PERNIKAHAN TANPA RENCANA

113



113

1Dug. Dug. Dug.      2

Mbah karsin berubah menjadi seorang penjagal. Suara peraduan antara golok dan telanan yang terbuat dari kayu itu begitu kuat. Seperti kaki seseorang yang di hentak-hentakkan ke tanah.     

DUG.DUG.DUG.     

Ritme yang tetap terus berputar. Dengan jeda yang sama. Namun sayangnya tak seirama dengan pemandangan yang di sajikan.      

Berteman dengan lampu temaram dari sorot lampu petromak berwarna kuning itu. Dara kental mengucur dari setiap sayatan yang di lakukan oleh Mbah Karsin.      

Ia tampak begitu lihai sehingga yang Ia kerjakan sekarang ini bak sebuah seni.     

Ayah mendekatinya. Mbah Karsin nampak tak terkejut sama sekali. Ia bahkan terlihat seperti sudah memprediksi kedatangan ayah.     

"Ini adalah kijang. Salah sendiri lewat di depanku. Ya mati kamu." Ucap mbah Karsin. Sontak membuat ayah sedikit ngeri.     

Ayah lalu menanyakan tentang rusa. Dan ternyata mbah Karsin mengatakan kalau dia sudah punya rusa hasil buruan beberapa hari yang lalu. Beruntungnya. Batin Ayah. Sehingga ayah tidak perlu pusing-pusing lagi.     

"Tapi mbah, saya butuh rusa yang kembar."     

"Hah? Mana ada!" Seru mbah Karsin.     

"Harus ada." Ucap Ayah.     

Mbah Karsin pun diam. Seperti memikirkan sesuatu. Lalu Ia berdiri.      

"Ayo ke gudang. Kita cari." Ucap Mbah Karsin.     

Ayah mengerutkan dahi. Ia bingung dengan maksud mbah karsin cari rusa di gudang. Ah mungkin mbah Karsin punya tempt penyimpanan sendiri untuk barang buruannya.     

Aku pun mengikuti langkah mbah Kasin. Meski beberapa kali aki tersandung. Karena tidak ada pencahayaan apapun di sepanjang perjalanan.      

Mbah karsin bilang tidak jauh. Namun meraba di kegelapan membuat perjalanan  serasa begitu jauh.     

Mbah Karsin berjalan dengan cepat. Mungkin karena Ia telah hapal medan jalan itu. Sementara ayah hanya berbekal bara rokok yang mbah karsin pegang sebagai penunjuk jalan.     

Sampailah mereka di gudang yang di maksud Mbah Karsin. Mbah Karsin pun membuka pintu yang terbuat dari kayu. Derit nyaring terdengar mengawali langkah kami memasuki gudang bangkai hewan itu.     

Mbah karsin lalu memantik korek api dan menempelkan nyalanya pada dinding sebelah kiri mereka. Ternyata di situlah letak lampu minyak berada. Cahaya redup segera membuka mata kami pada keadaan ruangan kubus yang terbuat dari kayu lempeng itu.     

Ayah tampak menganga. Ia terkejut melihat keadaan sekitarnya. Wah menakjubkan sekali. Batinnya. Mungkin pemandangan ini adalah hasil selama puluhan tahun mbah karsin menjadi seorang pemburu.     

Ruangan dengan empat sisi dinding tegap itu penuh dengan tempelan tanduk-tanduk binatang. Yang paling menakjubkan adalah gading yang begitu besar tertata dengan rapi.     

Mbah karsin menaruh setiap tanduk  berdasarkan jenis hewannya. Dinding yang terbuat dari kayu itu ia beri paku. Berjajar dengan jarak yang sama. Dari atas hingga bawah dan dari dekat pintu sebelah kanan berkeliling ke sisi pintu sebelah kiri.      

Beberapa slot tampak kosong. Mungkin itu adalah bekas tanduk yang sudah laku. Tanduk-tanduk itu di ikat dengan welit atau tali yang terbuat dari bambu yang di serut tipis. Sehingga welit tersebut dapat di cantolkan ke paku-paku yang sudah di siapkan sebelumnya.     

"Rusa ada di sebelah sini." Ucap Mbah Karsin kepada ayah. Ia menunjukkan sebuah tanduk rusa yang berada pada kedua tangannya. Ayah segera menghampirinya.     

Sorot wajah bahagia tercetak di raut wajah ayah. Perasaan lega memenuhi benaknya. Akhirnya segalanya akan terselesaikan juga. Tinggal menunggu hati ritual saja. Dan setelah melakukam ritualnya semua akan kembali seperti sedia kala.     

Akhirnya ayah memutuskan untuk bermalam di gubuk mbah karsin. Ia tak mungkin menerjang dinginnya malam dan juga jalanan gunung yang terjal.     

Esok paginya Ia pun memutuskan kembali ke perkampungan. Saat terbangun mbah Karsin sudah tak berada di tempatnya. Tidak lupa Ia membawa dua tanduk rusa yang mbah karsin berikan.     

Sebelum nya mbah karsin sempat berbincang kepada ayah tentang tanduk rusa itu. Sepertinya Ia curiga dengan tujuan Ayah. Karena ayah tidak mengatakan bahwa sebenarnya tanduk rusa itu akan di gunakan untuk ritual. Ayah mengatakan bahwa tanduk rusa itu akan di gunakan untuk obat.     

Ayah pun sampai di depan rumahnya. Ia lalu membawa karung yang Ia panggul ke ruang belakang. Simbok yang mendengar kedatangannya pun keluar kamar dan menemuinya.     

"Mas, sampean kok lama sekali mas? Sampai gak pulang?" Tanya Simbok.     

"Iya Dum, aku terserang badai. Jadi aku menginap semalam di rumah mbah karsin. Apa ada yang menanyakan tentang aku?" Tanya Ayah.     

"Iya Mas. Simbah menanyakanmu." Jawab Simbok pada Ayah.     

Sontak ayah menoleh kepadanya. Lalu dahinya berkerut.     

"Ada apa?"      

"Tidak tahu, tapi sepertinya penting sekali." Jawab Simbok     

"Tapi aku sibuk Dum. Tidak ada waktu untuk ke sana. Dua hari lagi kan ritualnya."     

Simbok mendesah keras. Ia tahu kedatangan ayahnya pasti bukan tidak ada artinya. Apalagi Ia sudah mewanti-wanti simbok untuk menyampaikan kedatangannya kepada suaminya itu.      

Sayangnya suaminya tidak merespon dengan baik. Karena terlalu sibuk memikirkan ritual. Beberapa persyaratan bahkan belum terkumpul..ia berencana mengumpulkannya besok. Karena hari ini Ia terlalu lelah sehingga Ia memutuskam untuk istirahat total.     

"Tapi Bapak itu kalau sudah datang pasti ada yang penting Mas.." kekeuh Simbok.     

"SUDAHLAH DUM. NANTI SETELAH RIUAL KAN BISA!." Bentak Ayah pada Simbok membuat Simbok langsung terdiam dan tak berani mengganggu gugat keputusan suaminya itu. Meski begitu batin Simbok masih terasa mengganjal.     

Keesokan harinya, ayah pun mengumpulkan sisa-sisa printilan persyaratan yang harus Ia serahkan kepada Dukun Kuring.     

Pagi hingga sore hari ayah baru samai di rumah dengan membawa keranjang oenuh dengan bunga-bungaan. Simbok yang menyaksikan saat ayah membongkat isi keranjangnya itu hanya terus melihat tanpa berani bertanya.     

Setelah semuanya terkumpul ayah pun menaruhnya di karung. Ia menyusun satu persatu dengan rapi agar tak ada yang rusak.     

Ia kemudian menyiapkan baju hitam yang kelak akan Ia pakai. Agar semua tertata. Sehingga kelak saat akan berangkat tak ada yang tertinggal dan tak ada kesalahan.     

Tinggal menunggu esok siang berlalu. Dan mlam pun ritualnya akan di gelar.     

Sementara di rumahnya, Simbah nampak gusar. Ia tahu sebelumnya ada yang salah. Waktu itu ia mendatangi dukun kuring. Menanyakan tentang anak mantunya yang datang ke sana.     

Dukun kuring membenarkan kedatangan ayah kepadanya. Lalu Simbah pun bertanya, apa mahar yang akan Dukun Kuring dapat sebagai perantara. Ia menakwab hal mengerikan kepada Simbah.     

Saat itu juga Simbah memaki-maki dukun kuring. Ia benar-benar gila untuk hal berbau klenik. Ia bisa mengorbankan apa pun agar bisa mendapatkan yang dia inginkan.     

Dia bilang keaaktiannya akan bertambah, yaitu bisa menerawang saat seseorang berbivara dalam hatinya jika Ayah berhasil melakukan ritualnya dengan benar sampai selesai.     

      

      

      

Simbah terpincang-pincang berjalan menuju rumah Ayah. Ia tak bisa lagi menunda kegelisahan dalam benaknya lebih lama lagi. Perkataan dukun kuring waktu itu terngiang-ngian di kepalanya. Dukun Kuring yang berjiwa licik itu ternyata akan tetap licik kepada menantu dari temannya sendiri.     

Dukun kuring menginginkan kemampuan baru. Sementara yang berkorban bukanlah dirinya sendiri melainkan adalah kliennya, yaitu ayah. Sementara ayah tidak tahu tentang fakta itu.     

"Hahaha…" Tawa menggelegar Dukun Kuring terngiang pada kepala Simbah di sepanjang perjalanan menuju rumah anaknya,Duminah. Simbah bertanya apa yang dukun kuring korbankan. Namun dukun kuring menggeleng. Ia mengatakan sama sekali tak mengorbankan apa pun kecuali tenaganya untuk ritual kelak. Jadi simbah bertanya kembali siapa yang akan berkorban.     

Dengan jujur Dukun Kuring mengatakan bahwa ayahlah kelak yang akan mengorbankan sesuatu untuknya. Tentu saja simbah tak terima dengan kelakuan temannya itu. Namun simbah masih mampu menahan emosinya, lalu simbah pun bertanya kembali. Apakah kelak mahar yang dia minta kepada menantunya itu.     

Dukun kuring mengatakan tanpa beban, bahwa ia meminta sebuah rusa kepada menantu temannya itu. Sontak simbah naik naik pitam mendengar jawaban temannya itu. Kepercayaan yang bertahun-tahun lamanya di bangun mereka berdua pun kini luntur. Entah kerasukan apa dukun kuring dengan tanpa dosa mengatakan akan membuat menantunya itu mengorbankan sebuah binatang berkaki empat itu.     

Simbah yang juga sudah bertahun-tahun ikut dukun kuring berkutat dengan dunia klenik meski tidak terjun ke dalam dunianya itu jelas tahu apa arti dari persembahan rusa. Rusa adalah binatang berkaki empat. Dan arti dari binatang berkaki empat dalam dunia klenik sebagai persembahan adalah nyawa.     

Itu berarti akan ada nyawa yang sedang di pertaruhkan di ritual yang akan di jalankan menantu itu kelak. Dan simbah tahu dengan jelas bahwa menantuya itu begitu awam tentang dunia per-klenik-an. Dunia yang dulu menantunya itu tak percayai. Jelas terlihat bahwa menantunya itu tak akan tahu arti dari persembahan binatang berkaki empat itu.     

Simbah memaki-maki dukun kuring. Ia sudah kehabisan kesabaran. Teman yang selama ini ia percayai itu benar-benar sudah menghancurkan segalanya. Ayah jelas tahu bahwa dukun kuring itu adalah seorang yang licik. Ia juga tahu bahwa dukun kuring terkenal dengan kesadisannya. Namun selamam bertahun-tahun berteman dengannya, sekali ini lah ayah merasa sangat kecewa dan melihat sisi asli dari dukun kuring.     

Ia tak tahu jika dukun kuring akan begitu tega mengorbankan keluarganya untuk di tukar dengan kemampuan mata batin yang kelak akan dia dapatkan jika ayah berhasil lancar menjalankan ritualnya hingga selesai.     

Hari itu juga, hari dimana simbah memaki-maki dukun kuring . ia mengatakan dalam batinnya dengan sungguh-sungguh bahwa ia tak akan mendekati seorang dukun terlebih dia adalah dukun kuring. Simbah telah memutuskan tidak akan terlibat apa pun dengan dukun kuring meski pertemanan selama bertahun-tahun denganny begitu di sayangkan.     

Simbah mengetok pintu rumah anaknya Duminah dengan keras dan gusar. Sampai beberapa kali ketukan di layangkan di daun pintu, namun tak kunjung seorang pun membukakan pintunya. Tidak duminah, tidak juga suaminya. Lalu simbah pun memutuskan untuk masuk. Simbok berada di kamar sedang mengurus bayi sardi.     

"Maaf Pak, aku lagi ngurus sardi." Ucap simbok setiba simbah di depan pintu kamarnya yang hanya di tutup gorden itu.     

"Di mana suamimu Ndok?"Tanya Simbah dengan nada tak sabar.     

"Dia berangkat pagi sekali Pak, ada apa?" jawab Simbok.     

Simbah mengerutkan dahinya. Pagi sekali pergi ke mana bocah itu? Ucap dalam batin Simbah.     

"Dia bilang mau beli kembang Pak. Kan kalau ndak pagi nanti kehabisan." Ucap simbok lagi.     

Simbah hanya berdehem. Ia lalu duduk di kursi tengah. Selang beberapa menit simbok keluar dari kamar. Mungkin bayi sardi sudah selesai diurus dan sedang tertidur.     

Simbok lalu menuju ke dapur dan membuatkan bapaknya itu segelas kopi. Ia lalu duduk di kursi seberang meja. Di hadapan bapaknya.     

Simbah tak memeberikan sedikit pun senyum ke anak sulungnya itu. Ia benar-benar serius kali ini. Melihat gelagat bapaknya itu, simbok pun lalu duduk dengan serius juga. Ia siap mendengarkan apa pun yang akan bapaknya ucapkan.     

"Ada apa pak kok tergesa-gesa begitu?" Tanya simbok dengan nada cemas.     

"Suamimu dimana Ndok?" Tanya ayah menuntut jawaban dari Duminah.     

"Mas pergi sejak pagi Pak. Saya ndak tahu pastinya di mana." Jawab Simbok.     

"Aduhhh Dum…ndak bisa Dum. Ndak boleh di lanjutkan ritualnya. Ndak bisa Dum…" ucap Simbah sambil berkaca-kaca.     

"Ya Tuhan…kenapa bisa jadi seperti ini?" Lanjut simbah lalu mengurut keningnya yang terasa berdenyut.     

"Pak…sebenarnya ada apa? Ini soal apa? Kenapa bapak tiba-tiba bersikap seperti ini?" tanya Simbok kebingungan.     

"Soal ritual itu Ndok…suamimu itu di tipu si Kuring. Aku yang bodoh. Aku memang bodoh." Simbah tampak menyalahkan dirinya sendiri. Ia terus menunduk dan memukul-mukul kepalanya.     

"Pak..kenapa bisa seperti itu Pak? Jelaskan padaku." Mohon Simbok pada simbah sambil berlutut.     

"Bapakmu ini yang menyarankan suamimu untuk mendatanginya. Kemarin, aku memastikan apa yang akan kuring lakukan terhadap suamimu. Aku mendapatkan jawaban demi jawaban mengerikan dari manusia biadab itu Dum…" Ucap simbah. Simbok lalu mengelus punggung tangan simbah.     

"Kuring mengatakan kalau persembahan yang dia minta dari suamimu kelak adalah rusa. Kamu tahu Dum apa artinya Rusa itu?" duminah menggeleng tak mengerti.     

"Kepala binatang berkaki empat itu berarti kepala manusia. Artinya ada nyawa yang sedang di persiapkan untuk menjadi mahar dari ritual ini. Dum…cegah suamimu dum sebelum terlambat." Mohon simbah pada duminah anaknya. Duminah terduduk lemas. Sementara ia jelas-jelas melihat suaminya membawa dua ekor kepala rusa. Apakah artinya kelak akan ada dua nyawa yang di pertaruhkan?     

"Pak…tapi saat ini dia sedang keluar kita tidak tahu dia pergi ke mana. Sekarang di luar juga gerimis. Setidaknya kita tunggu sampai tengah hari nanti Pak. Jangan terlalu di pikir ya Pak. Ingat kesehatan Bapak." Meski batinnya sama panasnya dengan bapaknya itu simbok berusaha untuk tenang agar semua tetap terkendali.     

Tibalah tengah hari datang. Ayah pun kembali pulang dengan membawabanyak sekali bunga. Ia lalu menuju ke belakang dan menaruh semua yang telah ia beli bersama dengan persyaratan-persyaratan yang lain.     

"Mas." Duminah datang dari belakangnya membuat suaminya itu terperanjat.     

"APA SIH DUM! Kamu ini bikin saya jantungan." Ucapnya sambil cengengesan. Sementara duminah masih tetap dengan tatapan serius. Suaminya menyadari hal itu. Ia lalu menghentikan kesibukkannya itu dan menatap duminah.     

"Kamu ini kenapa. Suamimu pulang kok malah cemberut seperti itu." Tanyanya.     

"Mas. Sudah. Ndak usah ritual-ritual. Sudah ndak papa. Aku akan menghadapi apa pun yang aku alami kemarin dan hari ini. Aku akan tahan mas. Ndak perlu kamu berkorban apa-apa. Mungkin sudah takdirnya seperti ini." Ucap duminah tiba-tiba sambil beruarai air mata.     

Ayah pun kebingungan dengan gelagat istrinya yang tiba-tiba aneh itu.     

Duminah bercucuran air mata. Ia tak kuasa menahan keresahannya sendirian. Suaminya memelukanya supaya melunturkan kegelisahan istrinya itu. Namun tak berarti apa pun. Duminah tetap merasa bahwa kehidupan ini kejam padanya. Dan ia di paksa untuk menerimanya.     

"Tidak Mas. Aku benar-benar serius." Ucap duminah dengan sorot mata tenang namun berarti sebuah keseriusan. Ayah lalu melepas pelukannya. Ia menatap lekat-lekat istrinya itu. Ia tak menemukan sedikit pun keraguan dalam mata sembabnya.     

"Ada apa Dum, kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Ayah.     

"Aku bukannya berubah pikiran Mas. Aku memang tak pernah mengatakan setuju." Duminah berkata dengan sedikit bergetar. Ia lalu duduk di kursi di mana itu adalah tempat biasa mereka makan.     

Ayah mendesah dengan keras. Rasanya pikirannya tiba-tiba penuh. Apa lagi kali ini yang akan terjadi. Ia sudah melewati cukup banyak rintangan hingga sampai ke titik ini. Sebentar lagi, tinggal menghitung hari. Dan kini istrinya terlihat meragukan jalan yang di pilihnya.     

"Apalagi Dum? Kenapa lagi? Apa Ibumu? Ibumu datang lagi ke sini? Apa yang dia katakan?" Tanya ayah pada simbok. Ia berlutut di depan duminah yang masih menangis dalam diamnya.     

Namun duminah masih saja hanya menggeleng kepala. Dan itu membuat ayah semakin frustasi. Tak mendapat jawaban apa pun darinya.     

"Lalu siapa yang membuatmu menjadi seperti ini."     

"ini bukan karena siapa yang membuat aku seperti ini mas. Ini karena apa yang kamu lakukan!"     

Tiba-tiba suasana menjadi memanas.     

"Karena aku! Aku? Maksud kamu karena aku itu apa! Aku melakukan ini demi kamu. DEMI ANAK KITA DUM!"     

"JANGAN KATAKAN DEMI AKU MAS! Semua karena rendah dirimu akan anak kita. Iya kan?"     

Ayah dan simbok pun saling berteriak. Sampai keduanya tidak mendengar tangis Bayi Sardi.     

"Apa katamu! Jadi selama ini itu lah yang ada dalam pikiranmu? Kamu…kamu..!"     

Ayah mengepalkan tangannya. Iya tak kuasa memendam amarahnya lagi. Sementara duminah terus menangis tak henti-henti.     

Dengan kesal ayah memasukkan semua persyaratan yang sudah ia kumpulkan ke dalam sebuah karung. Termasuk kepala rusa itu. Ia lalu memanggulnya danmenuju ke arah pintu keluar. Dengan cepat duminah meraih lengannya.     

"Mas, dengarkan dulu aku belum selesai." Ucap Duminah dengan sesenggukan tangisnya.     

"SUDAH DUM. APA PUN YANG KAMU KATAKAN TAK AKAN MERUBAH APA PUN. KAMU TIDAK TAHU APA YANG SUDAH KU ALAMI HINGGA SAMPAI DI TITIK INI." Tutur ayah dengan penuh penekanan dan sorot mata marah serta kecewa. Ia pun kemudian mengibaskan tangan Duminah yang seketika langsung terpental.     

Ayah pun berjalan keluar rumah dengan cepat. Sementara istrinya yang sedang hamil tua kewalahan mengejar langkah kakinya.     

"MAS! MAS! MAS!" Suara panggilan duminah begitu keras bahkan tangisnya pun terdengar jelas. Namun entah apa yang menutupi telinga ayah sampai ia tak mau mendengarkan lebih jauh apa yang di katakan istrinya itu. Ia yakin pada akhirnya istrinya akan mencegahnya melakukan ritual yang tinggal selangkah itu. Tidak. Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Ucap ayah dalam batin.     

Dengan amarah yang membara di dalam batinnya. Tekad ayah malah semakin kuat. Mereka semua tak ada yang tahu, ia sudah mempertaruhkan nyawanya sampai di titik ini. Tak ada seorang pun yang bisa merobohkan tekadnya yang sudah hampir mencapai puncaknya itu.     

Terlalu awal bagi ayah untuk datang ke tempat ritual. Di tepi sungai inilah kelak akan di adakan ritual topo jogo banyu. Ayah belum tahu pasti apa yang akan dia kerjakan nanti. Sehingga dia memutuskan untuk duduk di bawah pohon klasem tidak jauh dari tepi sungai.     

Ia menggelar sebuah alas yang berasal dari karung bekas. Ia lalu meletakkan karung berisi segala printilan persyaratan yang ia bawa sejak tadi di atas alas tersebut. Ia lalu segera berbaring. Sambil menunggu kedatangan Dukun Kuring datang. Mungkin Ia akan datang selepas adzan ashar nanti. Masih ada waktu sampai dua jam ke depan untuk mengistirahatkan punggungnya dari rasa lelah.     

Silir angin bertiup dan suara riak sungai ternyata lebih ampuh sebagai senandung tidur. Tidak lama setelah ia merebahkan tubuhnya dan menatap dedaunan di atas. Ia pun terpejam, terlelap di alam bawah sadarnya.     

Ia berlari-lari bersama tiga saudaranya. Di atas pasir, di tepi pantai kisik yang tidak jauh dari perkampungan. Tiga saudaranya adalah dua kembar putra dan putri lalu satu laki-laki jangkung yang hampir sebayanya, atau mungkin lebih muda. Mereka berlarian dan tertawa seperti manusia-manusia kecil tanpa dosa.     

Mereka paling memegang tangan, mengayunkannya, melangkah, mengangkat kaki, selayaknya bocah yang belum akil baligh bermain. Si kembar menemukan kerang, ia lalu melempar ke bocah laki-laki yang sebaya dengannya itu. Si bocah laki-laki itu lalu melemparkan ke arah ayah. Ayah tertawa keras menerima lemparan kerang dari bocah laki-laki itu.     

Ia menatap kerang itu. Terus saja entah kenapa seperti di paksa untuk menatapnya. Seolah ada yang menekan kepalanya untuk terus menunduk melihat ke arah telapak tangannya. Air laut lalu bercucuran mengalir melalui kerang itu bersama dengan pasir. Melewati setiap sela ruas jari jemarinya. Air yang semula berwarna keruh bercampur dengan pasir itu perlahan-lahan berubah menjadi berwarna merah. Warna merah yang semula pudar pun perlahan-lahan menjadi kental.     

Ayah yang kala itu masih terlalu muda pun membelalakkan matanya melihat darah segar yang begitu banyak mengucur dari tangannya. Kerang itu lalu terbuka dengan cepat. Sebuah makhluk muncul dari dalamnya. Ayah pun berteriak semakin keras. Lalu dengan cepat tangannya membuang kerang itu ke pasir. Sebuah makhluk yang berukuran yang sangat kecil dan berambut panjang. Kulitnya berwarna hitam legam dengansenyum menyeringai yang sangat mengerikan. Kemudian membesar dan semakin membesar dengan mengeluarkan tawa yang begitu melengking hingga membuat ayah semakin bergidik ngeri dan menangis ketakutan. Kemudian makhluk itu pecah menjadi keping-keping darah dan mengalir ke lautan lepas.     

Suara itu menghilang setelah darah itu bebaur dengan air laut dan tercampur sehingga warna merahnya menghilang. Namun mata ayah teralihkan oleh ketiga saudaranya yang berada di tengah laut. Tubuh mereka yang kecil seolah mulai tenggelam dan tertelan oleh air laut yang luas. Mereka menagis bersamaan dengan suara yang begitu nyaring dan memekakkan telinga. Sehingga kedua tangan ayah pun seketika memegangi kedua telinganya. Ia ingin segera menolong mereka namun kakinya terasa begitu berat. Seolah tertancap ke dalam pasir. Ia terus meronta hingga terjatuh namun tak ada yang berubah kecuali ketiga saudaranya itu semakin hilang perlahan-lahan hingga akhirnya tangis mereka pun menghilang bersamaan dengan kepala mereka juga hilang di telan oleh air laut yang berwarna gelap oleh siluet sore hari.     

Ayah pun menangis sejadi-jadinya. Ia terus memukul-mukul kakinya karena tak mau bergerak. Ia juga memukul pasir di hadapannya. Kekesalannya begitu besar karena tak mampu menolong ketiga saudaranya itu. Namun kemudian seseorang menepuk pundaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.