PERNIKAHAN TANPA RENCANA

5. Pertanyaan Terpendam



5. Pertanyaan Terpendam

0Pak Hadi terlihat mengabaikan pertanyaanku. Sedikit meembuatkunpenasaran namun hanya bisa ku oendam dalam hati. Tidak tepat rasanya jika aku terlalu vokal menyuarakan rasa penasanku saat ini.     
0

Deru Si Butut pun berhenti di depan pekarangan sebuah rumah panggung yang mempunyai halaman cukup luas.     

Saya yakin Ia hendak masuk ke pekarangan rumah tersebut. Terlihat sepasang suami istri sedang bercengkerama di teras rumah itu. Laki laki paruh baya dan wanita yang cukup berumur. Duduk bersisihan di sebuah bangku. Sang laki-laki berulang kali  menghisap  rokoknya. Sementara asapnya tak terlihat karena dsri kejauhan begitu gelap, bara rokok di tangannya nampak memeberikan tanda.     

"Ayok non." Ajak Pak Hadi kepadaku.     

Aku sedikit terperanjat karena pikiranku sedang dipenuhi pertanyaan kenapa Pak Hadi tidak menjawab pertanyaanku tentang Bapak-bapak di gardu tadi.     

"Eh... iya pak.." aku segera tersadar.     

"Ini rumah teman lamaku. Jadi tidak usah khawatir. Saya akan bertanya kepadanya alamat rumah non."     

Aku hanya diam mengekorinya. Sampai akhirnya kami berada tepat di teras rumah ini.     

Cahaya remang-remang petromaks membuat wajah mereka terlihat sedikit pendar. Tapi cukup untuk ku mengenali raut wajah mereka. Di ganah Sumatera ini belum terjamah listrik. Orang yang memiliki lampu atau listrik hanyalah orang-orang yang sangat-sangat kaya. Itu pun mereka madih menggunakan tenaga diesel.     

Mereka tersenyum kepada kami. Khususnya pada Pak Hadi     

"Par.. assalamualaikum..." Begitu Pak Hadi memanggil temannya. Temannya yang ternyata sebaya Pak Hadi itu pun langsung terbangun dari duduknya dan menghampiri kami.     

"Wa alaikumsalam.. saudaraku. Apa kabar.. lama nian tak jumpa." Mereka berpelukan. Lalu aku bersalaman dengan yang wanita di sebelahnya yang kuyakini  adalah istrinya.     

"Kau dari mana? Hingga larut malam begini? Apa kau baik baik saja melewati pengkolan? Akhir-akhir ini sedang rawan."     

Kulihat Pak Hadi berusaha tidak menanggapi celoteh sahabatnya. Lagi, dan membuatku semakin penasaran. Dia malah mengganti topik pembicaraan. Temannya yang ternyata bernama Pak Paron itu memberikan rokok kepada Pak hadi. Lalu Pak hadi pun mulai menyulutnya dengan korek kayu di sebelahnya. Aroma tembakau menguar seiring hembusan asap dari mulut Pak Hadi. Aku hanya diam meskipun rasanya sesak napas.     

"Anu.. begini Par.. tadi sore aku mengantar anakku mau kerja ke Jakarta. Tadi kan ada kapal bersandar. Nah... Si Rama itu nampak berat untuk pergi. Padahal kapal sudah di depan mata." Panjang lebar tutur Pak Hadi mengalihkan pembicaraan.     

"Apa benar Di? Wah.. si Rama sudah dewasa sekarang agaknya. Dia bahkan sudah berani merantau ke Jawa." Jawab Paron     

"haha.. bagiku Dia itu masih kecil Par... harus terus dibimbing."     

Aku hanya mendengarkan percakapan mereka sambil duduk di samping Istri Pak Paron. Dan ternyata istri Pak Paron sedang membuatkan kami minuman. Aku meraba apa yang dikerjakan istri Pak Paron sedari tadi. Ternyata ia sedang memilih bulir kopi. Dengan ditemani suaminya dan cahaya sentir yang tidak begitu terang.     

"Siapa yang kamu bawa Di? Macam-macam kamu pulang- pulang bawa wanita." Pak Paron nampak menoleh ke arahku.     

Aku pun tersenyum sekenanya.     

"Hlah itu alasan aku kesini. Aku ketemu nona ini pas mengantar Rama. Dia baru turun dari kapal. Mau mencari alamat masnya katanya."     

Pak paron terlihat mangut-mangut.     

"Nama Masnya Sardi dan Kardi. Katanya juragan kayu. Lah kebetulan tinggal di sini. Orang Jawa"     

"Ohh. Pak Sardi... itu emang juragan.. rumahnya ada di tengah kampung. Sebelum perempatan kedua.. kiri jalan.. yang rumahnya sudah plesteran. Transmigran itu kan ya?" Pak Paron nampak bertanya padaku.     

Aku mengangguk membenarkan.     

Ternyata Mas Sardi cukup terkenal meskipun pendatang. Ya tentu saja itu kabar bahagia buatku. Artinya Aku tidak perlu khawatir tentang biaya hidup selama di sini. Haha...     

Rencanaku masih seperti awal aku berangkat ke tempat ini. Menjemput Simbok pulang ke tanah Jawa.     

Rasanya menjadi anak perempuan satu satunya seperti memberi tanggung jawab tersendiri. Ketiga masku memang sudah menikah. Tapi kebanyakan orang tua tidak terlalu senang ikut tinggal dengan anak laki laki beserta istrinya. Sungkan. Istilahnya.     

Mendengar kabar dari transmigran yang kebetulan pulang kampung. Bahwa Ibuku banyak mengalami hal tidak mengenakkan. Maksudku bukan yang aneh aneh. Hanya saja terdengar kabar bahwa beliau tidak kerasan tinggal serumah dengan masku dan istrinya. Dan membuat Simbok terkadang tinggal bersama saudaraku yang lain. Membuat aku miris. Hingga ku putuskanlah datang ke sini.     

Aku memaklumi kedua belah pihak atas kabar itu. Mungkin memang masku kurang perhatian. Wajar. Seorang laki- laki memang biasanya cuek. Istri Masku, mbak Ranti juga orangnya pendiam.  Apalagi ditambah Mas Kardi juga ikut tinggal di situ. Pasti sering cek cok dengan Mas Sardi.     

Dua bersaudara ini memang tidak pernah akur. Sejak saya kecil pun, yang merawat saya kebanyakan adalah Mas Mardi. Dia yang paling mirip kakak perempuan bagiku. Berbeda dengan Mas Sardi, kerjanya banyak marah dan mengomel. Engga jauh beda dengan Mas Kardu. Belum lagi kalau mereka berdua cek cok. Maklum umur mereka berdua hanya berjarak satu tahun.     

Akhirnya Pak Hadi mengantarku sampai depan Rumah kakakku. Seperti yang Pak Sardi katakan bahwa rumahnya adalah satu satunya yang plesteran atau sudah menggunakan semen. Berbeda dengan kebanyakan rumah di sekitar sini yang hanya berupa susunan lempeng.     

Berkat petunjuk arah dari teman Pak Hadi tadi. Maka di sini lah Pak Hadi memberhentikan motor bututnya.     

Nampak sinar redup dari lampu sentir  yang menembus kaca. Bagus sekali rumah ini sudah memakai kaca. Meskipun bukan kaca tembus pandang.     

Rumahnya berbentuk letter L. Sehingga pekarangannya lebih luas dan menjorok ke pintu belakang. Pekarangan depan nampak sempit dengan sedikit teras. Tapi karena yang kulihat lampu sentir dari kaca rumah bagian belakang maka aku langsung menghampiri sumber cahaya tersebut.     

Sampailah kami di depan pintu.     

TOK.. TOK..TOK..     

Pak Hadi mengetukkan tangannya.     

"Permisi..." katanya.     

Terdengar seorang dari dalam berjalan menuju pintu lalu berusaha membuka gerendel.     

"Siapa?"     

Dibuka lah pintu tersebut oleh orang yang sangat kukenal meski terbalut dalam siluet.     

Mbok. Batinku.     

Aku langsung saja memeluk beliau.     

"Owalah ndokk.. koe ko antepan temen..." (yaampun anakku, kamu kok berani sekali.)     

Beliau mengelus rambutku dan mengajakku masuk tidak lupa pak Hadi.     

Aku meletakkan tas lalu duduk dan menyandarkan punggungku yang terasa kaku. Ku persilahkan Pak Hadi duduk.     

Kami berhadapan. Sedangkan Ibu menaruh tas ranselku di kamar     

"Non.. itu Ibu non?."     

Aku tersenyum.     

      

"Iya pak.. Itu Ibuku."...     

Tiba-tiba aku jadi teringat pada orang-orang di Gardu tadi. Aku ingin bertanya lebih jauh kenapa Pak Hadi lalu saja tanpa memberi salam kepada mereka. Padahal sudah jelas mereka pasti orang sekitar sini. Tidak sopan kalau lewat saja.     

Namun Ibu muncul dari belakang membawa dua cangkir teh hangat.     

Aku pun mengurungkan niatku. Biarkan kutanyakan lain waktu saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.