PERNIKAHAN TANPA RENCANA

2. Tanpa Cahaya



2. Tanpa Cahaya

0Hari hampir habis. Aku tahu jingga di ufuk sana pasti senja. Bukan lagi matahari sedang terbit. Karena aku telah melewati hari yang begitu terasa panjang. Aku tidak tahu pasti arah mata angin. Kecuali melalui cahaya cakrawala yang sepanjang siang hari menemani perjalananku.     
0

Perjalanan dalam menjemput Simbok yang sempat terhenti tadi. Karena saking senangnya aku bertemu dengan dua laki-laki yang bisa kuajak bicara. Berbuah manis pada penawaran dari sosok bernama Pak Hadi kepadaku untuk suka rela mengantarkan aku ke alamat rumah Mas Sardi. Dengan syarat yang sedikit aneh yaitu agar aku tetap bisu selama perjalanan.     

Beliau bilang bahwa tempat yang aku tuju searah dengan rumahnya. Bahkan lebih dekat dibanding perjalanan ke rumahnya. Karena aku tidak tahu maka aku hanya mangut-mangut saja.     

Sebenarnya aku ingin menolaknya dengan alasan aku akan cari tempat penginapan. Namun menoleh ke belakang aku lihat pasar sudah bubar bahkan lapak-lapak tinggal alasnya saja. Setelah kuingat ternyata kapal sudah 30 menit yang lalu berlabuh. Iya, bertepatan dengan lambaian tangan anak Pak Hadi.     

Aku memahami permintaan Pak Hadi bahwa selama perjalanan aku harus tetap bisu. Maksudnya adalah aku harus diam dengan segala kondisi yang akan aku temui di perjalanan nanti. Mengingat yang akan aku lewati adalah hutan belantara. Masih tersimpan sejuta misteri dan keanekaragaman hayati serta hewaninya.     

Tidak banyak basa-basi. Aku mengiyakan syarat dari Pak Hadi. Meskipun Aku terdiam sejenak untuk berpikir apakah aku harus meneruskan perjalanan dengan orang asing ini.     

"Mba pertanyaan saya membuat mba takut ya,?"     

Pak Hadi menatapku tanpa menuntut.     

Aku menatap Pak Hadi balik dan memberi jawaban iya.     

"Begini mb Santi, mba kan bilang tadi sudah biasa merantau. Tapi saya yakin ini pertama kalinya mba datang ke sini. Jadi setiap tempat pasti ada tata kramanya ya kan mba? Nah itu maksud saya. Yang akan kita lewati ini bukan pemukiman, bukan juga perkotaan tapi hutan yang masih asri. Ya kita sebagai pendatang sebaiknya bersikap sebagaimana pendatang. Apa lagi mba orang Jawa pasti lebih mengerti lah perihal tata krama."     

Panjang lebar Pak Hadi berusaha memberi pencerahan terhadap pandanganku pada kalimat ajakan Pak hadi beberapa menit yang lalu.     

Saya berusaha menimbang-nimbang. Keputusan mana yang harus saya ambil. Apakah mengikuti saran Pak Hadi yang merupakan orang asing. Atau berjalan mencari penginapan.     

Tapi kalau dipikir sih benar juga yang dikatakan Pak Hadi. Rumah aja masih jarang jarang apalagi penginapan. Belum lagi sudah mulai gelap, sementara di sini kan belum ada penerangan. Di Jawa aja belum merata apalagi di Sumatera ini.     

"Iya Pak. Saya ikut Bapak." Saya berusaha memantapkan hati. Semoga Pak Hadi benar-benar orang baik.     

Pak Hadi tersenyum ramah. Mungkin beliau lega. Akhirnya aku percaya dan mau mengikuti sarannya.     

"Iya nanti kalau sudah masuk kampungnya kita cari bareng-bareng. Nanti mungkin sudah gelap gulita. Tapi enggak apa-apa. Ada lampu motor. Atau nanti tanya orang." Begitu tutur beliau sebelum akhirnya kita berdua menghilang menuju hutan yang lebih dalam. Menjauh dari Musi yang mengantarku kepada keberadaan simbok.     

Agak mengerikan sebenarnya berjalan di tengah hutan meskipun masih diikuti sinar matahari sore. Malah semakin menyeramkan dengan penampakan siluet pepohonan besar di kanan kiri kami.     

Perjalanan tampak lebih lama karena medan yang jelas amburadul. Motor Pak hadi ini memang butut. Tapi mesinnya tahan banting. Begitu kata Pak Hadi selama perjalanan. Aku merasa lega mendengarnya. Setidaknya, aku tidak perlu khawatir akan ada peristiwa mogok.     

Ternyata benar yang dikatakan Pak Hadi pasal motornya tahan banting meskipun butut. Sudah hampir satu jam perjalanan tapi tetap masih gas full.     

Aku berusaha menikmati perjalanan. Sekalipun aku merasakan punggungku pasti semakin rontok setelah ini. Setelah menaiki speed boat yang bikin retak tulang. Sekarang harus melewati medan yang aduhai. Berliku-liku penuh jebakan alam.     

Selain jalan setapak yang tentu saja tak ber-aspal. Kita menemui banyak sekali rintangan. Mulai dari ranting, kubangan lumpur bekas badak dan babi, jalan licin, bahkan saya dibuat ketawa oleh sekawanan babi yang melintas. Dari dua babi dewasa dan empat anak anaknya yang masih kecil.     

Semuanya adalah momentum langka yang tidak pernah kutemui di Jawa. Pak Hadi yang mengetahui bahwa sebenarnya saya masih punya rasa takut berusaha memecah suasana. Bercerita sepanjang jalan dan aku menjadi pendengar setianya. Itulah kenapa aku bisa tahu kubangan lumpur badak.     

"Apa yang terjadi kalau kita ketemu hewan buas pak. Apa yang harus kita lakukan?" Saya bertanya pada pak Hadi karena penasaran.     

"Hewan tidak akan menyerang kalau mereka tidak dipancing mba. Kalau mereka masih merasa aman mereka pasti memilih pergi. Bahkan hewan cenderung malu dan takut dengan manusia. Manusianya aja kadang yang usil. Orang kita hidup masing-masing kok."     

Aku mangut-mangut mencerna yang Pak Hadi jelaskan.     

Kita sudah melewati beberapa perkampungan yang tampak sepi sekali. Namun aku melihat beberapa orang tadi didepan rumah mereka. Rasa aman mulai menyelimuti hatiku. Akhirnya masuk perkampungan sekalipun terlihat sepi. Artinya aku tidak di bawa ke tempat aneh. Dan Pak Hadi benar-benar orang baik.     

Kata Pak Hadi dulu saat pertama kali menjejakkan kaki di Palembang juga karena bedol desa. Seperti Mas Sardi . Beliau juga merintis hidup dari nol hingga akhirnya punya istri dan anak yang kedua dan berhasil memiliki usaha kayu lapis kecil kecilan. Tidak beda dengan Mas Sardi yang kini menjadi pengepul kayu gelondongan dan punya pegawai.     

"Pak..." Aku berusaha memecah keheningan.     

"Apa dulu tidak takut disuruh jadi transmigran ke sini. Kan ngeri pak.. hutan gede begini. Aku aja disuruh ikut kakakku tidak mau."     

Suaraku terdengar sayup-sayup membelah belantara.     

Di sini bahkan berbisik bisa menggema. Namanya juga alam bebas dan masih asri. Tidak kaget.     

"Di Kampung saya lebih takut mba.. masa krisis seperti ini.. apa-apa mahal punya sedikit dihina. Punya banyak cek cok sama saudara. Hla ya sudah saya putuskan hidup sendiri sama keluarga kecil saya..." Begitu jawab Pak Hadi dan membuat saya berpikir panjang dalam perjalanan.     

"Memang pak Hadi asalnya dari mana pak?"     

Terdengar Pak hadi sedikit tertawa.     

"Masa mba ini tak paham dengan logat saya?" Jawab Pak Hadi dengan logat yang semakin kental saja dengan daerah asalnya.     

"Madura bukan pak?" Tanyaku memastikan.     

"Nah itu tahu mbak.."     

"Jauh-jauh ke sini pak...pak... nyari apa.."     

"lhoo. Mba Santi Ini apa enggak tahu, orang Madura itu rata rata merantau. Kita tak suka diam dirumah."     

"Iya juga ya pak, ngapain dirumah aja wong kalau merantau bisa cari kehidupan." Aku membenarkan ucapan Pak Hadi sekaligus berusaha suportif.     

"Tapi kalau orang Jawa kan setahu saya lebih suka dirumah mba santi. Kenapa mba santi ini malah suka merantau?"     

"Ah kata siapa pak?"     

"Itu , kan ada peribahasanya makan ndak makan yang penting ngumpul. Benar kan?"     

"Ah bapak ini, itu kan orang jaman dulu. Hla manusia kalo engga makan ya lapar to pak, kok dipaksa ngumpul."     

"Hahaha"     

Pak Hadi tertawa lepas mendengar penuturanku yang mematahkan stigma orang -orang luar Jawa terhadap orang Jawa.     

___Di hutan kita kembali pada akal dan iman__     

Ralph Waldo Emerson     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.