiga pun tergelincir, karna telah berlari di tempat yang licin.     

Glubuk!     

Glubuk!     

Duak!     

"Aduh, kepalaku!" teriak Fanya.     

"Aduh, pinggang ku! Hik hik...." Ane pun sampai menangis.     

"Oh, my God! kening ku jadi benjol nih!" tukas Keysia sambil mengelus-elus keningnya sendiri.     

"Ah, sakit tahu! ini siapa sih yang menaruh ember di jalan!" oceh Fanya sambil berusaha untuk berdiri.     

"Nya, tolong dong!" Ane mengulurkan tangannya, "sudah berdiri nih, pinggangku sakit!" keluh Ane.     

"Masih mending, ini keningku benjol!" Kesya masih mengusap-usap keningnya, "kalau kayak gini wajahku jadi jelek!" gerutu Keysia.     

"Sini ! Ayo biar ku bantu kalian bangun!" tukas Fanya sambil mengulurkan kedua tangannya, untuk kedua sahabatnya.     

"Iya," jawab Keysia.     

Dan Fanya pun membantu kedua sahabatnya berdiri secara bersamaan.     

Tapi keisengan Cinta tidak hanya sampai di situ saja, Cinta masih berniat mengganggu mereka berdua.     

Dia mendorong tubuh Fanya yang tengah membantu kedua temanya.     

      

      

Gedubrak!     

"Ah, Fanya! kenapa malah jatuh sih?!" teriak Ane.     

"Iya, kan kita juga ikutan ambruk lagi nih!" keluh Keysia.     

"Maaf, aku di dorong!" jawab Fanya.     

"Apa, di dorong?" tanya Ane.     

"Iya, hik, aku di dorong seseorang yang tidak terlihat," tukas Fanya.     

"Maksudnya setan gitu?"     

"Iya, makanya ayo buruan bangun dan cepat tinggalkan tempat ini!" ajak Fanya.     

Lalu mereka bertiga pun langsung terbangun  dengan cepat dan masing-masing, mulai berlari meninggalkan tempat itu. "KABUR!" teriak Fanya mengomando  taman-temannya.     

      

***     

      

Esok harinya, Alvin  sudah duduk di bangku luar rumah Mentari, dengan baju seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. Alvin sedang menunggu Mentari keluar dari dalam rumahnya.     

"Ini silakan di minum, Mas, Alvin," tukas Yuni sambil menaruh  cangkir teh hangat di meja Alvin.     

"Loh kok, repot-repot sih Mbak, segala bikin teh untuk saya," ujar Alvin.     

"Gak repot kok, Mas. Itu kan sudah menjadi tugas saya," tutur Yuni.     

"Tapi kok, tehnya ada dua ya?" tanya Alvin.     

"Oh, itu yang satunya lagi, untuk Pak  Dimas," jawab Yuni.     

"Hah?!" Alvin sampai kaget, dan perasaannya mulai tidak enak karna harus berhadapan dengan Dimas. Dia tidak mau di interogasi oleh paman dari Mentari itu.     

"Duh, Tari lama banget sih," gumam Alvin yang merasa tidak tenang.     

Dan tak berselang lama Dimas pun datang menghampirinya.     

"Ada apa? kok gelisah begitu sih?" tanya Dimas yang kini sudah mulai duduk di sebelah Alvin.     

"Eh, Om Dimas," sapa Alvin sedikit canggung, "Om, tidak berangkat kerja?" tanya Alvin berbasa-basi.     

"Kerja kok, sebentar lagi baru pergi," jawab Dimas.     

"Owwwh," Alvin memanggut-manggutkan kepalanya sesaat lalu menunduk.     

"Kamu sendiri tumben jemput, Tari?" tanya balik Dimas.     

"Ah, iya, Om! sekalian kan kita searah, dari pada Tari berangkat sendiri dan jalan kali kan kasian," jawab Alvin.     

"Memang kamu pernah lihat kalau Tari berangkat atau pergi ke sekolah berjalan kaki?" tanya Dimas lagi.     

"Belum sih, Om, saya kan anak baru, tapi Tari pernah bercerita kepada saya begitu," jelas Alvin.     

"Owww," gantian Dimas yang memanggut-manggutkan kepalanya.     

"Vin, saya boleh minta tolong enggak?" tanya Dimas.     

"Tolong? Memangnya mau minta tolong apa, Om?"     

"Saya, kan tidak bisa terus mengawasi Mentari, apa kamu bisa menggantikan saya untuk untuk mengawasi Mentari."     

"Maksudnya mengawasi yang bagaimana ya, Om? Mentari kan tidak suka berbuat yang aneh-aneh," ujar Alvin.     

"Iya, saya tahu soal itu, tapi yang saya maksud adalah, mengawasi yang artinya menjaga,"     

"Oh, maksudnya itu, Om,"  Alvin tampak sudah paham dengan apa yang di maksud oleh Dimas. "Tenang, Om. Kalau soal itu, jangan khawatir, karna saya pasti akan menjaganya," tukas Alvin penuh yakin.     

"Jujur awal pertama bertemu denganmu aku sedikit ragu, kalau kamu itu adalah pemuda baik-baik, tapi semakin lama saya melihatmu, kamu terlihat benar-benar tulus ingin menjadi teman keponakanku," Dimas tampak tersenyum sedikit kepada Alvin. "Apa kamu menyukai Keponakan saya?" tanya Dimas yang blak-blakan.     

"Ummp uhuk uhuk uhuk!" Alvin yang kaget pun sampai terbatuk-batuk.     

"Loh, kok malah batuk-batuk? pelan-pelan aja minumnya!" ucap Dimas mengingatkan Alvin.     

"I-iya, Om," jawab Alvin.     

"Tadi saya bicara sampai mana ya?" Dimas tampak mengingat-ingat apa yang telah di ucapkannya tadi.     

      

Dan belum sempat mengingatnya, tiba-tiba Mentari pun datang menghampirinya mereka berdua.     

"Alvin ayo berangkat sekarang, hari ini aku piket soalnya," ajak Mentari.     

"Huuut  ...." Menghela nafas panjang, "ayo!" tukas Alvin penuh semangat.     

"Om, Tari berangkat dulu ya," tukas Mentari sambil mencium tangan pamannya. Dan selanjutnya di belakangnya Alvin juga mulai meraih dan mencium tangan  Dimas.     

"On, kami berangkat dulu ya," ujar Alvin.     

"Iya, kalian hati-hati ya,"  sahut Dimas.     

Dan mereka berdua pun yaitu, Mentari dan juga Alvin  berangkat ke sekolah.     

Sementara Dimas masih memikirkan apa yang sedang di bahas tadi dengan Alvin.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.