PERNIKAHAN TANPA RENCANA

115



115

0Cakrawala telah menutup seluruh sinarnya. Sinar yang mulai bias dan semakin meremang. Sela-sela batang pohon semakin hitam. Tanah tak tampak lagi strukturnya. Kita berdua tidak tahu akan melewati apa didepan. Hanya roda yang terus menderu meraba-raba.     
0

Dalam kondisi seperti ini Pak Hadi masih tetap stabil menjaga keseimbangan motor. Wah sekali rasanya. Seperti sedang mengendarai offroad saja namun dalam keadaan buta. Cahaya motor saja yang akan setia kelak menemani perjalanan kami.     

Seperti tahu kondisi jalan Pak Hadi seolah tahu dimana lubang-lubang dan kubbangan juga akar yang harus Ia hindari atau menurunkan kecepatannya.     

Aku berpegangan semakin kuat pada hendel yang ada di samping jok motor. Tidak lupa kulafalkan semua doa yang kumengerti dalam hati. Di tempat mengerikan seperti ini bersama orang asing, Satu satunya yang aku butuh kan adalah perlindungan Tuhan. Berusaha ku tenangkan diriku sendiri.     

Beberapa waktu lalu kami melewati perkampungan. Memang sepi namun membuat hatiku sedikit tenang. Selang beberapa meter ternyata aku dikejutkan oleh jalan gelap lagi. Tiba-tiba rem motor berdecit dan motor pun berhenti dari perputarannya. Pak Hadi menoleh kepadaku. Meski gelap saya bisa tahu melalui siluetnya.     

DEG...     

Debar jantungku mencelus. Ada apa didepan sana. Kenapa Pak Hadi tiba-tiba menghentikan laju motornya.     

"Mba Santi, mulai dari sini tolong jangan bersuara. Sampai nanti kita bertemu dengan gardu yang ada cahaya petromaksnya. "     

Ahh Ya Tuhan. Aku kira ada hal yang menghalangi perjalanan kita. Ternyata Pak Hadi memperingatiku untuk mulai diam dari titik ini hingga ke depan sampai menemui sebuah gardu yang di hiasi cahaya petromaks. Tuturnya tadi.     

Begitu Pak hadi selesai bicara. Lalu aku pun hanya menganggukkan kepala. Pak Hadi pun kembali dengan sikap fokusnya meraba jalan didepan.     

Aku mengeratkan peganganku. Sekian menit lalu merasa lega bahwa kukira Pak Hadi akan melakukan hal aneh. Atau mungkin ada hal aneh yang tidak kuinginkan menghalangi perjalanan kami. Tapi detik saat motor melaju lagi aku mulai meresapi maksud wanti-wanti dari Pak Hadi.     

Di perjalanan sebelumnya, Pak Hadi berusaha menghapus kecanggungan di antara kami. Dia berusaha mencari topik baru agar perjalanan tidak membosankan. Dia berusaha membuatku percaya bahwa Dia akan membawaku ke tempat aman.     

Sekarang aku sudah tidak menemui keraguan lagi. Semua rasa itu sudah digantikan oleh kondisi yang mencekam ini. Kuserahkan nyawaku pada Tuhan melalui orang ini dan doa-doa perlindungan yang tidak putus.     

Suara binatang malam bersahutan di sana sini. Yang membuatnya terdengar mengerikan adalah suara-suara tersebut menggema oleh keheningan malam belantara. Udara malam juga semakin tidak bersahabat. Ia memperburuk keadaan mencekam ini.     

Menelusuri jalan di tengah pokok- pokok besar membuat mata yang memandang bergidik ngeri juga. Belum lagi Pak Hadi yang tampak tergesa gesa. Motor yang kami naiki seolah menderu ingin cepat sampai.     

Aku bisa menebak bahwa ada hal yang Pak Hadi tidak sampaikan kepadaku. Mungkin tidak sempat atau mungkin takut membuat aku khawatir. Sudah terbaca jelas dari sikapnya.     

Suara motor butut ini kian menderu. Membelah lautan pohon yang mungkin belum terjamah oleh tangan-tangan nakal pembabat hutan. Suara si butut inilah yang mendominasi perjalanan kami selain suara binatang malam. Terkadang angin juga menerpa dan membuat suara yang begitu aneh. Kayu-kayu bergesekan dan semakin membuat suasana menyeramkan.     

Tapi aku hanya diam sekalipun takut setengah mati. Aku tidak mau kepanikanku malah membuat bencana untuk kita berdua. Aku menuruti perintah Pak Hadi dengan cermat. Aku tidak akan melanggarnya sekalipun tidak sengaja.     

Perjalanan yang terasa lebih lama bahkan jika dibandingkan perjalananku dari Jawa menuju pelabuhan. Suasana mencekam memperburuk segalanya.     

Sampai akhirnya motor yang kami naiki menabrak sesuatu. Kami pun tumbang. Aku berteriak dan melanggar ultimatum Pak Hadi. Aku ketakutan setengah mati. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak merasakan sakit lagi. Seluruh tubuhku bergetar hebat.     

Aku melupakan doa-doa yang kurapal sejak tadi. Aku menangis. Lalu sebuah tangan meraihku. Aku menjerit, beruntung itu adalah tangan Pak Hadi. Dia berusaha menenangkanku namun kukira gagal. Dia menyembunyikan Aku di belakan tubuhnya dari segerombol orang yang kukira adalah begal malam.     

Tiba-tiba tawa bergema dari mereka. Sebuah benda panjang di todongkan kepada Pak Hadi. Aku semakin tidak karuan. Pak Hadi tetap memegang erat tanganku.     

"HAHAHAHAHA...."     

Tawa dari salah satu kelompok itu bergema. Aku yakin mereka berhasil menunjukkan sisi superior kelompok mereka. Aku semakin ketakutan setengah mati. Namun Pak Hadi tampak tak gentar sekalipun kalah jumlah. Dalam keadaan seperti ini kami dirugikan dalam segala hal.     

Seperti yang dikatakan Pak Hadi beberapa waktu lalu dipinggir Sungai Musi tatkala kita pertama bertemu. Bahwa seseorang yang dibegal dan mati mayatnya akan dibuang ke Sungai Musi dan tidak akan mereka tinggalkan jejak apa pun. Aku takut hal itu terjadi pada kami.     

Si ketua begal itu tampak mendekat. Bunyi daun kering diinjaknya tampak jelas bahwa penyamun itu mendekat ke arah Pak Hadi. Aku gemetar bukan main. Namun Pak Hadi menggeram, bukti bahwa Ia melawan.     

Srek srek srek     

Aku yakin jarak kami tak terpaut jauh.     

"Serahkan semua barang barangmu." Kata si Ketua Begal.     

"Aku tidak akan menyerahkan apa pun sekalipun aku membawa barang berharga." Tegas Pak Hadi geram.     

"Kau mau mati HAHH..!!" Dia menjambak rambut Pak Hadi hingga tubuhnya hampir terangkat.     

"Aghh..." Teriak Pak Hadi kesakitan lalu Ia dilempar ke anggotanya.     

Kemudian mereka menghampiriku yang tak terlindungi lagi oleh tubuh Pak Hadi.Begal itu berjalan selangkah lagi mendekatiku yang semakin membuat tubuhku gemetar hebat.     

Di dunia ini katanya bahkan Tuhan mengabulkan doa orang kafir. Orang yang tidak mengimani-Nya. Di dunia laknat ini bahkan Tuhan mendengar jeritan para pelacur. Di dunia ini Tuhan digambarkan dengan rasa kasih-Nya yang tak ter tandingkan.     

Karena itu, kupejamkan mata ini. Dan kukatakan pada-Nya dari dalam hati.     

"Tuhan, beri aku hidup. Namun jika hari ini namaku ada di catatan salah satu malaikat penjemput MU. Maka kumohon kabulkan permintaanku. Kumohon pertemukan aku dengan ibuku terlebih dahulu. Sebelum aku dikebumikan."     

Kukira seputus asa ini diriku. Kakiku yang gemetar tidak akan mampu membawaku lari. Pak Hadi yang aku percayai untuk melindungi sekarang terkapar di antara mereka. Aku hanya memasrahkan diri dengan berurai air mata.     

Ketua Begal terasa sangat dekat di hadapanku. Meski hanya siluet yang kulihat. Nafas kasarnya terdengar menderu. Lalu ia mencengkeram rahangku dengan kuat.     

"HAHAHA..." Dia tertawa lagi.     

Sekejap kemudian tangannya berpindah dari rahangku menuju payudaraku. Aku terperanjat. Aku berteriak karena kaget. Aku yang tadi ketakutan menjadi geram.     

"APA YANG KAMU MAU!"     

Aku mundur selangkah dari raihannya. Kukatakan dengan lantang dan bergetar tanda bahwa aku tidak akan menyerahkan diri begitu saja.     

"Ternyata kau perempuan. HAH! Ahahahahhahaha". Mereka kompak melecehkanku.     

Tuhan tidak menjawab doaku secepat yang kuinginkan. Aku menjadi putus asa akan nasibku selanjutnya. Para Begal ini seolah menikmati rasa takutku. Tawa mereka bergemuruh seolah aku adalah mainan baru untuk mereka.     

Salah satu begal itu mendekatiku lagi. Aku memalingkan muka. Meski tahu tak akan terlihat rupaku. Kupeluk erat tas yang telah kupindah dari punggungku ke depan dadaku.     

"Hai nona.. jangan lah jual mahal... aku tahu kau juga ingin kan.... ahahahahaa..." Racau salah satu Begal. Yang aku yakini dialah ketuanya.     

"APA MAKSUD MU!" Ketusku dan tak ingin memberikan celah apa pun.     

"Ayolahhh... jangan pura pura tidak tahu... ayo kita sedikit bermain." Dia mulai menyentuh pundakku dan hendak melucuti kaosku.     

"SIALAN!!!" Aku memukul se kenanya. Dan mengenai wajahnya. Nampak giginya meringis dan suara kesakitan.     

CUIHHHH. Dia meludahiku kemudian menjambak rambutku. Aku merasa kesakitan.     

"Sialan Kau JALANG! hidupmu ditanganku tapi kau berani menamparku! hah!!"     

Kemudian dia hendak mencekikku. Nampak nya Dia kesal dengan perlawananku. Tangan kanannya menuju leherku. Dan sampailah Ia menyentuh titik yang bisa membunuhku detik itu juga.     

Nadiku bergemuruh. Kupikir kejam sekali Tuhan jika Ia membuat sekenario hidupku seperti ini. Mati ditangan para begal dengan cara yang sangat tragis dalam perjalanan menjemput Ibuku.     

Terlihat wajah ayah dan ibu waktu aku kecil dulu. Kita berjalan bersama menuju sawah garapan ayah. Ayah tersenyum dan sesekali menggodaku dalam gendongannya. Ibu membawa bakul nasi untuk makan siang kita kelak.     

Suasana tanah kelahiranku yang tak akan kulupakan. Tempat di mana aku akan kembali ke mana pun jauhnya aku pergi. Tempat aku tumbuh bersama ketiga masku dan satu adikku.     

Mas Mardi menggendongku dipunggungnya. Menyuapiku nasi jagung. Kita berlari lari tanpa beban. Mas Sardi dan Mas Kardi yang selalu bertengkar meski masalah kecil. Dan adik bungsuku Wisnu yang masih bayi.     

Di tanah latar dengan rumah gubuk. Di bawah sinar purnama penuh. Keluargaku yang dulu sempurna sebelum ayah meninggalkan kita. Tanah hibah atau bengkok peninggalan kakek perlahan habis karena ibu tidak pandai mengelola sehingga mudah ditipu.     

Aku yang masih terlalu kecil memahami keadaan itu. Kasih sayang seolah lenyap sepeninggal ayahku. Semuanya menjadi sibuk memikirkan hidup masing-masing. Aku dan adik kecilku hanya terumbang ambing di antara permasalan orang dewasa.     

Masa lalu yang melintasi pikiranku. Seolah menjadi ucapan selamat tinggalku pada dunia. Untuk yang terakhir kali aku memohon pada Tuhan...     

"Tuhan.. selamatkan aku...."     

Mataku masih terpejam. Inikah akhirat?. Ternyata mati tidak sesakit yang kurasakan. Apa di akhirat juga bernafas? Kenapa aku masih bernafas seperti orang hidup?.     

Lalu kuyakinkan untuk membuka mata. Perlahan lahan namun yang kutemui hanya gelap, gelap dan semakin terbuka semakin gelap. GUSTI!.Hari hampir habis. Aku tahu jingga di ufuk sana pasti senja. Bukan lagi matahari sedang terbit. Karena aku telah melewati hari yang begitu terasa panjang. Aku tidak tahu pasti arah mata angin. Kecuali melalui cahaya cakrawala yang sepanjang siang hari menemani perjalananku.     

Perjalanan dalam menjemput Simbok yang sempat terhenti tadi. Karena saking senangnya aku bertemu dengan dua laki-laki yang bisa kuajak bicara. Berbuah manis pada penawaran dari sosok bernama Pak Hadi kepadaku untuk suka rela mengantarkan aku ke alamat rumah Mas Sardi. Dengan syarat yang sedikit aneh yaitu agar aku tetap bisu selama perjalanan.     

Beliau bilang bahwa tempat yang aku tuju searah dengan rumahnya. Bahkan lebih dekat dibanding perjalanan ke rumahnya. Karena aku tidak tahu maka aku hanya mangut-mangut saja.     

Sebenarnya aku ingin menolaknya dengan alasan aku akan cari tempat penginapan. Namun menoleh ke belakang aku lihat pasar sudah bubar bahkan lapak-lapak tinggal alasnya saja. Setelah kuingat ternyata kapal sudah 30 menit yang lalu berlabuh. Iya, bertepatan dengan lambaian tangan anak Pak Hadi.     

Aku memahami permintaan Pak Hadi bahwa selama perjalanan aku harus tetap bisu. Maksudnya adalah aku harus diam dengan segala kondisi yang akan aku temui di perjalanan nanti. Mengingat yang akan aku lewati adalah hutan belantara. Masih tersimpan sejuta misteri dan keanekaragaman hayati serta hewaninya.     

Tidak banyak basa-basi. Aku mengiyakan syarat dari Pak Hadi. Meskipun Aku terdiam sejenak untuk berpikir apakah aku harus meneruskan perjalanan dengan orang asing ini.     

"Mba pertanyaan saya membuat mba takut ya,?"     

Pak Hadi menatapku tanpa menuntut.     

Aku menatap Pak Hadi balik dan memberi jawaban iya.     

"Begini mb Santi, mba kan bilang tadi sudah biasa merantau. Tapi saya yakin ini pertama kalinya mba datang ke sini. Jadi setiap tempat pasti ada tata kramanya ya kan mba? Nah itu maksud saya. Yang akan kita lewati ini bukan pemukiman, bukan juga perkotaan tapi hutan yang masih asri. Ya kita sebagai pendatang sebaiknya bersikap sebagaimana pendatang. Apa lagi mba orang Jawa pasti lebih mengerti lah perihal tata krama."     

Panjang lebar Pak Hadi berusaha memberi pencerahan terhadap pandanganku pada kalimat ajakan Pak hadi beberapa menit yang lalu.     

Saya berusaha menimbang-nimbang. Keputusan mana yang harus saya ambil. Apakah mengikuti saran Pak Hadi yang merupakan orang asing. Atau berjalan mencari penginapan.     

Tapi kalau dipikir sih benar juga yang dikatakan Pak Hadi. Rumah aja masih jarang jarang apalagi penginapan. Belum lagi sudah mulai gelap, sementara di sini kan belum ada penerangan. Di Jawa aja belum merata apalagi di Sumatera ini.     

"Iya Pak. Saya ikut Bapak." Saya berusaha memantapkan hati. Semoga Pak Hadi benar-benar orang baik.     

Pak Hadi tersenyum ramah. Mungkin beliau lega. Akhirnya aku percaya dan mau mengikuti sarannya.     

"Iya nanti kalau sudah masuk kampungnya kita cari bareng-bareng. Nanti mungkin sudah gelap gulita. Tapi enggak apa-apa. Ada lampu motor. Atau nanti tanya orang." Begitu tutur beliau sebelum akhirnya kita berdua menghilang menuju hutan yang lebih dalam. Menjauh dari Musi yang mengantarku kepada keberadaan simbok.     

Agak mengerikan sebenarnya berjalan di tengah hutan meskipun masih diikuti sinar matahari sore. Malah semakin menyeramkan dengan penampakan siluet pepohonan besar di kanan kiri kami.     

Perjalanan tampak lebih lama karena medan yang jelas amburadul. Motor Pak hadi ini memang butut. Tapi mesinnya tahan banting. Begitu kata Pak Hadi selama perjalanan. Aku merasa lega mendengarnya. Setidaknya, aku tidak perlu khawatir akan ada peristiwa mogok.     

Ternyata benar yang dikatakan Pak Hadi pasal motornya tahan banting meskipun butut. Sudah hampir satu jam perjalanan tapi tetap masih gas full.     

Aku berusaha menikmati perjalanan. Sekalipun aku merasakan punggungku pasti semakin rontok setelah ini. Setelah menaiki speed boat yang bikin retak tulang. Sekarang harus melewati medan yang aduhai. Berliku-liku penuh jebakan alam.     

Selain jalan setapak yang tentu saja tak ber-aspal. Kita menemui banyak sekali rintangan. Mulai dari ranting, kubangan lumpur bekas badak dan babi, jalan licin, bahkan saya dibuat ketawa oleh sekawanan babi yang melintas. Dari dua babi dewasa dan empat anak anaknya yang masih kecil.     

Semuanya adalah momentum langka yang tidak pernah kutemui di Jawa. Pak Hadi yang mengetahui bahwa sebenarnya saya masih punya rasa takut berusaha memecah suasana. Bercerita sepanjang jalan dan aku menjadi pendengar setianya. Itulah kenapa aku bisa tahu kubangan lumpur badak.     

"Apa yang terjadi kalau kita ketemu hewan buas pak. Apa yang harus kita lakukan?" Saya bertanya pada pak Hadi karena penasaran.     

"Hewan tidak akan menyerang kalau mereka tidak dipancing mba. Kalau mereka masih merasa aman mereka pasti memilih pergi. Bahkan hewan cenderung malu dan takut dengan manusia. Manusianya aja kadang yang usil. Orang kita hidup masing-masing kok."     

Aku mangut-mangut mencerna yang Pak Hadi jelaskan.     

Kita sudah melewati beberapa perkampungan yang tampak sepi sekali. Namun aku melihat beberapa orang tadi didepan rumah mereka. Rasa aman mulai menyelimuti hatiku. Akhirnya masuk perkampungan sekalipun terlihat sepi. Artinya aku tidak di bawa ke tempat aneh. Dan Pak Hadi benar-benar orang baik.     

Kata Pak Hadi dulu saat pertama kali menjejakkan kaki di Palembang juga karena bedol desa. Seperti Mas Sardi . Beliau juga merintis hidup dari nol hingga akhirnya punya istri dan anak yang kedua dan berhasil memiliki usaha kayu lapis kecil kecilan. Tidak beda dengan Mas Sardi yang kini menjadi pengepul kayu gelondongan dan punya pegawai.     

"Pak..." Aku berusaha memecah keheningan.     

"Apa dulu tidak takut disuruh jadi transmigran ke sini. Kan ngeri pak.. hutan gede begini. Aku aja disuruh ikut kakakku tidak mau."     

Suaraku terdengar sayup-sayup membelah belantara.     

Di sini bahkan berbisik bisa menggema. Namanya juga alam bebas dan masih asri. Tidak kaget.     

"Di Kampung saya lebih takut mba.. masa krisis seperti ini.. apa-apa mahal punya sedikit dihina. Punya banyak cek cok sama saudara. Hla ya sudah saya putuskan hidup sendiri sama keluarga kecil saya..." Begitu jawab Pak Hadi dan membuat saya berpikir panjang dalam perjalanan.     

"Memang pak Hadi asalnya dari mana pak?"     

Terdengar Pak hadi sedikit tertawa.     

"Masa mba ini tak paham dengan logat saya?" Jawab Pak Hadi dengan logat yang semakin kental saja dengan daerah asalnya.     

"Madura bukan pak?" Tanyaku memastikan.     

"Nah itu tahu mbak.."     

"Jauh-jauh ke sini pak...pak... nyari apa.."     

"lhoo. Mba Santi Ini apa enggak tahu, orang Madura itu rata rata merantau. Kita tak suka diam dirumah."     

"Iya juga ya pak, ngapain dirumah aja wong kalau merantau bisa cari kehidupan." Aku membenarkan ucapan Pak Hadi sekaligus berusaha suportif.     

"Tapi kalau orang Jawa kan setahu saya lebih suka dirumah mba santi. Kenapa mba santi ini malah suka merantau?"     

"Ah kata siapa pak?"     

"Itu , kan ada peribahasanya makan ndak makan yang penting ngumpul. Benar kan?"     

"Ah bapak ini, itu kan orang jaman dulu. Hla manusia kalo engga makan ya lapar to pak, kok dipaksa ngumpul."     

"Hahaha"     

Pak Hadi tertawa lepas mendengar penuturanku yang mematahkan stigma orang -orang luar Jawa terhadap orang Jawa.     

___Di hutan kita kembali pada akal dan iman__     

Ralph Waldo Emerson     

 Akhirnya Aku memutuskan untuk menjemput Ibuku di tanah ini. Badanku terasa nyeri setelah perjalanan yang begitu panjang juga melelahkan. Terakhir kali, aku bahkan harus menaiki speed boat kayu. Ternyata naik speed boat kayu lebih parah dari naik motor di jalan yang rusak. Atau lebih tepatnya sama seperti naik traktornya milik Pak Bahu di kampung.     

Bukan cuma pantat yang terentak karena kecepatan perahu tapi seluruh tubuh terasa hampir terbang. Aku sampai memegang erat bangku supaya tubuhku tidak terpental ke sungai. Untung saja aku tidak mabuk sungai.     

Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Sumatera. Berbekal secarik alamat dari Mas ketigaku, Mardi. Sampailah aku di sini sekarang. Tepi sungai Musi. Ya, sungai yang terkenal semenjak pembangunan jembatan Ampera itu. Kini semakin ikonik dan mulai dikenal oleh masyarakat Jawa.     

Apalagi semenjak Presiden Suharto memerintahkan transmigrasi besar besaran. Sebagian masyarakat Jawa semakin mengenal Pulau Sumatera.     

Masalahnya adalah, Aku awam sekali dengan tempat ini. Sekalipun aku terbiasa merantau ke tempat yang jauh dan asing. Akan tetapi tempat ini benar- benar berbeda. Sungguh Asing dan tidak bersahabat kurasa. Selain itu mereka berbahasa aneh atau mungkin aku memang yang baru pertama kali mendengar bahasa mereka.     

Bukan bahasa Indonesia seperti yang biasa kudengar saat berbincang dengan istri Mas Mardi. Tentu saja beda, istri Mas Mardi orang Bekasi sedangkan mereka orang melayu.     

Bahasa mereka disebut bahasa melayu. Bahasa yang sebenarnya orang Jawa kenal namun asing ditelinga karena tidak terbiasa menggunakannya. Setiap orang Jawa berbicara dengan bahasa Jawa dan Indonesia. Bahkan bahasa Indonesia saja tidak semua kalangan tahu. Biasanya mereka yang mengenal bangku sekolah yang akan fasih menggunakannya.     

Bahasa Jawa saja sudah beraneka ragam. Dari satu kampung ke kampung lain sudah beda ciri khas atau dialek. Apalagi kalau antar kota sudah bisa beda arti. Betapa kaya bahasa Indonesia ini.     

Aku masih belum tahu harus ke arah mana. Aku hanya berjalan dan diiringi pedagang dadakan di kanan dan kiri. Karena setahuku seharusnya ada tukang ojek di sini. Tapi aku malah menemukan orang-orang sedang sibuk bertransaksi dengan dagangannya. Semacam pasar namun tidak ada satu pun bangunan di sini. Mereka seperti membuka lapak dadakan di sini. Hanya menggelar alas bahkan ada yang hanya dengan daun pisang seadanya lalu menaruh dagangan di atasnya.     

Kuperhatikan wajah-wajah yang sedang bertransaksi itu satu persatu. Kupaksakan diri untuk berusaha mencerna perkataan mereka. Jika masih satu negara seharusnya ada bahasa setidaknya kata yang aku mengerti sekalipun satu. Aku berjalan pelan. Mendengarkan nada-nada sumbang dari cara bicara mereka yang terdengar aneh. Tidak peduli orang tergesa gesa menyenggol tubuhku hingga aku terhuyung. Aku hanya merasakan seperti kuhentikan waktu untuk saat ini.     

Seorang ibu dan anaknya. Seorang Bapak yang sedang memotong ikan-ikan yang terlihat masih sangat segar. Seorang anak yang antusias bermain gundu. Semua ini adalah kehidupan yang kulihat saat ini.     

"Aghhhh..." Aku menggelengkan kepala dan kuacak rambutku dengan frustrasi.     

Aku benar-benar tidak memahami bahasa mereka. Terlalu cepat dan terlalu asing. Lalu bagaimana caraku meminta tolong jika begini. Batinku meracau dan terus mencari-cari adakah orang yang bisa kumengerti bahasa bicaranya. Sehingga bisa ku mintai pertolongan.     

Sampai diujung pasar aku mendengar suara laki-laki paruh baya. Sontak aku menoleh ke arahnya. Bergetar hatiku semringah menyadari bahwa aku memahami apa yang dua orang itu bicarakan.     

Terlihat dua laki-laki sedang berbicara. Yang paruh baya di atas motor satu lagi yang ku taksir seumur adik bungsuku Wisnu. Terdengar seperti seorang ayah yang sedang membujuk anaknya. Kulihat tas ransel dipunggung anak itu.     

"Kalau kau tak segera naik kapal itu. Kau tak akan sampai seberang sampai bulan depan. Kau tahu, speed boat tak akan mengantarmu ke sana." Kata lelaki itu kepada seorang pemuda yang terlihat malas mendengarnya serta menenteng sebuah tas.     

Bapak tadi menoleh ke arah ku. Mungkin karena dia merasa diperhatikan. Aku hanya tersenyum guna menghormatinya.     

"Anakku dapat panggilan kerja, tapi dia terlalu takut menapaki Jakarta. Apalah Jakarta, sama kerasnya kan dengan hutan belantara di sini." Kata bapak itu basa basi padaku.     

Aku mendekati mereka berdua.     

"Hei nak... yang penting hidup merantau itu kamu pandai jaga diri, jaga tata krama, dan tidak mudah terpengaruh. Artinya jangan mudah percaya sama orang. Saya juga bolak balik Jakarta. Kakak saya dapat orang sana."     

Aku menjelaskan kepada anak dari bapak ini bahkan sebelum aku mengenal mereka.     

Sang Bapak tampak setuju dengan ucapanku. Raut wajah anak itu terlihat membaik dari pertama kulihat. Lalu dia pun salim dengan bapaknya.     

Saya sempat mengelus pelan rambutnya. Melihatnya membuat ku teringat adik bungsu ku di Jawa. Lalu dia tersenyum dan pergi ke arah kapal. Dari kejauhan Ia melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk ke dalam kapal dan lenyap.     

Aku pun berbalik untuk melanjutkan perjalananku. Yang sebenarnya aku tidak tahu harus ke arah mana. Aku hanya berpikir jika aku lelah aku akan istirahat. Di sini bahkan tidak kutemukan plang penunjuk arah sama sekali.     

"Ehh... mba mau ke mana.? Saya kan belum bilang terima kasih sama mba." Bapak tadi menahan langkah kakiku.     

Aku pun tersenyum padanya.     

"Saya masih harus melanjutkan perjalanan pak. Tidak perlu terima kasih Pak,wong saya tidak melakukan apa pun."     

"Lo mb ini.. tadi lho anak saya kayak enggak mau berangkat. Gara-gara omongan mba Dia jadi semringah lagi."     

Si Bapak merasa berterima kasih atas ucapanku yang padahal tidak berarti apa pun. Malah itu sebenarnya adalah cara untuk menghibur diriku sendiri dari tempat asing ini.     

"Tidak apa-apa Pak.. jangan sungkan . Sebenarnya saya juga punya adik laki-laki di Jawa. Jadi melihat dia seperti melihat adik saya sendiri. Apalagi sebenarnya saya dari tadi berusaha mencari orang yang kumengerti omongannya. Jadi mendengar bapak ngomong langsung nimbrung." Aku terkekeh sendiri.     

Si Bapak malah semakin tertarik dengan percakapan kita. Percakapan kita pun menjadi semakin panjang.     

Aku menyodorkan secarik kertas berisikan alamat yang ditulis oleh Mas Mardi sepekan yang lalu. Pak Hadi begitu tadi beliau memperkenalkan diri tampak paham betul dengan alamat yang tertulis. Ia mengembalikan kertas itu lagi kepadaku.     

"Saya bisa antar mba. Gratis. Tenang saja. Karena memang alamat rumah mba itu searah dengan jalan pulang saya."     

Aku mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan Pak Hadi. Dalam hati aku merasa lega namun ada sedikit curiga. Lalu Pak Hadi melanjutkan bicaranya.     

"Tapi mba, mba kan baru pertama kali kesini, sekarang ini sudah hampir petang. Apa mba bisa janji untuk tetap bisu selama perjalanan.?"     

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan Pak Hadi terdengar konyol namun tatapannya begitu serius.     

_Dunia ini adalah cermin raksasa, mencerminkan siapa diri Anda. Jika Anda penuh kasih sayang, jika Anda ramah, jika Anda suka menolong, dunia akan penuh kasih sayang, ramah dan suka menolong Anda. Dunia adalah siapa diri Anda. _Thomas Dreier     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.