PERNIKAHAN TANPA RENCANA

116



116

0Cakrawala telah menutup seluruh sinarnya. Sinar yang mulai bias dan semakin meremang. Sela-sela batang pohon semakin hitam. Tanah tak tampak lagi strukturnya. Kita berdua tidak tahu akan melewati apa didepan. Hanya roda yang terus menderu meraba-raba.     
0

Dalam kondisi seperti ini Pak Hadi masih tetap stabil menjaga keseimbangan motor. Wah sekali rasanya. Seperti sedang mengendarai offroad saja namun dalam keadaan buta. Cahaya motor saja yang akan setia kelak menemani perjalanan kami.     

Seperti tahu kondisi jalan Pak Hadi seolah tahu dimana lubang-lubang dan kubbangan juga akar yang harus Ia hindari atau menurunkan kecepatannya.     

Aku berpegangan semakin kuat pada hendel yang ada di samping jok motor. Tidak lupa kulafalkan semua doa yang kumengerti dalam hati. Di tempat mengerikan seperti ini bersama orang asing, Satu satunya yang aku butuh kan adalah perlindungan Tuhan. Berusaha ku tenangkan diriku sendiri.     

Beberapa waktu lalu kami melewati perkampungan. Memang sepi namun membuat hatiku sedikit tenang. Selang beberapa meter ternyata aku dikejutkan oleh jalan gelap lagi. Tiba-tiba rem motor berdecit dan motor pun berhenti dari perputarannya. Pak Hadi menoleh kepadaku. Meski gelap saya bisa tahu melalui siluetnya.     

DEG...     

Debar jantungku mencelus. Ada apa didepan sana. Kenapa Pak Hadi tiba-tiba menghentikan laju motornya.     

"Mba Santi, mulai dari sini tolong jangan bersuara. Sampai nanti kita bertemu dengan gardu yang ada cahaya petromaksnya. "     

Ahh Ya Tuhan. Aku kira ada hal yang menghalangi perjalanan kita. Ternyata Pak Hadi memperingatiku untuk mulai diam dari titik ini hingga ke depan sampai menemui sebuah gardu yang di hiasi cahaya petromaks. Tuturnya tadi.     

Begitu Pak hadi selesai bicara. Lalu aku pun hanya menganggukkan kepala. Pak Hadi pun kembali dengan sikap fokusnya meraba jalan didepan.     

Aku mengeratkan peganganku. Sekian menit lalu merasa lega bahwa kukira Pak Hadi akan melakukan hal aneh. Atau mungkin ada hal aneh yang tidak kuinginkan menghalangi perjalanan kami. Tapi detik saat motor melaju lagi aku mulai meresapi maksud wanti-wanti dari Pak Hadi.     

Di perjalanan sebelumnya, Pak Hadi berusaha menghapus kecanggungan di antara kami. Dia berusaha mencari topik baru agar perjalanan tidak membosankan. Dia berusaha membuatku percaya bahwa Dia akan membawaku ke tempat aman.     

Sekarang aku sudah tidak menemui keraguan lagi. Semua rasa itu sudah digantikan oleh kondisi yang mencekam ini. Kuserahkan nyawaku pada Tuhan melalui orang ini dan doa-doa perlindungan yang tidak putus.     

Suara binatang malam bersahutan di sana sini. Yang membuatnya terdengar mengerikan adalah suara-suara tersebut menggema oleh keheningan malam belantara. Udara malam juga semakin tidak bersahabat. Ia memperburuk keadaan mencekam ini.     

Menelusuri jalan di tengah pokok- pokok besar membuat mata yang memandang bergidik ngeri juga. Belum lagi Pak Hadi yang tampak tergesa gesa. Motor yang kami naiki seolah menderu ingin cepat sampai.     

Aku bisa menebak bahwa ada hal yang Pak Hadi tidak sampaikan kepadaku. Mungkin tidak sempat atau mungkin takut membuat aku khawatir. Sudah terbaca jelas dari sikapnya.     

Suara motor butut ini kian menderu. Membelah lautan pohon yang mungkin belum terjamah oleh tangan-tangan nakal pembabat hutan. Suara si butut inilah yang mendominasi perjalanan kami selain suara binatang malam. Terkadang angin juga menerpa dan membuat suara yang begitu aneh. Kayu-kayu bergesekan dan semakin membuat suasana menyeramkan.     

Tapi aku hanya diam sekalipun takut setengah mati. Aku tidak mau kepanikanku malah membuat bencana untuk kita berdua. Aku menuruti perintah Pak Hadi dengan cermat. Aku tidak akan melanggarnya sekalipun tidak sengaja.     

Perjalanan yang terasa lebih lama bahkan jika dibandingkan perjalananku dari Jawa menuju pelabuhan. Suasana mencekam memperburuk segalanya.     

Sampai akhirnya motor yang kami naiki menabrak sesuatu. Kami pun tumbang. Aku berteriak dan melanggar ultimatum Pak Hadi. Aku ketakutan setengah mati. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak merasakan sakit lagi. Seluruh tubuhku bergetar hebat.     

Aku melupakan doa-doa yang kurapal sejak tadi. Aku menangis. Lalu sebuah tangan meraihku. Aku menjerit, beruntung itu adalah tangan Pak Hadi. Dia berusaha menenangkanku namun kukira gagal. Dia menyembunyikan Aku di belakan tubuhnya dari segerombol orang yang kukira adalah begal malam.     

Tiba-tiba tawa bergema dari mereka. Sebuah benda panjang di todongkan kepada Pak Hadi. Aku semakin tidak karuan. Pak Hadi tetap memegang erat tanganku.     

"HAHAHAHAHA...."     

Tawa dari salah satu kelompok itu bergema. Aku yakin mereka berhasil menunjukkan sisi superior kelompok mereka. Aku semakin ketakutan setengah mati. Namun Pak Hadi tampak tak gentar sekalipun kalah jumlah. Dalam keadaan seperti ini kami dirugikan dalam segala hal.     

Seperti yang dikatakan Pak Hadi beberapa waktu lalu dipinggir Sungai Musi tatkala kita pertama bertemu. Bahwa seseorang yang dibegal dan mati mayatnya akan dibuang ke Sungai Musi dan tidak akan mereka tinggalkan jejak apa pun. Aku takut hal itu terjadi pada kami.     

Si ketua begal itu tampak mendekat. Bunyi daun kering diinjaknya tampak jelas bahwa penyamun itu mendekat ke arah Pak Hadi. Aku gemetar bukan main. Namun Pak Hadi menggeram, bukti bahwa Ia melawan.     

Srek srek srek     

Aku yakin jarak kami tak terpaut jauh.     

"Serahkan semua barang barangmu." Kata si Ketua Begal.     

"Aku tidak akan menyerahkan apa pun sekalipun aku membawa barang berharga." Tegas Pak Hadi geram.     

"Kau mau mati HAHH..!!" Dia menjambak rambut Pak Hadi hingga tubuhnya hampir terangkat.     

"Aghh..." Teriak Pak Hadi kesakitan lalu Ia dilempar ke anggotanya.     

Kemudian mereka menghampiriku yang tak terlindungi lagi oleh tubuh Pak Hadi.Begal itu berjalan selangkah lagi mendekatiku yang semakin membuat tubuhku gemetar hebat.     

Di dunia ini katanya bahkan Tuhan mengabulkan doa orang kafir. Orang yang tidak mengimani-Nya. Di dunia laknat ini bahkan Tuhan mendengar jeritan para pelacur. Di dunia ini Tuhan digambarkan dengan rasa kasih-Nya yang tak ter tandingkan.     

Karena itu, kupejamkan mata ini. Dan kukatakan pada-Nya dari dalam hati.     

"Tuhan, beri aku hidup. Namun jika hari ini namaku ada di catatan salah satu malaikat penjemput MU. Maka kumohon kabulkan permintaanku. Kumohon pertemukan aku dengan ibuku terlebih dahulu. Sebelum aku dikebumikan."     

Kukira seputus asa ini diriku. Kakiku yang gemetar tidak akan mampu membawaku lari. Pak Hadi yang aku percayai untuk melindungi sekarang terkapar di antara mereka. Aku hanya memasrahkan diri dengan berurai air mata.     

Ketua Begal terasa sangat dekat di hadapanku. Meski hanya siluet yang kulihat. Nafas kasarnya terdengar menderu. Lalu ia mencengkeram rahangku dengan kuat.     

"HAHAHA..." Dia tertawa lagi.     

Sekejap kemudian tangannya berpindah dari rahangku menuju payudaraku. Aku terperanjat. Aku berteriak karena kaget. Aku yang tadi ketakutan menjadi geram.     

"APA YANG KAMU MAU!"     

Aku mundur selangkah dari raihannya. Kukatakan dengan lantang dan bergetar tanda bahwa aku tidak akan menyerahkan diri begitu saja.     

"Ternyata kau perempuan. HAH! Ahahahahhahaha". Mereka kompak melecehkanku.     

Tuhan tidak menjawab doaku secepat yang kuinginkan. Aku menjadi putus asa akan nasibku selanjutnya. Para Begal ini seolah menikmati rasa takutku. Tawa mereka bergemuruh seolah aku adalah mainan baru untuk mereka.     

Salah satu begal itu mendekatiku lagi. Aku memalingkan muka. Meski tahu tak akan terlihat rupaku. Kupeluk erat tas yang telah kupindah dari punggungku ke depan dadaku.     

"Hai nona.. jangan lah jual mahal... aku tahu kau juga ingin kan.... ahahahahaa..." Racau salah satu Begal. Yang aku yakini dialah ketuanya.     

"APA MAKSUD MU!" Ketusku dan tak ingin memberikan celah apa pun.     

"Ayolahhh... jangan pura pura tidak tahu... ayo kita sedikit bermain." Dia mulai menyentuh pundakku dan hendak melucuti kaosku.     

"SIALAN!!!" Aku memukul se kenanya. Dan mengenai wajahnya. Nampak giginya meringis dan suara kesakitan.     

CUIHHHH. Dia meludahiku kemudian menjambak rambutku. Aku merasa kesakitan.     

"Sialan Kau JALANG! hidupmu ditanganku tapi kau berani menamparku! hah!!"     

Kemudian dia hendak mencekikku. Nampak nya Dia kesal dengan perlawananku. Tangan kanannya menuju leherku. Dan sampailah Ia menyentuh titik yang bisa membunuhku detik itu juga.     

Nadiku bergemuruh. Kupikir kejam sekali Tuhan jika Ia membuat sekenario hidupku seperti ini. Mati ditangan para begal dengan cara yang sangat tragis dalam perjalanan menjemput Ibuku.     

Terlihat wajah ayah dan ibu waktu aku kecil dulu. Kita berjalan bersama menuju sawah garapan ayah. Ayah tersenyum dan sesekali menggodaku dalam gendongannya. Ibu membawa bakul nasi untuk makan siang kita kelak.     

Suasana tanah kelahiranku yang tak akan kulupakan. Tempat di mana aku akan kembali ke mana pun jauhnya aku pergi. Tempat aku tumbuh bersama ketiga masku dan satu adikku.     

Mas Mardi menggendongku dipunggungnya. Menyuapiku nasi jagung. Kita berlari lari tanpa beban. Mas Sardi dan Mas Kardi yang selalu bertengkar meski masalah kecil. Dan adik bungsuku Wisnu yang masih bayi.     

Di tanah latar dengan rumah gubuk. Di bawah sinar purnama penuh. Keluargaku yang dulu sempurna sebelum ayah meninggalkan kita. Tanah hibah atau bengkok peninggalan kakek perlahan habis karena ibu tidak pandai mengelola sehingga mudah ditipu.     

Aku yang masih terlalu kecil memahami keadaan itu. Kasih sayang seolah lenyap sepeninggal ayahku. Semuanya menjadi sibuk memikirkan hidup masing-masing. Aku dan adik kecilku hanya terumbang ambing di antara permasalan orang dewasa.     

Masa lalu yang melintasi pikiranku. Seolah menjadi ucapan selamat tinggalku pada dunia. Untuk yang terakhir kali aku memohon pada Tuhan...     

"Tuhan.. selamatkan aku...."     

Mataku masih terpejam. Inikah akhirat?. Ternyata mati tidak sesakit yang kurasakan. Apa di akhirat juga bernafas? Kenapa aku masih bernafas seperti orang hidup?.     

Lalu kuyakinkan untuk membuka mata. Perlahan lahan namun yang kutemui hanya gelap, gelap dan semakin terbuka semakin gelap. GUSTI!.Aku terperanjat sendiri melihat apa yang ada di sekitarku. Ini masih tempat yang sama. Dan tasku masih di sini. Motor juga masih di tempat semula. Kuraih tasku. Kuraba raba sehingga aku berdiri. Kaki yang bergetar kini mulai mereda.     

Kurasakan kulitku yang amat sangan lengket karena berhari hari tidak mandi. Belum lagi tadi berkeringat karena ketakutan. Aku melihat ddi hadapanku Pak Hadi masih terduduk menatapku. Ada apa?     

Aku masih hidup didunia yang sama.     

Namun di mana begal begal itu? Kenapa tidak jadi membunuhku padahal aku sudah dicekik tadi.     

Aku mendekati Pak Hadi dan berjongkok di depannya. Pak Hadi tampak kaget dan menghindariku.     

"Pak... apa bapak sudah sadar?. Bapak tadi pingsan." Pak Hadi tidak menjawabku Dia seperti baru saja melihat yang seharusnya tidak Ia lihat. Seperti antara ketakutan atau terkejut.     

Jadi sebenarnya ada apa tadi? Se persekian detik yang lalu aku memasrahkan nyawaku pada Tuhan. Dan Pak Hadi yang telah sadar namun menatapku nanar.     

Konon setiap dari diri kita yang terlahir dibumi diberi satu malaikat pelindung oleh Tuhan. Dalam keadaan teraniaya setiap doa yang kamu panjatkan akan dikabulkan oleh Tuhan secara kontan. Di jaman ini omongan orang tua menjadi patokan tindakan kita. Dan aku selalu mengikuti apa yang Simbok dan Bapak katakan padaku.     

Pak Hadi mulai berdiri dan membenahi dirinya dari daun-daun kering yang menempel pada tubuhnya. Ia masih bungkam serta memalingkan wajah dariku. Aku tahu sesuatu telah terjadi. Tapi aku masih belum mendapat jawaban apa pun dari mulut Pak Hadi yang tampak syok.     

"Aku pasti dapat pelindungan dari malaikat Tuhan. Kukira aku mati sejak tadi.. haha.. aku bahkan berpikir sudah ada di akhirat." Tuturku pada Pak Hadi yang masih terkejut.     

Aku berhasil menarik perhatian Pak Hadi. Ia menoleh ke arahku. Setidaknya aku berusaha merubah suasana kaku ini.     

"Maafkan aku nyai.. hamba akan menjadi pengikut nyai. Hamba hanya orang kecil. Hamba siap melayani nyai dengan menyerahkan nyawa hamba." Tiba-tiba Pak Hadi menyembahku. Tangannya menangkup  memohon mohon kepadaku.     

"Pak Hadi, apa yang kamu lakukan?" Aku mengangkat bahunya dan membuatnya tegap.     

Dia terlihat ketakutan padaku.     

"Nyai, saya tidak akan mengatakannya kepada siapa pun." Katanya seraya menunduk.     

"Memangnya apa yang terjadi Pak Hadi. Apa yang terjadi tadi."     

Semua yang dikatakan Pak Hadi terasa tidak masuk akal. Padahal aku bahkan merasa keadaan masih sama seperti awal perjalanan kita. Terlebih aku senang karena komplotan begal-begal itu telah pergi.     

"Nyai.. maafkan saya.. tapi saya melihat cahaya mencuat dari sini." Dia menunjuk ke arah kalungku pemberian ayah.     

Aku nampak bingung. Bertahun tahun aku memakai ini. Tidak pernah ada kejadian aneh seperti ini. Apalagi keluar cahaya dari bagian tubuhku. Itu hal mustahil.     

"Cahayanya begitu kuat lebih terang dari matahari. Bersinar cepat menembus gelap. Dan menyilaukan mata, itulah yang menyelamatkan kita tadi nyai. Jika bukan karenanya begal-begal tadi pasti sudah menebas kepala kita." Tuturnya panjang.     

Diam sejenak sambil menunduk. Ku pegang bandul kalung pemberian Bapakku sedsrk kecil dahulu.     

"Dan juga aku. Bagaimana mungkin...." tambahnya lagi dengan nada lirih namun ragu untuk melanjutkan kalimatnya.     

aku mulai mencerna apa yang dituturkan Pak Hadi. Jadi aku mengerti kenapa Pak Hadi merubah raut wajahnya. Itu pasti karena kejadian yang aku sendiri tidak melihatnya. Kejadian tidak masuk akal yang akan membuat orang awam bahkan sebijaksana Pak Hadi pun akan merasa ketakutan.     

Aku berusaha menenangkan Pak Hadi. Sekalipun aku sendiri tidak punya penjelasan rasional tentang peristiwa Itu. Kupegang pundak Pak Hadi. Aku juga berusaha tenang  Di depannya. Aku tidak mau memperburuk keadaan karena sekarang Pak Hadilah yang harus saya lindungi.     

"Pak... bukannya Pak Hadi mempunyai keluarga?.. punya istri tentu punya anak. Bagaimana mungkin Pak Hadi menyerahkan nyawamu untukku. Aku bukan Tuhan, bukan orang ningrat, apalagi wali. Aku tidak berhak menerima abdi." tuturku dan membuat Pak Hadi sedikit tenang dan berani menatapku.     

Pak Hadi terlihat mendengarkanku seraya menunduk. Lalu ia menimpaliku.     

"tapi nyai ini orang berilmu. Saya tidak bisa menjamin kan apa pun kecuali tubuh saya saat ini. "     

"Yang Pak Hadi lihat adalah kuasa Gusti Allah. Kalung ini hannyalah penyampai. Aku tidak pernah menyembah apa pun kecuali Gusti Allah. Tidak setan. Jin atau demit mana pun. Aku hanya menyembah Tuhan. Jadi Pak Hadi tidak perlu takut padaku. Yang perlu Pak Hadi takutkan adalah Yang Maha Kuasa. Dan kalung ini hanyalah pemberian atau kenang-kenangan dari almarhum Bapakku. Tidak ada yang lebih isyimewa dari itu."     

Pak Hadi bergeming tanpa sepatah kata pun. Hal itu membuatku bingung menghadapinya. Dia menjadi orang lain dalam sekejap. Baiklah jika sudah begini. Aku harus melakukan sesuatu.     

"Pak.. bukankah kita harus melanjutkan perjalanan?."     

Aku berusaha mendirikan motornya namun ternyata berat juga. Melihat itu Pak Hadi langsung berdiri dan membantuku.     

"Memang bukan jatahnya wanita. Hahaha..." kataku untuk mencairkan suasana.     

"Mari saya antar nyai.." saya menghembuskan nafas dengan kesal.     

Baiklah Pak Hadi memang tidak mau memperbaiki dirinya. Tapi, apa aku ini terlihat sudah tua sekali? Apa harus dengan sebutan Nyai? Apa aku terlihat seperti Nyainya?     

Kini motor telah hidup kembali. Pak Hadi mempersilahkan aku naik.     

"Silakan duduk Nyai.."     

Aku memutar bola mata kembali. Ini tidak bisa didiamkan. Akhirnya aku mengutarakan kekesalanku.     

"Pak.. pertama. Saya tidak suka Bapak bicara hormat kepada saya. Kedua. Terserah Bapak mau menuruti saya atau tidak. Ketiga. Saya tidak mau dipanggil Nyai. Karena saya ini belum menikah. Dan apakah saya terlihat setua itu?. Bapak sepertinya harus perhatikan wajah saya baik- baik. Keempat. Bapak harus ikut dengan aturan saya yang nomor tiga."     

Aku mendengus kesal namun dalam hati lega juga. Akhirnya aku bisa memecah kecanggungan ini.     

"Ehmm.." Pak Hadi terdengar berdehem.. tanda bahwa Dia tidak enak hati..     

"Baik. Non.."     

Saya memutar bola mata kembali.     

Seumur hidup baru pertama kali diperlakukan seperti ini.     

Akhirnya kami menyusuri jalan-jalan gelap kembali. Sepeda motor butut yang kukira akan rusak ini ternyata benar-benar tahan banting.     

Kita tidak memulai percakapan apa pun. Deru motor yang meraba jalanan tanah basah menjadi pengiring perjalanan kami. Menjadi suara satu-satunya dsri keheningan yang yercipta oleh pekatnya malam.     

Akhirnya tempat yang disebut Pak Hadi pun terlihat. Cahaya remang dari sebuah petromaks nampak berkedip kedip.  Seolah menyambut kedatangan kami.     

Aku tersenyum senang. Padahal baru beberapa waktu lalu penuh tangis. Pak Hadi juga mengendarai si butut dengan santai.     

Kita terus melaju hingga gardu. Di sana terlihat bapak bapak sedang berkumpul. Aku yakin mereka adalah penjaga desa. Mereka terus memandangi kami. Aku mengangguk dan tersenyum tanda permisi. Mereka juga membalas senyumku.     

Kukira Pak Hadi akan berhenti sejenak. Namun ternyata Dia malah terus melaju. Apakah sopan jika seperti ini?. Ah sudahlah aku tidak mau terlalu memikirkan itu. Mungkin karena Pak Hadi sudah terbiasa lewat jalan ini.     

"Ini kampung masnya non.. saya akan tanya orang sekitar alamat yang pasti  rumah masnya non.."     

"Kenapa tidak tanya Bapak-bapak yang tadi di gardu pak?"     

Pak Hadi hanya diam membisu. Tak menjawab sepatah kata pun.Pak Hadi terlihat mengabaikan pertanyaanku. Sedikit meembuatkunpenasaran namun hanya bisa ku oendam dalam hati. Tidak tepat rasanya jika aku terlalu vokal menyuarakan rasa penasanku saat ini.     

Deru Si Butut pun berhenti di depan pekarangan sebuah rumah panggung yang mempunyai halaman cukup luas.     

Saya yakin Ia hendak masuk ke pekarangan rumah tersebut. Terlihat sepasang suami istri sedang bercengkerama di teras rumah itu. Laki laki paruh baya dan wanita yang cukup berumur. Duduk bersisihan di sebuah bangku. Sang laki-laki berulang kali  menghisap  rokoknya. Sementara asapnya tak terlihat karena dsri kejauhan begitu gelap, bara rokok di tangannya nampak memeberikan tanda.     

"Ayok non." Ajak Pak Hadi kepadaku.     

Aku sedikit terperanjat karena pikiranku sedang dipenuhi pertanyaan kenapa Pak Hadi tidak menjawab pertanyaanku tentang Bapak-bapak di gardu tadi.     

"Eh... iya pak.." aku segera tersadar.     

"Ini rumah teman lamaku. Jadi tidak usah khawatir. Saya akan bertanya kepadanya alamat rumah non."     

Aku hanya diam mengekorinya. Sampai akhirnya kami berada tepat di teras rumah ini.     

Cahaya remang-remang petromaks membuat wajah mereka terlihat sedikit pendar. Tapi cukup untuk ku mengenali raut wajah mereka. Di ganah Sumatera ini belum terjamah listrik. Orang yang memiliki lampu atau listrik hanyalah orang-orang yang sangat-sangat kaya. Itu pun mereka madih menggunakan tenaga diesel.     

Mereka tersenyum kepada kami. Khususnya pada Pak Hadi     

"Par.. assalamualaikum..." Begitu Pak Hadi memanggil temannya. Temannya yang ternyata sebaya Pak Hadi itu pun langsung terbangun dari duduknya dan menghampiri kami.     

"Wa alaikumsalam.. saudaraku. Apa kabar.. lama nian tak jumpa." Mereka berpelukan. Lalu aku bersalaman dengan yang wanita di sebelahnya yang kuyakini  adalah istrinya.     

"Kau dari mana? Hingga larut malam begini? Apa kau baik baik saja melewati pengkolan? Akhir-akhir ini sedang rawan."     

Kulihat Pak Hadi berusaha tidak menanggapi celoteh sahabatnya. Lagi, dan membuatku semakin penasaran. Dia malah mengganti topik pembicaraan. Temannya yang ternyata bernama Pak Paron itu memberikan rokok kepada Pak hadi. Lalu Pak hadi pun mulai menyulutnya dengan korek kayu di sebelahnya. Aroma tembakau menguar seiring hembusan asap dari mulut Pak Hadi. Aku hanya diam meskipun rasanya sesak napas.     

"Anu.. begini Par.. tadi sore aku mengantar anakku mau kerja ke Jakarta. Tadi kan ada kapal bersandar. Nah... Si Rama itu nampak berat untuk pergi. Padahal kapal sudah di depan mata." Panjang lebar tutur Pak Hadi mengalihkan pembicaraan.     

"Apa benar Di? Wah.. si Rama sudah dewasa sekarang agaknya. Dia bahkan sudah berani merantau ke Jawa." Jawab Paron     

"haha.. bagiku Dia itu masih kecil Par... harus terus dibimbing."     

Aku hanya mendengarkan percakapan mereka sambil duduk di samping Istri Pak Paron. Dan ternyata istri Pak Paron sedang membuatkan kami minuman. Aku meraba apa yang dikerjakan istri Pak Paron sedari tadi. Ternyata ia sedang memilih bulir kopi. Dengan ditemani suaminya dan cahaya sentir yang tidak begitu terang.     

"Siapa yang kamu bawa Di? Macam-macam kamu pulang- pulang bawa wanita." Pak Paron nampak menoleh ke arahku.     

Aku pun tersenyum sekenanya.     

"Hlah itu alasan aku kesini. Aku ketemu nona ini pas mengantar Rama. Dia baru turun dari kapal. Mau mencari alamat masnya katanya."     

Pak paron terlihat mangut-mangut.     

"Nama Masnya Sardi dan Kardi. Katanya juragan kayu. Lah kebetulan tinggal di sini. Orang Jawa"     

"Ohh. Pak Sardi... itu emang juragan.. rumahnya ada di tengah kampung. Sebelum perempatan kedua.. kiri jalan.. yang rumahnya sudah plesteran. Transmigran itu kan ya?" Pak Paron nampak bertanya padaku.     

Aku mengangguk membenarkan.     

Ternyata Mas Sardi cukup terkenal meskipun pendatang. Ya tentu saja itu kabar bahagia buatku. Artinya Aku tidak perlu khawatir tentang biaya hidup selama di sini. Haha...     

Rencanaku masih seperti awal aku berangkat ke tempat ini. Menjemput Simbok pulang ke tanah Jawa.     

Rasanya menjadi anak perempuan satu satunya seperti memberi tanggung jawab tersendiri. Ketiga masku memang sudah menikah. Tapi kebanyakan orang tua tidak terlalu senang ikut tinggal dengan anak laki laki beserta istrinya. Sungkan. Istilahnya.     

Mendengar kabar dari transmigran yang kebetulan pulang kampung. Bahwa Ibuku banyak mengalami hal tidak mengenakkan. Maksudku bukan yang aneh aneh. Hanya saja terdengar kabar bahwa beliau tidak kerasan tinggal serumah dengan masku dan istrinya. Dan membuat Simbok terkadang tinggal bersama saudaraku yang lain. Membuat aku miris. Hingga ku putuskanlah datang ke sini.     

Aku memaklumi kedua belah pihak atas kabar itu. Mungkin memang masku kurang perhatian. Wajar. Seorang laki- laki memang biasanya cuek. Istri Masku, mbak Ranti juga orangnya pendiam.  Apalagi ditambah Mas Kardi juga ikut tinggal di situ. Pasti sering cek cok dengan Mas Sardi.     

Dua bersaudara ini memang tidak pernah akur. Sejak saya kecil pun, yang merawat saya kebanyakan adalah Mas Mardi. Dia yang paling mirip kakak perempuan bagiku. Berbeda dengan Mas Sardi, kerjanya banyak marah dan mengomel. Engga jauh beda dengan Mas Kardu. Belum lagi kalau mereka berdua cek cok. Maklum umur mereka berdua hanya berjarak satu tahun.     

Akhirnya Pak Hadi mengantarku sampai depan Rumah kakakku. Seperti yang Pak Sardi katakan bahwa rumahnya adalah satu satunya yang plesteran atau sudah menggunakan semen. Berbeda dengan kebanyakan rumah di sekitar sini yang hanya berupa susunan lempeng.     

Berkat petunjuk arah dari teman Pak Hadi tadi. Maka di sini lah Pak Hadi memberhentikan motor bututnya.     

Nampak sinar redup dari lampu sentir  yang menembus kaca. Bagus sekali rumah ini sudah memakai kaca. Meskipun bukan kaca tembus pandang.     

Rumahnya berbentuk letter L. Sehingga pekarangannya lebih luas dan menjorok ke pintu belakang. Pekarangan depan nampak sempit dengan sedikit teras. Tapi karena yang kulihat lampu sentir dari kaca rumah bagian belakang maka aku langsung menghampiri sumber cahaya tersebut.     

Sampailah kami di depan pintu.     

TOK.. TOK..TOK..     

Pak Hadi mengetukkan tangannya.     

"Permisi..." katanya.     

Terdengar seorang dari dalam berjalan menuju pintu lalu berusaha membuka gerendel.     

"Siapa?"     

Dibuka lah pintu tersebut oleh orang yang sangat kukenal meski terbalut dalam siluet.     

Mbok. Batinku.     

Aku langsung saja memeluk beliau.     

"Owalah ndokk.. koe ko antepan temen..." (yaampun anakku, kamu kok berani sekali.)     

Beliau mengelus rambutku dan mengajakku masuk tidak lupa pak Hadi.     

Aku meletakkan tas lalu duduk dan menyandarkan punggungku yang terasa kaku. Ku persilahkan Pak Hadi duduk.     

Kami berhadapan. Sedangkan Ibu menaruh tas ranselku di kamar     

"Non.. itu Ibu non?."     

Aku tersenyum.     

      

"Iya pak.. Itu Ibuku."...     

Tiba-tiba aku jadi teringat pada orang-orang di Gardu tadi. Aku ingin bertanya lebih jauh kenapa Pak Hadi lalu saja tanpa memberi salam kepada mereka. Padahal sudah jelas mereka pasti orang sekitar sini. Tidak sopan kalau lewat saja.     

Namun Ibu muncul dari belakang membawa dua cangkir teh hangat.     

Aku pun mengurungkan niatku. Biarkan kutanyakan lain waktu saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.