Bullying And Bloody Letters

Hubungan Keluarga



Hubungan Keluarga

0"Tidak masalahlah kalau aku harus berjalan kaki lagi, toh tidak terlalu jauh ini. Lagi pula yang terpenting perutku kan kenyang, maka tenagaku juga bertambah," gumamnya sambil berjalan santai.     
0

      

Untungnya rumah Kayatri tidak terlalu jauh dari komplek perumahan mewah itu, hanya sekitar 5 menit saja sudah sampai.     

"Huh, sampai juga akhirnya, di rumahku yang sempit ini." Tukasnya sambil mencopot sepatunya.     

Sambil duduk mengatur nafas Kayatri merogoh ponsel dari sakunya.     

      

"Aduh, bodohnya aku, kenapa aku  sampai lupa meminta nomor Tyas sih? padahal, 'kan dia bisa aku manfaatkan sekarang,"     

Kayatri tampak menyesal dan menepuk keningnya sesaat.     

"Uh, payah!"     

      

      

***     

Sementara itu Larisa baru saja pulang dari sekolah. Dan dia berjalan santai menghampiri ibunya dan membantunya berjualan.     

"Ibu!" panggil Larisa penuh ceria.     

"Eh, anak Ibu sudah pulang! tumben gak sama Alex?" tanya Ibunya.     

"Tadi di antar kok, tapi cuman sampai di depan gang, karna Alex sedang buru-buru ada urusan,"     

"Ow, begitu ya, yasudah kalau kamu masih cape istirahat dulu saja, biar ibu sendiri yang berjualan."     

"Enggak kok, Larisa gak capek, sini biar Larisa gantikan!"     

Dan Larisa pun langsung meraih kipas sate dari tangan sang ibu.     

      

Dan tak lama setelah itu datanglah seorang wanita paruh bayah menghampiri warung mereka. Dan wanita itu adalah Kayatri. Rupanya Kayatri tinggal tak jauh dari warung sate Larisa.     

"Sate satu porsi dong." Tukasnya dengan ketus.     

"Baik, tunggu sebentar ya, Bu." Jawab ibunya Larisa.     

Dengan wajah yang masam dan kepanasan, Kayatri duduk sambil melihat-lihat tempat itu.     

"Huh, kalau aku punya uang banyak, aku pasti tidak sudi makan di tempat kumuh seperti ini," gerutunya.     

Dan tak lama Larisa pun membawakan sate pesanannya.     

"Mau pakek lontong, Bu?" tanya Larisa.     

"Iya, sama teh hangat satu." Jawab Kayatri.     

      

"Huh, anak ku satu-satunya sekarang lebih memilih tinggal dengan ayahnya. Sementara ibuku tinggal di kampung asal. Terpaksa aku harus hidup seperti ini, sendiri, terlunta-lunta, mengontrak dan makan di tempat seperti ini. Pokoknya aku tidak mau tahu, bagaimana pun caranya aku harus mendapatkan Wijaya. Supaya kehidupanku kembali seperti dulu lagi," Gumamnya lagi.     

      

Kemudian Larisa pun kembali menghampiri Kayatri dan membawakan segelas teh hangat.     

"Ini Bu, teh hangatnya," ucap Larisa.     

"Iya."     

      

Dan Larisa pun kembali melakukan tugas lainnya.     

Sementara Kayatri tampak dengan lahap memakan sate-sate itu.     

Tak berselang lama datanglah sebuah mobil sedan mewah, yang tiba-tiba terparkir di depan warung sate Larisa.     

Kayatri yang melihatnya langsung terkejut, karna sepertinya dia pernah melihat mobil itu.     

Dan setelah di perhatikan lagi, ternyata mobil itu adalah milik Wijaya, Kayatri baru saja mengingatnya.     

"Aku yakin pasti mobil ini adalah mobil milik Wijaya," tukasnya penuh yakin.     

      

Dan benar saja, sosok pria yang keluar dari mobil itu memang benar-benar adalah Wijaya.     

"Wah, benar-benar Wijaya, rupanya, lalu dia mau apa datang kemari?"     

Kayatri pun langsung berdiri untuk menatap wajah Wijaya dengan yakin.     

      

Wijaya yang tak melihat keberadaan Kayatri, terus berjalan mendekat ke warung sate Larisa, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menemui Larisa.     

      

Dengan senyum ramah penuh percaya diri  Wijaya melangkah. Dengan tongkat yang selalu dia bawa meski dirinya tidak pincang.     

Dan perlahan dia memanggil dan menghampiri Larisa.     

"Larisa!" panggilnya     

Larisa langsung menengok ke arah Wijaya.     

"Ayah!"     

Dan Larisa pun menghampiri Wijaya kemudian mencium tangannya.     

      

"Wijaya kenal dengan anak tukang sate ini?" ucap Kayatri yang bertanya-tanya karna bingung.     

Dan tak lama setelah itu muncul Ibunya Larisa.     

"Ratih, apa kabar?" sapa Wijaya sambil mengulurkan tangannya.     

Dan Ratih pun tak langsung menyambut tangan Wijaya, dia memandang wajah Wijaya terdahulu dengan seksama.     

      

Dia hampir pangling saat melihat Wijaya yang sekarang, terlihat pucat dan sangat kurus.     

Lalu perlahan Ratih dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya juga untuk menjabat tangan Wijaya.     

"Baik." Sahut Ratih dengan singkat.     

"Maaf ya kalau kedatangan saya kemari malah membuat kalian terganggu." Ucap Wijaya yang merasa tidak enak. Karna terlihat betul dari wajah Ratih bahwa dia tidak menyukai kehadirannya.     

Wijaya pun menyadari dan memaklumi sikap mantan istrinya itu.     

Karna memang tidak mudah melupakan segala kesalahannya di masa lalu.     

"Ayah ayo duduk, biar Larisa buatkan sate," tukas Larisa.     

"Ah, tidak usah repot-repot, Ayah tidak makan sate," tukas Wijaya.     

"Kalau begitu, minum saja ya? ayah mau minum apa?"     

"Mmm, teh manis hangat boleh,"     

"Ok, Larisa buatkan ya,"     

      

      

Kayatri Sangat syok melihat keakrabkan Wijaya dengan  Larisa, bahkan dia juga mendengar Larisa memanggil Wijaya dengan sebutan Ayah.     

"Apa mungkin, jika gadis itu adalah anak dari Wijaya?" gumam Kayatri yang menerka-nerka.     

      

      

Sementara Ratih hanya diam saja dan sesekali menatap Larisa dan Wijaya yang sedang mengobrol.     

Sesungguhnya dia sangat marah dan ingin memaki Wijaya, karna sudah berani menemui Larisa.     

Tapi di sisi lain dia juga tidak mau melihat Larisa bersedih jika melihat ibunya bertengkar dengan ayahnya.     

Dia juga tidak tega merubah momen bahagia Larisa saat ini.     

Karna dia bisa merasakan kasih sayang dari ayah kandungan walau terlambat.     

Dan di tambah lagi tubuh Wijaya terlihat sekali sedang sakit, maka dari itu  tentu dia juga tidak tega melihat Wijaya yang sakit itu tidak bisa bertemu dengan putrinya.     

      

      

'Sabar, aku kan sudah setiap hari bertemu dengan Larisa, kalau dia kan masih jarang sekali. Biarkan Larisa puas mengobrol bersama dengan ayahnya, toh aku bisa mengobrol dengan Larisa setiap waktu, dan kapan pun aku mau,' batin Ratih ibunda dari Larisa.     

      

Kayatri sebenarnya sangat ingin menghampiri Wijaya saat ini juga tapi dia takut jika nanti Wijaya malah mengusirnya.     

Wijaya yang sedang sendirian saja, Kayatri selalu di abaikan, apa lagi sekarang dia sedang bersama anaknya.     

"Lihat dia ramah dan lembut sekali saat bersama gadis itu, coba kalau denganku, pasti dia selalu ketus dingin dan tidak manusiawi." Gerundel Kayatri.     

Sambil mengunyah dan menggigit sate dari tusukkannya dengan kasar, Kayatri tak melepaskan pandangannya terhadap Larisa dan juga Wijaya.     

      

      

Tak terasa hari pun sudah mulai petang, Kayatri sampai tidak pulang-pulang karna masih penasaran dengan kedekatan Larisa dan juga Wijaya.     

      

Namun semakin lama, para pelanggan pun juga semakin sepi sehingga tinggallah Kayatri yang sedang berada di tempat itu sendiri dan Wijaya mulai menyadari kehadirannya.     

Wijaya melirik ke arah Kayatri dengan tatapan sinis.     

Dan menyadari dirinya yang sudah dilihat oleh Wijaya, Kayatri pun  langsung bergegas pergi dari warung itu.     

      

"Hey! Bu! bayar dulu!" teriak Larisa.     

Tapi Kayatri tak memedulikannya dia terus berjalan cepat setengah berlari.     

Dan Larisa pun sampai berdiri dan hendak mengejarnya.     

Tapi Wijaya melarangnya, "Sudah biarkan saja, nanti biar Ayah yang membayarnya." Ucap Wijaya.     

      

Dan saat mereka sedang duduk berdua Ratih mulai memanggil Larisa.     

"Larisa, ayo bantu Ibu dagangannya sudah habis, waktunya tutup warung dan pulang!" teriak   sang ibu.     

"Baik, Bu!" jawab Larisa.     

"Ayah, aku bantu Ibu dulu ya,"     

"Iya, silakan."     

      

Dan Larisa pun mulai merapikan semuanya, termasuk mencuci piring-piring kosong dan lain sebagainya.     

Dan di saat itu Ratih berjalan menghampiri Wijaya.     

      

Dengan kasar dia duduk di bangku dekat Wijaya.     

 "Kamu sudah lama berada di sini, apa kamu tidak berniat untuk pulang?" ketus Ratih.     

"Maaf, Ratih, kalau kehadiranku sangat mengganggumu, tapi jujur aku sengaja menunggu sampai semuanya sepi. Karna jujur aku ingin mengobrol denganmu," ucap Wijaya.     

"Untuk apa?"     

"Aku ingin membahas tentang hubungan kita,"     

'Apa Mas Wijaya ingin mengajakku rujuk ya?' batin Ratih, lalu dia menggelengkan kepalanya, 'ah tidak! aku tidak akan mau, dan itu tidak mungkin terjadi,' batinnya lagi meyakinkan dirinya sendiri.     

      

"Aku ingin meski kita bercerai, tapi kita masih berhubungan baik. Paling tidak anggap aku sebagai sahabatmu, atau saudaramu. Karna aku juga ingin membagaikan putriku,"     

      

"Setelah kamu mengabaikannya selama bertahun-tahun?"     

      

"Maaf,  Ratih, aku tahu aku salah. Dan aku mohon beri aku kesempatan, biar ku tebus kesalahanku kepada  kalian, meski kita bukan suami istri lagi."     

      

Ratih pun terdiam, dengan wajah tampak kesal, sementara Larisa sedikit menguping pembicaraan ayah dan ibunya, sambil merapikan sisa dagangannya. Harapan Larisa hanya satu, agar sang ibu dan ayah tetap berhubungan baik. Meski tidak mungkin bersatu lagi menjadi suami istri.     

      

"Ratih, aku sangat menyesal untuk semuanya, aku menyesal sudah menyia-nyiakan dirimu. Harusnya dulu aku tidak menikah denganmu jika pada akhirnya aku malah menyakitimu, dan membuat kalian hidup sengsara."     

Dan tak sadar mata Wijaya yang sejak tadi sudah berkaca pun mulai meneteskan air matanya.     

Ini kali pertamanya Ratih melihat air mata Wijaya terjatuh. Terlihat betul jika Wijaya benar-benar tulus meminta maaf.     

      

Melihat kondisi tubuh Wijaya yang terlihat kurus dan sakit-sakitan ini  membuatnya yakin bahwa selama ini Wijaya juga melewati hari-hari yang sulit, sama seperti dirinya.     

Bahkan dirinya bisa di bilang jauh lebih beruntung di bandingkan Wijaya.     

Karna setelah bercerai dari Wijaya dia bertemu dengan mendiang suaminya yang sangat baik hati dan sangat menyayanginya dan Larisa.     

Meski hidup serba kekurangan tapi keluarga kecil mereka sangat bahagia.     

      

Berbeda dengan Wijaya yang masih setia menduda seumur hidup hanya demi seorang wanita yang sudah meninggal. Yaitu Larasati.     

      

"Baik , mas aku memaafkan mu. Aku harap kamu menggunakan kesempatanmu itu dengan baik. Tapi meski aku mengizinkan mu bersama Larisa, tapi tetap kamu tidak berhak untuk merebutnya dari ku atau memiliknya seutuhnya." ucap Ratih dengan tegas.     

      

"Tenang saja Ratih sama sekali aku tidak pernah ada niat untuk memisahkanmu dengan Larisa, karna aku tidak berhak untuk itu. Cukup dengan mengizinkanku bisa bersama Larisa saja aku sudah bahagia,"     

      

"Bagus, Mas. Kalau begitu, aku bisa hidup dengan tenang karna tidak lagi takut kehilangan Larisa," ucap Ratih.     

      

"Terima kasih, Ratih. Sejak dulu kamu memang selalu, baik. Pantas saja jika kamu mendapatkan lelaki yang baik pula, seperti suamimu itu. Kalau seandainya suamimu masih hidup aku akan sangat bertema kasih kepadanya, karna sudah mau menjaga anakku beserta Ibunya,"     

      

"Iya, Mas." Ratih tersenyum.     

      

"Ayah, Ibu. Apa kalian sudah baikan?" tanya Larisa.     

Ratih dan Wijaya tersenyum kompak menatapnya.     

***     

Semenjak saat hubungan Wijaya dan Ratih menjadi semakin baik. Memang tak ada rasa cinta di antara mereka berdua, tapi ada rasa sayang yang seperti layaknya keluarga.     

Ratih dan Wijaya, menyadari bahwa mereka tidak akan bisa lagi bersatu dan saling mencintai. Tapi dengan hubungan baru yang mereka sandang saat ini, yaitu hubungan keluarga atau sebagai saudara, tentu membuat mereka merasa lebih nyaman dan  bahagia.     

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.