PERNIKAHAN TANPA RENCANA

20.Pertanyaan Yang tak terjawab



20.Pertanyaan Yang tak terjawab

0Pernikahan mereka pun akhirnya digelar secara sederhana di rumah kami. Mba Ranti yang mulanya tidak ikhlas dengan perjodohan tersebut akhirnya berusaha legowo juga. Gosip yang menerpa Mas Sardi selama ini pun perlahan sirna. Masyarakat desa mulai membaur kembali dengab keluarga kami.     
0

Rencana transmigrasi Mas Sardi pun berjalan lancar sesuai dengan apa yag di rencanakannya. Mba Rantilah kunci pemutus dari perjalanan hidup Mas Sardi yang selalu pilu itu.     

Perlahan khidupan Mas Sardi pun mulai pulih. Aku kira keadaan di Sumatera membuat pikirannya menjadi terbuka. Ia juga sering kali mengirimi kami surat dengan tulisan tangan rapi dan indahnya melewati pulau menyampaikan kabarnya kepada kami. Hingga ia memiliki anak pertamanya yang bernama yaitu Bejk.     

Dia selalu menceritakan anaknya didalam suratnya itu. Bejo ia gambarkan sebagai anak yang sangat cerdas. Cita-citanya kelak adalah menjadi dokter. Dalam surat yang kami, keluarga di Jawa baca.     

Simbok berulang kali mengatakan ingin menyusulnya ke Sumatera. Setelah mas kardi juga berada di sana. Sepeninggal ayah sepertnya Simbok merasa kesepian dikampung. Apalagi setelah aku juga memutuskan untuk merantau. Simbok hanya di temani saudara-saudaranya.     

Akhirnya Simbok pun menyusul Mas Sardi dan mas kardi di sumatera. Di sana kelurga kami termasuk cukup banyak. Dan keluarga kami adalah keluarga tertua, sehingga kami cukup di segani. Selian dari keluarga kandungku, dari pihak keluarga dan saudara-saudara ayah juga ada di sana. Mas Selamet misalnya, Bulek Musri dan masih banyak lagi. Pasalnya hanya merakalah yang akrab denganku.     

Beberapa tahun di sumatera, kukira Simbok hidup nyaman di sana. Karena semua keluarga kami merantau, termasuk aku. Sehingga tak ada yang bisa saling berkabar. Terkadanng aku menyurati mereka. Namun mereka tidak bisa membalas suratku dikarenakan tempat tinggalku yang berpindah-pindah.     

Saat aku pulang rumah kami tak di huni siapapun. Beberapa bulan aku menetap dirumah untuk istirahat sejenak. Kudengar kabar tak mengenakkan dari salah satu tetangga yang pulang dari sumatera. Mereka mengatakan kalau Simbok tidak betah di sana. Sehingga ia terkadang hidup berpindah-pindah dari satu saudara ke saudara yang lain. Hal itu sedikit membuatku gamang. Pasti ada sesuatu hal yang pernah terjadi.     

Hingga akhirnya kini aku berada di sini. Ya, untuk menjempu Simbok. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku lah kelak yang akan menjadi tempatnya pulang dan merawatnya. Tidak mungkin kubiarkan Simbok hidup bersama menantunya.     

Menapakkan kaki di rumah Mas Sardi membuatku ingat dengan masa lalunya yang kudengar dari nenek begitu kelam. Aku memang sedikit mengasihaninya. Ya meski sikapnya itu selalu dingin terhadapku. Tapi sebagai adik aku selalu berusaha mengabdi kepadanya. Kata-katanya adalah kata-kata mutlak ke dua setelah ayah.     

Berada satu meja makan lagi dengan mereka membuat suasana hatiku menghangat. Beberapa tahun ini aku selalu makan di dapur bersama teman kerjaku yang juga pembantu sama sepertiku. Pikiranku yang sudah melayang entah kemana membuat Simbok menyenggol lenganku dan aku pun tersadar.     

"Yang lain sudah pada mau selesai kamu malah melamun." Tutur Simbok.     

Sontak Mas Sardi dan Mba Ranti menoleh kearahku.     

"Kebiasaan!" Tutur Simbok lagi yang membuatku sedikit manyun.     

"Kenapa San?" Tanya Mba Ranti kepadaku.     

Aku hanya menggeleng. Aku tidak terlalu kenal dengannya. Ya, selama ini aku hanya mendengar banyak tentangnya melalui cerita dari Simbok atau nenek. Dan juga dari surat-surat yang Mas Sardi kirimkan kepada kami. Dulu aku masih terlalu kecil untuk mengerti kondisinya. Sekarang aku sudah cukup dewasa untuk memahami apapun.     

Mba Ranti, pertama kali akubertemu dengannya adalah sewaktu aku masih kecil. Aku sudah lupa visualnya. Dan kini aku melihatnya kembali. Orangnya cukup pendiam. Sehingga terkadang membuat aku merasa sungkan di depannya. Namun wajahnya menampakkan sosok yang tenang dan bersahaja.     

Kulihat guratan-guratan di wajahnya yang menandakan dia sudah mulai berumur. Kudengar dulu beliau sempat melahirkan dua orang putra kembar. Namun naas meninggal saat masih bayi. Dari setiap tatapan matanya adalah sayu dan sendu. Kulihat terpendam dalam di sana sebuah kesedihan yang nyata.     

Akupun menyelesaikan sisa nasi di piringku. Sementara Simbok sudah berjalan ke dapur, kemudian disusul Mba Ranti di belakangnya. Aku melirik Mas Sardi. Dia menatap ke luar jendela samping rumah. Entah apa yang di pikirkannya. Selalu menatap jauh dan kosong. Ia menyalakan kreteknya dan menghisapnya lalu membuang asapnya keluar jendela.     

"Beneran kamu disini. Sekalian bantuin mas." Ucapnya seketika membuat gerahamku berhenti mengunyah.     

Kuhentikan aktivitasku dan ku tatap dia.     

Seharunya bukanlah kalimat itu yangn Mas Sardi ucapkan. Karena ia sangatlah tahu kalu tujuanku ke sini adalah menjemput Simbok. Bukan untuk menetap lama atau bahkan mencari pekerjaan.     

"Rasain dulu tinggal di sini. Itung-itung cari pengalaman. Sukur-sukur kalau kerasan." Kalimatnya terucap begitu enteng dari mulutnya. Aku ini mau menjemput Simbok, rasanya ingin aku berteriak demikian di hadapannya sekarang ini.     

Namun aku hanya diam. Memebiarkan semua tertelan dalam pikiranku. Ingatlah kata-katanya adalah mutlak. Masih terlalu pagi jika aku harus membantah dan membuat keributan. Aku pun hanya mengangguk menanggapinya.     

Tiba saatnya para karyawan Mas Sardi datang. Sebagian adalah saudara, termasuk mas slamet. Yang lain adalah orang luar kampung kami. Bahkan ada yang dari ujung pulua jawa, yaitu Madura. Dengan gaya bicaranya yang khas membuat aku seketika tahu. Dia adalah orang Madura. Hal itu mengingatkanku akan Pak Hadi. Orang baik yang mengantarkanku sampai di sini malam tadi.     

Ah iya, Pak Hadi membuatku ingat akan pertanyaanku yang ku simpan semalam. Haruskan ku tanyakan sekarang?     

Alih-alih bertanya kepada Mas Sardi, aku memilih kebelakang untuk bertanya kepada Simbok atau Mba Ranti. Mereka sedang duduk diatas dingklik dan menikmati buahjambu air hasil panen belakang rumah. Ah iya, aku melewatkan pohon itu tadi.     

Aku menaruh piringku lalu menghampiri mereka. Aku berjongkok dihadapan mereka, karena tidak kutemun dingklik yang lain.     

"Sini. Ini makan jambu air. Baru metik ini ndok," Tutur Simbok padaku.     

Aku langsung mengambilnya dari tangan Simbok dan melahapnya kedalam mulutku.     

"Dikasih sambel enak ya mbok?" Ucapku.     

"husss… masih pagi kok mau nglotek, mules ntar kamu." Sergah Simbok. Sementara Mba Ranti hanya tersenyum menanggapinya.     

"Bilang aja takut keenakan. Jadi entar makan terus. Satu pohon habis kumakan gak jadi jual deh. Ya kan….?" Aku menggodai Simbok. Mba Ranti terkekeh.     

"Opo kamu ini, orang di makan aja enak kok mau dijual. Makan aja sana sepuasnya. Habisin sama pohon-pohonnya. Awas kalau nggak sampai habis ya. Kena kamu…"     

"eeee… emang aku apaan? Ulet suruh makan pohon. Simbok ini ada-ada aja. Masa anaknya di samain sama ulet." Selorohku.     

Mba Ranti makin terkekeh.     

"Kamu yang bilang ulet sendiri kok malah aku yang disalahin."     

"Hla habisnya di suruh makan pohon."     

"ya itu kalau kamu doyan."     

"ah Simbok ini gak jelas."     

"Gak jelas gak jelas gimana kamu ini wong pagi-pagi kok mau nglotek. Mau cari penyakit?"     

"hmmm…" Aku pun menanggapinya dengan manyun.     

Tiba-tiba aku jadi ingat pertanyaan di kepalaku.     

"Oh ya Mbok, memangnya setiap malem di sini ada ronda ya?"     

Sontak Mba Ranti dan Simbok menoleh padaku dengan tatapan aneh.     

"Ronda apanya kamu ini. Wong di hutan begini kok ronda."     

Dahiku mengernyit mendengar jawaban Mba Ranti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.