Gairah Nona

Berkorban



Berkorban

0Bandara Juanda.     
0

Setelah turun dari mobil online, gadis itu berjalan dengan tergesa-gesa sembari mengedarkan pandangan, bandara sudah disibukan oleh orang-orang yang lalu lalang. Pandangannya langsung berhenti tepat di dekat pintu keberangkatan. Terlihat seseorang yang ia cari bersama dengan seorang ibu dan lelaki yang wajahnya mirip Gelmar. Senyum merekah dibibirnya.     

Tiba-tiba seorang anak kecil berlarian dan menubruk kaki Delinda. Anak itu terpelanting ke lantai, lalu menangis.     

"Heh, kamu lihat-lihat dong kalau jalan, anak saya sampai menangis gini!" hardik wanita muda sembari menggendong anaknya yang masih balita itu dan menenangkannya,"Aduh, Dek. lututnya memar ya?"     

Delinda kebingungan. Dia merasa sudah berhati-hati tetapi yang namanya anak kecil tidak bisa disalahkan."Maaf ya Mbak, anaknya tadi yang lari-lari sampai menabrak kaki saya, seharusnya Mbak sebagai ibunya lebih hati-hati menjaganya."     

"Kok kamu jadi nyalahin saya! Jelas-jelas kamu yang menabrak anak saya sampai lututnya memar. Dasar orang gak waras!" bentaknya memutar balikan fakta. Tangis anak itu semakin keras mendengar bentakan ibunya.     

"Terus mau Mbak apa?"     

"Ya, kamu harus membiayai pengobatan lutut anak saya."     

Sejenak, Delinda merogoh dompet di tas selempangnya. Ia mengambil selembar uang kertas merah bergambar Soekarno – hatta.     

Lho, kok cuma segini? Tambahin satu lembar lagi," pinta wanita itu dengan gestur tangan melambai ke arahnya. Delinda memutar mata jengah, lalu memeriksa isi dompetnya lagi yang masih berisi satu lembar uang kertas merah dan pecahan lebih kecil. Gadis itu enggan menggeluarkannya. Namun dengan secepat kilat wanita itu langsung menggambilnya.     

"Nah gini dong, 'kan urusan selesai," ujar wanita itu mengibaskan dua lembar uang merah itu seperti kipas seraya berlalu di hadapanya. Delinda mendengus kesal sambil menghentakan kakinya. Kemudian ia tersadar sesuatu, ia membelalakan mata dan menepuk keningnya dengan kedua tangan. "Ya Ampun."     

Dia bergegas mendekat ke pintu keberangkatan. Benar saja, Gelmar sudah lenyap diantara lalu lalang orang. Tanpa dia sadari, seorang ibu dan lelaki tanggung heran melihatnya memanggil nama Gelmar dan berjalan dengan cepat menuju ke dalam bandara. Napasnya memburu. ia berhenti sejenak melihat running text di papan counter. Apakah penerbangannya langsung ke Amerika tau transit dulu? Kalau transit, kemana transitnya? Pesawatnya apa? Pertanyaan yang belum terjawab menambah kekalutan di hatinya. Lalu, ia melanjutkan berlari kecil dari konter check in satu ke yang lain. Hasilnya nihil.     

Gadis itu kelelahan. Nafasnya terengah-engah. Dia pun duduk di kursi seraya menutup mukanya dengan kedua tangan. Pundaknya bergetar. Air mata tumpah ruah memenuhi tangannya. Perih kembali ia rasakan.     

Delinda     

Bisikan lirih menggelitik telinganya. Seketika dia berhenti menangis. Suara itu tidak asing baginya. Dia seperti sedang berhalusinasi. Namun, Ia kembali mendengar bisikan itu disertai sentuhan hangat di pundaknya.     

"Pak Gelmar!" Gadis itu menggeser posisi duduknya menjauh dari Gelmar. Matanya membulat karena terkejut. Dia langsung menghapus air matanya sekenannya.     

"Apa kabar kamu?" tanya Gelmar lembut. Kerlingan matanya menghangatkan hati siapa saja yang melihatnya.     

"Baik, Pak. Kalau Bapak sendiri bagaimana?"     

"Kabar saya kurang baik hari ini."     

"Kok bisa, Pak?"     

"Karena saya melihat di depan saya bidadari sedang menangis." Ucapan Gelmar membuat Delinda mengulum bibirnya sendiri, gadis itu tersipu-sipu. Manajer yang dingin itu bisa ngegombal juga, batin Delinda     

"Kamu 'kan sudah berjanji dengan saya untuk kembali jadi Delinda yang periang dan penuh semangat, dan saya sudah menuruti permintaanmu untuk menjauh darimu, tapi kenapa sekarang kamu menangis?"     

Delinda yang melihat Gelmar itu kembali menunduk. Sorot mata itu selalu bisa memacu detak jantungnya lebih kencang.     

Hening. Gelmar membiarkan gadis itu tenggelam dalam lamunannya. Gadis itu menyatukan kedua tangannya dan menggerakan jempolnya tumpang tindih berkali-kali.     

"Delinda, saya harus pergi sekarang. Selamat tinggal." Pria itu berdiri dan memandang ubun-ubun gadis itu sejenak. Lalu, melangkah pergi.     

Tiba-tiba, Gadis itu berlari dan memeluk Gelmar dari belakang. Seperti de'javu kejadian mobil pick up naas yang hampir menabrak mereka. Delinda bersandar di punggung kokoh Gelmar seraya memeluk perut pria itu dengan erat. Terbersit kenyamanan yang membuat hatinya tenang, sehingga gadis itu semakin mempererat pelukannya, seolah tak ingin kenyamanan itu jauh darinya, "Pak, Maafin saya karena dulu pernah berkata seperti itu, tapi kenapa bapak lantas menghilang berbulan-bulan? Saya enggak kuat dijauhi Bapak. Saya tersiksa pak.. saya..saya.." ujar gadis itu terbata-bata. Air mata membasahi pakaian belakang Gelmar. Mereka menjadi perhatian orang-orang di bandara.     

Gelmar melepas pegangan Delinda diperutnya. Dia membalikan badan dan menampilkan ukiran bidang ditubuhnya yang terbungkus jaket hoodie sweater dihadapan tubuh semampai itu. Dia mengelus rambut Delinda dengan lembut, "Bicaralah, saya dengarkan."     

"Saya suka sama Bapak."     

Kalimat sederhana namun terucap dari relung hati. Gelmar terhenyak mendengar kalimat yang tak terduga yang keluar dari bibir mungil gadis itu. Dia menghela nafas panjang, mencoba mengontrol diri.     

"Delinda, lihat saya." Gadis itu beralih memandang Gelmar. Sekarang tidak ada keraguan di dalam hatinya. Ungkapan hati yang membuatnya gundah gulana sekian lama akhirnya terlontar sudah. Dia akan terima apapun resikonya.     

"Kamu serius dengan ucapanmu?"     

"iya Pak, saya serius."     

"Saya dengar dari Pak Malik jika kamu ingin menjadi manajer seperti saya?'     

"iya, Pak"     

"Jika kamu serius, saya juga serius," Gelmar menghela nafas sejenak. "Berusahalah sungguh-sungguh, saya akan memberi jawaban setelah kamu berhasil menjadi manajer nanti."     

Jawaban yang menggantung tetapi entah kenapa Delinda yang lugu itu girang bukan main. Bola matanya terlihat bercahaya kini. Gadis itu berlonjak-lonjak kecil sembari menggenggam tangan Gelmar, "Janji ya,Pak."     

Gelmar mengangguk pelan dengan menampilkan senyum termanis. Lalu, dia merogoh ponsel. "Sini, kita foto bareng," ajaknya sembari merangkul pundak Delinda dengan erat, sehingga membuat tubuh semampai gadis itu menghimpit dada Gelmar. Rasanya ingin teriak histeris saja.     

"Ehem..ehem, jadi ini toh temen hotelnya," seloroh Rehan dibarengi ibu Farida. Sepertinya mereka menyaksikan dua sejoli itu dari tadi, "Tapi, kok romantis ya, Bu?"     

Bu Farida menyenggol pelan perut Rehan yang sudah mulai usil, Rehan hanya nyengir kuda. Ibu paruh baya itu lalu memandang Delinda, "Siapa namamu, Nak?"     

"Delinda, Bu."     

"Nama yang cantik seperti orangnya, Kesini sama siapa?     

"Sendirian, Bu."     

"Oh, nanti bareng sama kami ya, mampir ke rumah ibu sebentar."     

"Baik, Bu."     

Gelmar melihat jam tangan. Rasanya baru beberapa menit dia bersua, tapi waktu sudah menujukan pukul tujuh. Untung saja, dia sudah selesai check in, jadi tinggal melakukan proses selanjutnya.     

"Waktunya saya pergi," ujar Gelmar sontak membuat Ibu, Rehan, dan Delinda beralih pandang ke arahnya. Delinda kemudian mendekat ke Gelmar, "Baik, Pak. Saya akan menanti kepulangan Bapak. Hati-hati di jalan ya, Pak."     

Mereka menatap punggung Gelmar sampai hilang di sudut gedung bandara. Lantas mereka langsung menuju ke tempat parkir bandara dan pergi ke rumah Ibu Farida. Delinda sangat bahagia hari itu karena sebentar lagi akan mengunjungi rumah Gelmar, meskipun dia sudah pergi jauh, setidaknya, dengan berkunjung kerumahnya dia bisa menyelami kehidupan orang yang ia kagumi itu. Tiba-tiba, terdengar notif dari hp, dia segera membukanya. Dia tersentak melihat unggahan foto selfi Gelmar di Instagram dengan dirinya ketika di bandara tadi dengan caption, Seamen never breaks promises.     

******     

Sementara itu di lain tempat,     

"Arghhhh!" teriak wanita sexy itu yang tampak awut-awutan. Dia mengenakan baju oranye dengan punggung bertulisan "Tahanan". Ingin sekali dia membanting meja yang ada dihadapannya, namun hal itu tak mungkin terjadi mengingat posisi dirinya yang masih dipenjara.     

"Kamu lihat sendiri 'kan? Anak magang itu telah berhasil memiliki Gelmar," tutur Rina seraya menunjukan foto terbaru Gelmar dengan Delinda di Instagram." Padahal dulu kita sering berantem gara-gara dia. Betapa bodohnya kita berlomba-lomba memperebutkan pria yang tidak menggubris kita sama sekali," kenang Rina dengan senyum getir. Dadanya terasa sesak. Sering kali dia mengunjungi temannya itu di penjara, karena mereka adalah sahabat akrab sebelum bertengkar hebat gara-gara Gelmar.     

"Cewek itu juga sering caper dengan atasan. Kamu tahu gara-gara dia, Pak Eri sampai memberiku surat peringatan. Dasar cewek sial!" geramnya membuat wanita sexy didepannya lebih terbakar.     

"Kamu tenang saja, Rina. Setelah bebas dar penjara, Aku sendiri yang akan memberi pelajaran ke cewek sial itu! Pelajaran berharga yang akan membuatnya menyesal selamanya." Wanita sexy itu menatap sudut ruangan dengan senyum bak seringai serigala.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.