PERNIKAHAN TANPA RENCANA

17. D U K U N



17. D U K U N

0Tubuh Sari terlihat kurus kering, matanya cekung ,rambutnya kusam, kulutnya pun kini telah menjadi keriput. Ayahnya menceritakan kejadian naas ini dimulai dari saat Sari sekolah SLTA. Ketika itu ada seorang lelaki yang mengungkapkan perasaannya kepada Sari. Namun Sari menolaknya dengan alasan bahwa Sari akan fokus untuk belajar dan meraih cita-cita.     
0

Entah memang dugaan mereka benar atau salah kenyataannya setelah kejadian itu kondisi Sari menjadi seperti sekarang ini. Sari bahkan terlanjur tidak melanjutkan sekolahnya karena penyakit tersebut menyita waktunya untuk berobat.     

Keluraga Sari memang tak begitu percaya dengan perdukunan. Padahal di Jawa perdukunan itu sangatlah umum. Ketika seorang sakit hati, Ia bisa membalas orang tersebut melalui dukun. Dengan berbagai media dari orang yangakan ia balas contoh rambut, foto, weton dan nama lengkap bahkan air liurnya sekalipun bisa menjadi media perantara dukun untuk melancarkan aksinya.     

Tentu saja yang namanya ilmu hitam semacam itu tidaklah gratis. Tebusannya lebih dan lebih serius dari pada tebusan hutang apapun .tebusannya berupa pengorbanan yang harus di lakukan sesuai keinginan dari sang dukun. Konon sang dukun biasanya bersekutu dengan bangsa jin atau setan lelembut. Sehingga keinginan dukun tersebut sebenarnya adalah perintah dari mereka.     

Pengorbanan yang harus dibayar tidaklah murah. Sesuai dengan apa yang mereka dapatkan, biasanya sebelum diadakannya perjanjian serta ritual-ritualnya, sang klien akan ditanya terlebih dahulu oleh dukun. Yang pertama adalah keinginannya apa. Setelah kliennya menyebutkan keinginannya, , sang dukun akan menjabarkan pilihan-pilihan yang bisa ia dapatkan. Semakin keinginan yang ingin dicapai besar semakin pengorbanannya besar pula.     

Dari pilihan-pilihan itu, sang dukun juga menjelaskan pengorbanannya. Nah pengorbanan tersebutlah yang kelak akan menjadi objek transaksi. Contoh-contoh pengorbanannya biasanya adalah puasa 40 hari, dilarang tidur 40 hari, bertapa di sungai, meminta tumbal atau persembahan nyawa entah itu dari hewan ataupun dari manusia.     

Dari pengorbanan yang dijalani masih ada segudang konsekuensi yang harus di terima oleh kliennya. Konsekuensi inilah yang sebenarnya membawa petaka untuk pengguna jasa dukun. Konsekuensi tersebut berguna untuk menghindari rusaknya perjanjian antara jin dan dukun. Jika klien melakukan pelanggaran bahkan nyawalah yang bisa menjadi taruhannya.     

Dulu keluarga mereka cukup berada. Ayah Sari adalah mandor di perusahaan ladang kopi yang terletak di ujung desa. Entah bagaimana waktu bisa merubah keadaan seseorang hingga seperti ini.     

Mereka mengisolasi diri. Seolah tak ingin di kenal oleh warga kampung. Rumahnya yang dulu pLing megah kini terlihat usang dan tua. Catnya nampak sudah mengelupas di sana sini namun tak di cat ulang lagi. Pasti sudah bertahun-tahun. Dedaunan memenuhi latar depan rumah mereka sampai batako nya tak terlihat lagi. Mereka srperti para kompeni saja. Tak mengenal warga sekitar.     

Ketika Kabul menghadap mereka, raut wajah sedih begitu kentara di wajah keduanya. Mendengar hal itu membuat kabul prihatin. Akhirnya Ia pun mengatakan bahwa meminang sari pun tidak memungkinkan untuk di lanjutkan. Mendengar kata-kata kabul pun ibu dan ayah sari tak nampak kecewa sedikit pun. Ia malah mendoakan Mas Sardi supaya mendapat jodoh yang terbaik.     

Sepulang dari rumah sari. Tinggal satu nama lagi yang kabul pegang. Sebenarnya kabul ingin sekali memaki. Kenapa temannya ini sulit sekali untuk laku. Ia pesimis bahkan belum sampai rumah Asih. Iya asih yang terkenal menel di antara kandidat-kandidat sebelumnya.     

Namun kabul tidak mungkin putus asa sebelum Ia bahkan mencobanya. Sekalipun Ia benar-benar tidak ingin seorang asih yang menjadi istri temannya. Tapi karena ini adalah amanah maka kabul tetap menjalankannya. Benar, alasan Mas Sardi menikah kan bukan karena cinta. Tapi sebagai syarat agar mendapat izin dari orang tuanya.     

Datanglah kabul ke rumah Asih. Belum sempat masuk kabul sudah bertemu Asih di teras. Lalu dengan tidak sungkan asih menggandeng lengan Kabul dan mereka pun masuk ke dalam rumah Asih.     

Sementara Ibu dari Asih telah duduk di kursi sambil merokok. Sontak Kabul kaget dengan pemandangan tersebut. Padahal dia tahu memang keluarga Asih itu sedikit lebih unik dari yang lain.     

Kabul pun duduk. Asih dengan genitnya mengelus tangannya. Kabul yang semula tidak memperhatikannya jadi menolehnya. Ternyata perut asih menggelembung. Seperti orang hamil. Setahu Kabul Asih ini belum menikah. Maka Kabul pun memastikan tentang kondisinya.     

"Dek asih apa kabar?" Basa-basi kabul.     

Asih pun langsung mengusap perutnya yang membuncit. Dengan cerianya dia menjawab Kabul.     

"Baik mas, sampean sendiri bagaimana."     

"Iya sama. Itu?" maksud kabul adalah perutnya.     

"Sehat sudah mau tingkeban." Jawabnya.     

"Bapaknya di mana?" Kabul memastikan dan celingak celinguk mencati keberadaan laki-laki. Namun nihil. Karena sebelum mengucapkan maksud nya, Ia harus lebih tahu dahulu kondisi Asih.     

Sementara tanpa jawaban Asih hanya menggeleng kepala.     

Sementara Ibunya Asih sejak tadi terlihat tak tertarik dengan percakapan Kabul dan Asih. Ia hanya sibuk menyesap kreteknya. Sambil menatap ke arah luar.     

"Ada apa Bul tumben ke sini." Tanya Ibunya Asih.     

"Oh Iya Bu anu sebenarnya saya ke sini mau menanyakan tentang ternak Ibu di belakang apakah Ibu punya ternak ayam cemani?" tanya Kabul dengan terbata-bata karena Ia sama sekali tidak menyiapkan kalimat tersebut untuk diutarakan.     

Ibunya Asih langsung menimpali.     

"Ayam cemani saya tidak punya bul adanya ayam bangkok sama ayam blorok. Itu saja pada mati. Bingung lagi kena hama atau bagaimana. Yang lain malah hilang tidak pulang di cari tidak ada bangkainya. Ternak bukannya untung malah merugi."     

Jawab ibunya Asih dengan menggebu-gebu marah.     

Untung-untung Ia tidak curiga pada Kabul. Bahwa sebenarnya Kabul ke sini itu dengan maksud lain.     

Mendengar jawaban dari Ibu Asih kabul pun hendak pamitan. Namun belum sempat mengucapkan Ibunya Asih kembali bertanya.     

"Untuk apa to Bul. Kok mencari ayam cemani. Mau ritual apa?"     

Aduh. Kabul harus jawab apalagi ini.     

"Mmm anu bu, buat slametan biasa saja. Tapi tidak tahu bapak mintanya ayam cemani. Katanya kalau ada lebih bagus begitu." Jawab kabul lagi-lagi dengan terbata.     

"Kalau begitu saya pamit ya Bu. Saya akan coba cari di tempat lain." Ibunya Asih menatapnya lalu menggangguk. Sementara Asih terlihat tidak rela kabul akan pergi Ia terus bergelanyut di lengan Kabul. Membuat kabul sedikit merinding.     

"Sih, saya pulang dulu. Tugas dari bapak belum selesai."     

Asih cemberut. Ia memang selalu begini dengan laki-laki. Begitulah kenapa Ia di sebut gadis paling menel di kampung. Namun sayang sekali jika ternyata Ia harus hamil tanpa tahu siapa bapaknya.     

Setelah keluar dari rumahnya kabul pun berjalan pulang. Ia masih bergidik dengan Asih yang bergelayutan di lengannya. Mengusapnya berkali-kali pun rasanya masih tetap merinding juga. Dengan begitu lengkaplah sudah tugas Kabul meski tidak satu pun yang berhasil. Ia akan melaporkannya langsung sepulang dari sini.     

Kepala Kabul terasa berdenyut memikirkan nasib temannya itu. Akankah keinginannya kali ini juga akan gagal?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.