PERNIKAHAN TANPA RENCANA

26.Topo Jogo Banyu



26.Topo Jogo Banyu

0Ayah tak mempedulikan ucapan Nenek. Kala itu Nenek menangis melihat keras kepalanya Ayah yang tak mendengar nasihat dari mertuanya itu. Ayah pergi tanpa pamit setelah tekadnya bulat untuk menemui Kuring dan bertanya perihal topo jogo banyu.     
0

Nenek terus menyalahkan Simbah akan tindakan Ayah kali ini. Menurutnya mendatangi dukun adalah kesalahan dan bukanlah solusi yang tepat. Namun Ayah yang sudah tak kuasa menghadapi penderitaan anaknya itu tak menggubris udapan Nenek sama sekali. Dalam pikirannya hanyalah satu, yaiutu keselamatan anak pertamanya.     

Ayah berjalan tergesa-gesa. Tanah yang basah membuatnya beberapa kali hampir tergelincir. Telapak kakinya yang tak beralas menyebabkan gumpalan besar di setiap jemari kakinya dan membuat langkahnya semakin berat dan tak sampai-sampai.     

Rumah Kuring yang berada di ujung desa dan tertutup semak-semak membuatnya lama untuk di jangkau. Jalannan yang tertutup oleh tumbuhan-tumbuhan perdu serta serangga-serangga datang menyambut kedatangan Ayah ke rumahnya.yang menyambut pertama kali adalah si burung hantu yang bertengger di pilar rumahnya yang terbuat dari bambu dan di berinya penyangga untuk bertenggernya burung.     

Ayah terkejut dengan kepakan burung hantu itu. Yang awalnya Ayah tak fokus dengannya. Burung itu mendelik kepadanya. Lalu kepalanya berputar. Tatapannya terus mengerikan. Batin Ayah.     

Suasana rumahnya memang terasa mengerikan. Ini pertama kalinya bagi Ayah mendatangi rumah dukun dalam seumur hidup. Tak pernah sekalipun ia berurusan denga yang namanya dukun. Ayah semakin terkejut ketika seorang yang terlihat renta memakai jubah berwarna hitam keluar menyambutnya tanpa aba-aba. Ia bahkan hampir berteriak.     

Sebelumnya ia tak pernah membayangkan kalau rupa dari Dukun Kuring yang terkenal itu seperti ini. Ia tak menyangka sudah terlihat serenta ini. Ia kira penampakannya akan seperti lelaki seusia Ayah. Selain itu penampilannya juga terlalu menyeramkan baginya. Dalam pikiran Ayah, rupa Dukun Kuring mungkin akan mengenakan blankon tua dan baju lurik usang. Bukan malah jubah berwarna hitam yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya hingga kepala.     

Jalannya hampir bungguk. Sehingga Dukun Kuring memakai tongkat untuk menyeimbangkan diri. Rambutnya sudah semua memutih, terlihat dari helaian yang jatuh di sekitar pelipisnya karena kepalanya tertutup oleh hudi jubahnya. Namun dari semua itu yang menajubkan adalah tatapannya yang begitu tajam setajam bocah usia dini.     

Tanpa aba-aba Dukun Kuring pun masuk. Ayah hanya mengikutinya. Langkah pertama memasuki rumahnya membuat seluruh bulu kuduknya merinding. Tanpa menoleh Kuring terus memimpin Ayah menuju sebuah ruangan.     

Ruangannya terletak menjorok ke dalam dari rumah tersebut. Ayah kira rumahnya kecil. Ternyata cukup panjang untuk ukuran rumah yang dindingnya masih menggunakan bambu. Sebuah lampu minyak tertancap di dinding ruangan. Aroma bunga menyeruak di seluruh ruangan tersebut. Anehnya hanya tercium ketika Ayah mulai melangkah ke ruangan tersebut. Sebelumnya tak ada sedikitpun bau harum bunga.     

Dukun itu lalu duduk. Sementara Ayah masih berdiri di pintu masuk ruangan itu. Lalu Dukun Kuring mengisyaratkan Ayah untuk mendekat dan duduk di depannya. Ayah yang mengerti maksudnya pun lalu melangkah maju dan duduk di depannya.     

"Ssssttt…bicaralah pelan-pelan. Ada yang sedang tidur." Ucapnya ketika Ayah baru menempelkan bokongnya pada lantai beralaskan anyaman bambu itu. Padahal di sini tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua.Dukun Kuring lalu mendekatkan wajahnya kepada Ayah. Ayah yang terkejut hampir menjauhkan badannya namun Ia tahan.meski sebenarnya merasa risih.     

"Timbul yang menyuruhmu ke sini?" tanya Dukun Kuring.     

Ayah hanya mengangguk. Ia sama sekali tidak terkejut dengan kepiawaian dukun ini menebak karena itu sudah sangat terkenal.     

"Kamu tahu apa yang sebenarnya dalam pikiranmu itu sangat berbahaya?" tutur Dukun Kuring.     

"Maksudmu Ki?" tanya Ayah tak mengerti.     

"Semua yang kamu perbuat pasti ada imbalannya. Kesenangan, kesedihan, kekayaan, cinta, balas dendam, hal yang ingin kamu capai dan menyalahi takdir akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan bisa merenggut nyawamu." Ucap Dukun Kuring sambil menatap tajam Ayah.     

Ayah yang datang kepadanya dengan penuh tekad bulat pun membalas tatapannya tanpa rasa takut.     

"Saya tidak takut meskipun nyawa saya yang menjadi taruhannya.!" Ucap Ayah dengan penuh percaya diri.     

Dukun Kuring tersenyum miring lalu tertawa terkikik kemudian terbahak-bahak hingga menggema. Ayah mengangkat alisnya tak mengerti dengan tingkah dukun di depannya ini. Justru kali inilah sisi mengerikan yang pertama kali Ia temukan dari Dukun Kuring. Membuat merinding saja tertawanya itu.     

"Apa yang lucu Ki.?" Tanya Ayah padanya.     

Dukun Kuring lalu berhenti tertawa dan kembali menatap Ayah dengan tajam. Tatapannya itu membawa aura gelap untuknya.     

"Apa yang bisa kamu berikan anak muda?" tanya Dukun Kuring.     

Ayah tak kekurangan akal untuk menjawab.     

"Apa? Apa pun yang kamu butuhkan."     

"AHahahahaha…" tawa Dukun Kuring semakin keras dan menggema. Semakin memunculkan pertanyaan di benak Ayah.     

"Dari mana kamu mendapatkan keberanian ini Nak?" tanya Dukun Kuring yang tak mendapat jawaban apaun dari Ayah. Tangan Ayah mulai mengepal geram. Ia datang ke sini dengan tujuan yang besar bukan untuk basa basi.     

"Kamu yakin kamu kuat?"     

Dahi Ayah mengernyit. Ia merasa di remehkan.     

"Kalau saya tidak kuat, saya tidak akan datang ke sini ki."     

"Masih ada jalan lain Nak. Kenapa memilih jalan ini."     

"Jalan lain yang mana Ki! Tunjukkan sekarang! Aku sudah menunggunya selama dua tahun. Dan itu sangatlah melelahkan. Dan sampai sekarang tak ada satu pun yang bisa menolong anakku dari kemalangan demi kemalangan. Aku sudah bosan dengar kata sabar. Seluruh orang yang ku temui selalu mengatakan hal yang sama. Jadi tidak usah katakan itu di depanku ki!" Ayah menggebu-gebu mulai merasa kesal.     

"Jalan itu harus kamu temukan sendiri. Itu takdirmu. Tidak bisa kamu dapatkan dari aku."     

"Maksudmu, kamu tidak bisa membantuku Ki!?" tanya Ayah dengan penuh rasa marah.     

Dukun Kuring hanya diam.     

"Kalau begitu percuma aku jauh-jauh sampai ke sini. Ternyata juga menemui orang yang salah." Ucap Ayah merasa putus asa.     

"Aku belum mengucapkan apapun!" ucap Dukun Kuring.     

"Ternyata kamu orang yang begitu mudah pututs asa. Lalu bagaimana kamu bisa kuat untuk menghadapi ritual dua hari dua malam nanti?" lanjutnya.     

Ayah terdiam. Dia sendiri tak tahu ujian macam apa yang akan ia lalui kelak saat ritual topo jogo banyu.     

"Topo Jogo Banyu. Kamu akan menemui tujuh arus. Sampai arus ke tujuh. Kamu harus menyelesaikannya. Selama dua hari dua malam. Waktu akan semakin terasa panjang apabila kamu merasa kalah. Namun waktu akan terasa cepat apabila kamu yakin bahwa kamu akan menang melawan mereka."     

"Mereka?" tanya Ayah bingung.     

"Dalam setiap arus ada lelembut penjaganya. Setiap lelembut yang datang akan memberimu ujian dan hadiah. Jika ujian itu bisa kamu lalui, maka dia akan memberimu hadiah. Jika kamu gagal maka kamu wajib membayar kegagalan ritualmu kepada mereka."     

"Apa yang harus aku berikan kepada mereka Ki?" Tanya Ayah dengan penuh rasa was-was dan ingin tahu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.