PERNIKAHAN TANPA RENCANA

25.Keputusasaan



25.Keputusasaan

0Angin berderu kencang. Pertanda buruk telah datang. Begitulah setiap saat balak datang. Setiap saat itu tiba, Duminah bersegera memeluk erat Mas Sardi yang masih bayi. Ayah bersiap merapal doa-doa dan lampu nyamplik pun segera di nyalakan di setiap pojok rumah bambu itu.     
0

Hari semakin malam, hujan tak juga reda. Sementara tangis Mas Sardi kala itu tak henti-henti hingga tertinggal suara serak dan rintihan karena lelah terlalu lama menangis. Bayi yang belum tahu apa pun itu sudah mampu merasakan kehadiran yang tak diinginkan.     

Simbok tak sedetik pun mampu memejamkan mata. Mendengar rintihan si jabang bayi yang tak kunjung mereda bersama dengan hujan di luar sana. Sementara air matanya juga ikut mengalirkan air mata tak kuasa Ia tahan mendengar anak semata wayangnya merintih dan tak bisa seorangpun membantunya. Berulang kali tubuhnya menggeliat karena pegal. Sebab yang di gendongnya bukan hanya tubuh mungil Mas Sardi saja melainkan bayi yang kini kian membesar dalam perutnya.     

Akhirnya pagi pun tiba, Mas Sardi yang kelelahan pun sudah tertidur pulas. Simbok yang merasakan punggung pegal pun memaksa untuk segera menyiapkan sarapan untuk suaminya dan dirinya sendiri.     

Seperti biasa, ritual yang ayah jalani sudah hampir satu tahun itu adalah mengumpulkan lampu minyak yang semalam ia letakkan di sisi setiap pojok rumah. Ia menaruhnya di sebuah kotak khusus terbuat dari kayu agar tidak berserakan.     

Ayah bernapas dengan keras. Rasanya begitu berat setiap kali hari seperti semalam datang.begitu terasa berat meskipun sudah menjadi kebiasaan setiap waktu yang tak pernah Ia tentukan. Gusar batin ayah semakin menuju puncaknya. Ia tak bisa lebih sabar lagi menghadapi hal seperti ini. Lebih-lebih harus menyaksikan anaknya mengalami hal yang tak seharusnya anak seumur Mas Sardi alami kini.     

Simbok menata meja untuk sarapan ayah. Namun ayah bergegas pergi dengan raut muka yang marah. Simbok hanya menghela nafas melihat perilaku suaminya itu.     

Tibalah ayah di rumah Simbah. Simbah kala itu sedang menyeruput kopinya di teras. Tanah basah masih tercium segar mengiringi kedatangan ayah ke rumahnya. Rahang ayah yang terus mengeras dan tangannya tak berhenti mengepal. Kekesalannya yang semakin memuncak membutuhkan solusi yang nyata. Lebih dari sebuah kata-kata penenang.     

Pagi ini. Tanopa membuat keributan. Ayah mendatangi rumah simbah dengan hati yang bergemuruh. Ia lalu memperbaiki raut mukanya ketika memasuki pekarangan rumahnya. Simbah bergeming. Seolah bisa membaca dengan jelas kegamangan dalam dada ayah.     

"Asalamualaikum." Sapa ayah pada simbah setibanya di teras.     

"Waalaikumsalam." Jawab simbah. Simbah lalu meletakkan cangkirnya.     

Ayah pun mencium punggung tangan simbah.     

"Ayo masuk." Ajak simbah yang sudah menduga kedatangan ayah kali ini pasti akan serius.     

Duduklah mereka di ruang tamu rumah simbah. Nenek yang sedang di belakang pun menghampiri mereka berdua. Ayah tidak lupa mencium punggung tangannya juga.     

"Ada apa le…kok kelihatan serius sekali masih pagi.?" Tanya nenek pada ayah.     

Simbah juga memasang wajah serius untuk mendengar jawaban dari ayah.     

Namun ayah malah terlihat mengurut dahinya. Ia tidak merasa pusing. Namun air mata pelan mulai mengalir di pelupuk matanya.     

"Aku sudah ndak kuat Pak. Ini sudah yang kesekian kalinya Sardi anakku menangis tidak hentinya hingga suaranya menghilang. Anak itu terlalu kecil untuk mengalami hal seperti ini. Aku sudah ndak kuat melihat penderitaannya yang entah akansampai kapan. Setiap angin kencang tengah malam datang, dia mulai menangis dan merintih. Orang tua mana yang tahan menyaksikan itu selama bertahun-tahun. Apa yang harus aku lakukan pak, buk, tolong beri tahu aku. Akan aku lakukan apapun itu." Ayah menumpahkan kegelisahannya saat itu juga dengan berderai air mata di depan Simbah dan nenek.     

Nenek yang tidak tega pun ikut menangis dan mengelus pundak ayah dengan penuh rasa iba.     

Simbah menghela nafas. Hendak menjawab keputus asaan ayah saat itu juga namun ia tahan. Karena ini bukan perihal yang mudah.     

"Kamu yakin Le, akan melakukan apapun? Anakmu akan segera lahir. Mungkin saja obatnya akan ada pada anak keduamu?" Tutur Simbah.     

"Mungkin pak? Sampai kapan kehidupan anak pertamaku itu di bayangi dengan kata mungkin? Sampai kapan kehidupannya di buat seperti permainan. Ia terlalu kecil pak… terlalu kecil untuk mengalami itu" Ayah serasa ingin meledakkan seluruh isi hatinya sekarang juga. Namun hal itu tidak akan ada artinya. Keputus asaannya tak kan terbayar hanya dengan bercerita dan menangis di depan simbah dan nenek.     

Simbah menghela napas dengan keras kembali.     

"Ada satu hal yng bisa kamu lakukan Le. Tapi aku tidak yakin akan imbasnya kelak. Aku takut malah akan menjadi bumerang untukmu. Atau Sardi kelak." Tutur simbah.     

"Apa Pak? Beritahukan kepadaku sekarang juga. Akan aku laksanakan dan akan aku terima apapun resikonya." Tiba-tiba ayah seolah mendapatkan oase dalan perjalanan panjajngnya melintasi gurun yang sangat luas.     

"Topo Jogo Banyu." Tutur simbah yang membuat dahi ayah berkerut.     

"Apa maksudnya itu Pak?" Tanya ayah tak mengerti.     

"Ini adalah ritual semedi yang bisa kamu lakukan untuk menghilangkan balak anakmu." Ucapan simbah terhenti.     

Ayah menunggu kelanjutan percakapan mereka.     

Sementara Simbah tak kunjung melanjutkan ucapannya.     

"Kenapa Pak? Kenapa ngomongnya berhenti. Aku akan melakukan apa saja. Demi anakku. Demi cucumu yang pertama itu." Ucap ayah menggebu-gebu.     

"Tapi semuanya tidak akan mudah."     

"Akan aku lakukan.!" Jawab ayah dengan cepat.     

Simbah kali ini menarik nafas panjang lalumemejamkan mata.     

"Baik Le, ayo kita ke rumah Kuring." Ajak Simbah.     

Dahi nenek berkerut seolah tak setuju dengan ajakan simbah terhadap menantunya itu.     

"Apa to Pak sampean itu!. Ndak usah macem-macem pergi ke dukun segala. Sudah tahu nanti ujung-ujungnya ndak baik. Tapi malah ngajak-ngajak ke sana." Tutur Nenek marah pada simbah. Simbah hanya terdiam. Namun sorot matanya mengartikansesuatu pada menantunya yang putus asa itu.     

Teman yang di maksud adalah Kuring. Simbah memang cukup terkenal berteman dekat dengan Kuring. Itulah kenapa simbah sedikit memiliki pandangan tentang magis. Semuanya berkat berlatih dengan Kuring.     

Kuring adalah salah satu dukun yang terkenal kesaktiannya. Namun tidak hanya kesaktiannya, Kuring juga terkenal dengan kelicikannya. Beberapa kali orang yang datang kepada Kuring berakhir tragis setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan sudah tidak menjadi rahasia lagi di kampung ini.     

Namun bagi simbah itu tak masalah. Berhubungan dengan dunia magis memang mengandung banyak sekali resiko. Apalagi bagi manusia yang mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari mereka para makhluk yang tercipta tanpa raga itu. Mereka pasti akan meminta imbalan yang setimpal. Yang biasa di sebut sesembahan.     

Ayah tak pernah tahu tentang latar belakang Dukun Kuring yang terkenal itu. Dalam benaknya, terpikirkan sesuatu yang ingin segera ia capai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.