PERNIKAHAN TANPA RENCANA

21. K A L U N G



21. K A L U N G

0Sudah ku duga ada sesuatu yang aneh perihal semalam. Mulai dari begal yang tiba-tiba saja pergi tanpa melakukan apa pun kepada kami hingga Pak Hadi yang tiba-tiba saja memanggilku dengan sebutan nyai. Di jawa nyai biasanya digunakan untuk panggilan wanita yang punya pengaruh tertentu. Contohnya orang pintar, dukun bayi, atau orang ningrat.     
0

Seingatku, malam itu golok mereka bahkan sudah menempel pada kulit leherku. Kuingat betapa mengerikannya tertawaan mereka terhadapku. Dan lagi, mereka sudah menghabisi Pak Hadi sehingga tersungkur jauh dari hadapanku.     

Sat ku buka mata kembali. Kupikir aku sudah ada di dunia lain. Ternyata remang-remang suara Pak Hadi muncul dan menyadarkanku ternyata kami masih selamat dan masih berada di dunia ini. Anehnya saat itu Pak Hadi begitu ketakutan. Takut terhadap kehadiranku. Aku ingin memastikan apa yang terjadi saat aku memejamkan mata kala itu. Tapi melihat kondisi syok Pak Hadi membuat aku mengurungkan niatku itu.     

Kejadian berikutnya yang semakin aneh adalah para pria di gardu. Cahaya petromak memang tidak terlalu terang. Malahan cenderung remang-remang. Akan tetapi dari cahaya petromak lebih dari cukup untuk membuat siapa pun bisa melihat raut wajah seseorang. Termasuk raut wajah salah satu pria di gardu itu yang tersenyum padaku seolah menyapa.     

Aku berusaha tanya dengan Pak Hadi. Kenapa tidak bertanya kepada mereka saja. Orang-orang di gardu itu. Tapi Pak Hadi malah terlihat bingung dan Ia lalu mengalihkan pembicaraan .     

Sekarang lah kesempatanku untuk bertanya. Setidaknya simbok atau mba ranti itu sudah tinggal cukup lama di sini. Mungkin saja mereka punya jawaban yang cukup masuk akal untukku.     

"Mbok... sebenarnya semalam aku di begal." Ucapku santai di hadapan mba ranti dan simbok sambil melahap jambu air.     

Sontak mereka berdua membelalak kepadaku.     

"Kok bisa?!" Tanya Simbok penuh kekhawatiran.     

"Kan udah dibilangin kalau sampai hilir sore nginep saja." Ucap Mba Ranti kepadaku.     

"Ya tapi kan kebeneran ada yang mau nganterin mba..."Jawabku.     

Simbok lalu menimpukku berulang kali karena gemas campur khawatir.     

"Kebeneran! Kebeneran apanya! Hah! Kalau yang nganterin juga orang jahat mau apa kamu! Sini kamu! Ceroboh saja kebiasaannya! Nggak pernah belajar. Pikirannya itu dipakai! Ya Allahhh saannn... kamu itu kok ya ngeyellll jadi anak perempuan satu-satunya." Dari marah-marah memukuliku kemudian simbok lalu menangis dan memelukku.     

"Kalau kamu enggak nyampe disini... simbok harus bilang apa sama bapakmu di aherat sana ndokkk... mbok ya jangan srugal srugul seperti itu... seng ati-ati..."     

Simbok terus memelukku sambil menangis. Ia juga tak henti-hentinya mengelus punggungku.     

"Hla terus kamu ndak papa? Badanmu ada yang sakit ndak? Barang-barangmu pada hilang?" Tanya beliau lagi.     

"Hmmm…sebenernya aku sih ndak apa-apa. Aku juga ndak kehilangan apa-apa. Justru itu yang bikin aku bingung Mbok."     

"Bingung kenapa to Ndok?"     

"Waktu itu aku kira udah ndak bakal bisa ketemu sama simbok. Soalnya detik terakhir yang aku ingat itu si begal mencengkeram leherku. Sedangkan Pak Hadi kayaknya udah pingsan karena beliau berusaha melindungiku. aku kan merem tuh mbok saking takutnya. Eh…gak lama setelah aku buka mata malah Pak Hadi yang didepanku. Anehnya, beliau jadi takut sama aku. Malah aku dipanggil nyai sama dia."     

Simbok dan mba ranti terlihat serius mendengarkan ceritaku. Lalu tangan simbok pun mulai bergerilya ke arah leherku. Merangsek masuk ke kaosku. Ternyata Ia mencari bandul kalung yang kupakai selama ini. Pemberian dari ayah sewaktu aku masih kecil.     

"Ini, jangan pernah di lepas." Tutur simbok sambil mengangkat bandul kalungku.     

Aku menoleh ke arah Mba Ranti. Aku yakin kita berdua sama penasarannya dengan alasan simbok.     

"Ini kan Cuma kalung pemberian dari bapak dulu Mbok." Jawabku yang sebenarnya sedang memancing agar simbok memberitahukan alasannya kepada kami.     

"Kamu itu memang paling ngeyel kalau jadi anak." Tutur simbok kesal.     

"Ya kalau jadi kambing aaku ndak bakalan ngeyel mbok. Paling ya mbeeeekkk gitu." Jawabku melawak. Mba ranti pun terkekeh.     

"Kamu sama masmu Sardi, itu wetonnya ganjil." Tutur simbok tiba-tiba.     

Aku dan mba ranti mengernyitkan dahi. Mungkin sama bingungnya, apa hubungannya weton dengan kalung?     

Simbok pun mulai pasang wajah serius.     

"Weton ganjil itu rentan. Kalau masmu rentan sama hal ghaib. Sementara kamu rentan sama musibah. Amit-amit Ndok, semoga sepanjang umurmu diberi keselamatan oleh gusti Allah."     

Aku dan mba ranti sama-sama mengucapkan kata amiin.     

"Ada juga yang rentan sama keduanya. Masmu iku ndak bisa diberi penangkal. Makanya semasa ayahmu hidup, dialah yang selalu menjaga dan mengawasi masmu. Ndak pernah lepas. Sayangnya masmu Kardi selalu salah paham. Padahal ada alasan di balik itu. Dulu, sewaktu di pagelaran sintren di kampung utara, hampir saja masmu itu celaka dan mencelakai orang. Untung bapakmu itu langsung datang dan menolong. Selain bapakmu, simbok, Cuma simbah lanang lah yang tahu kondisi masmu dan kamu. Bandul kalung ini didapatkan endak sembarangan. Bapakmu dan simbahmu bertapa dua hari dua malam di bukit wadas. Dan akhirnya menemukan ini untukmu. Maka gunakanlah ini selamanya. Jangan pernah melepasnya walau sekali." Cerita panjang simbok membuat pikiranku bergerilya. Membayangkan betapa pengorbanan ayah begitu besar terhadap hidupku. Bahkan setelah ia tiada pun aku masih mendapatkan perlindungan dari peninggalannya.     

Tiba-tiba mba ranti mengajukan sebuah pertanyaan kepada simbok.     

"Lalu bagaimana dengan mas sardi mbok?" Tanyanya.     

Simbok nampak mengeernyitkan dahi tanda tak paham.     

"Bagaimana apanya."     

"Itu…tadi simbok bilang Mas Sardi dilindungi ayah secara langsung. Sekarang kan ayah sudah ndak ada. Lalu bagaimana dengan kehidupan Mas Sardi kelak.?"     

Pertanyaan Mba Ranti mengandung sejuta kekhawatiran terhadap suaminya yang dahulu bahkan tak ingin Ia nikahi. Lega sekali mendengarnya, peribahasa yang tepat adalah witing ing tresno jalaran soko kulino. Alias awal mula dari sebuah rasa cinta adalah karena sebuah keterbiasaan.     

Simbok menghela nafas sedikit panjang.     

"Hm…itu yang aku sedikit khawatirkan. Dulu ayahmu sebelum menikahkan kalian sempat berunding dengan simbahmu. Karena khawatir ketika itu sebenarnya ayahmu sudah sering sakit-sakitan. Dan tidak bisa menjaga suamimu selamanya."     

"Lalu?" Sela ku karena terlalu penasaran.     

Simbok terdiam. Tiba-tiba air matanya mengalir deras tanpa suara. Ia menahan tangis seolah begitu menyakitkan dalam dadanya. Aku dan Mba Ranti terdiam bingung. Tak sepatah katapun ia ucapkan namun terjabarkan oleh air mata beliau yang masih belum kami pahami.     

Aku mengelus pundaknya. Simbok semakin sesenggukan. Mba Ranti memeluk beliau. Aku pun juga memeluknya. Tangisnya tanpa suara begitu mengiris hati kami berdua. Seolah begitu sulit dan berat bagi simbok menanggungnya selama ini. Sudah saatnya beliau lepaskan kepada kami. Beban yang tak pernah kami ketahui itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.