PERNIKAHAN TANPA RENCANA

32.Amarah



32.Amarah

0Yoso kembali ke dekat pohon asem dini hari itu. Seekor ayam telah berkokok padahal masih terlalu dini. Kakinya melangkah dengan pasti di tanah basah berkat hujan deras yang baru saja mengguyur.     
0

Tangannya memegangi cangkul yang terslampir di pundaknya. Dalam benaknya, Ia akan menyelesaikan kekacauan ini dengan diam.     

Tanpa suara agar siapa pun tak mengetahui kejadian ini. Ia akan memendam peristiwa kelam ini sendirian. Sehingga Ia dapat terus melanjutkan kehidupannya.     

Namun, Ia tak menemukan apapun di sini. Di bawah pohon asem beberapa waktu lalu tergeletak tubuh Sanem. Dan sekarang tak ada seorang pun kecuali pakaian yang di kenakan sanem.     

Tubuh Yoso terduduk ke tanah. Ia terkejut stengah mati. Sebagian perasaan takutnya mulai menggerayanginya.      

Ia kemudian meraih pakaian Sanem. Dengan celingukan Ia memasukkan baju itu kedalam bajunya. Sehingga tak ada seorang pun yang melihatnya.      

Ia tak berniat pulang. Lebih tepatnya Ia tak mampu menghadapi kegusarannya sendiri. Siapakah yang sudah mengambil jasad Sanem. Apakah ada yang mengetahui perlakuannya terhadap Sanem?.     

Ia terus melangkah. Sampai akhirnya Ia berada di depan Hutan Peteng. Namun Ia terus melangkah, menerobos semak demi semak. Tak peduli apa yang Ia tabrak di hadapannya.     

Sampailah Ia jauh ke tengah hutan. Ia lalu membuang baju milik Sanem sembarang. Tak ada cahaya yang meneranginya kecuali rembulan yang redup.     

Sehingga berkali-kali Ia terjatuh. Lalu berjalan dengan terseok-seok.     

Sampailah Yoso di rumahnya saat subuh tiba. Ia segera membersihkan tubuhnya dsri tanah dan dedaunan yang menempel di tubuhnya.     

Pakaian yang Ia kenakan lalu Ia buang ke dalam sumur. Sehingga tak akan ada seorang pun yang tahu. Bahwa semalam Ia berada di lura rumah.     

Ia akan berpura-pura bahkan kepada ibunya kelak jika ibunya sudah bangun. Bahwa semalam tak pernah terjadi apa pun.      

Ternyata ibunya masih tertidur di ruang tamu. Ia pasti menunggu kepulangannya. Mulailah saat itu Ia melancarkan aksinya. Meski terlihat sedikit tidak percaya. Namun Ibunya terlihat seperti tidak terlalu mempermasalahkan soal semalam.     

Namun, mimpi buruk Yoso pun sedang di mulai dari hari itu juga.     

Karsin terbangun, Ia masih terkapar do atas rerumputan beratap rerimbunan dahan Pohon akasia yang menjulang tinggi dan besar. Cahaya matahari bersilauan di matanya yang menghadap lurus ke langit namun tertutup dahan.     

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Mencoba menyadarkan dirinya. Hatinya masih bergemuruh diantara kesadaran yang masih belum penuh.      

Sanem. Kekasihnya yang selalu ayu di matanya itu baru saja di sisinya. Membicarakan hal aneh yang sama sekali tak ia mengerti. Tapi kini sosoknya tak ada lagi di sini.      

Kecuali sebuah kain yang Ia tinggalkan di pelukannya. Sebuah kebaya berwarna biru dan jarik lurik yang Ia kenakan terakhir kali.      

Karsin menangis sejadi-jadinya. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Sanem terasa berputar-putar di kepalanya. Ia tak bisa trrima ini. Ia tak bisa jika harus berpisah dengan cara seperti ini.     

Karsin berjingkat bangin dari rebahnya. Amarahnya membumbung tinggi hingga ke ubun-ubunnya. Laki-laki itu, laki-laki biadab yang sudah melakukannya kepada Sanem hingga semuanya menjadi seperti ini. Dia harus mendapat balasannya. Harus.     

Waktu itu seseorang memberitahukan kepadanya. Bahwa ada seorang laki-laki yang mengutarakan perasaannua kepada kekasihnya. Laki-laki itu adalah Yoso. Namun Karsin hanya bergeming.  Tak memanggainya. Ia tahu, Sanem memang gadis yang banyak di cintai laki-laki. Karena itu, Ia tidaklah kaget mendengar kabar itu. Ia juga tidak pernah mempermasalahkannya. Semua bukan salah Sanem yang cantik, dan semua bukan salah mereka yang jatuh cinta padanya.     

Setahu Karsin, tak ada yang berani menyentuh wanitanya barang sehelai rambit pun. Sanem iu gadis yang sangat tegas. Ia punya pendirian. Ia akan menolak jika tak menginginkannya. Ia akan menerima jika menginginkannya.     

Sanem tidak pernah mengecewakan Karsin dalam hal apa pun. Ia selalu membuat Karsin kagum dengan pesonanya. Ia tidak tahu bahwa Sanem akan dikalahkan oleh manusia biadab seperti Yoso.     

Tidak. Sanem kekasihnya itu tidak pernah kalah. Ia hanya tidak dikaruniai oleh tenaga sebeanyak lelaki seperti Yoso. Sehingga Ia gagal melindungi dirinya sendiri.     

Karsin berjalan dengan tergesa-gesa. Dalam benaknya Ia ingin ceat sampai. Amarahnya, rasa kesalnya, rasa putus asanya menyatu dalam kepalan tangannya yang kelak akan Ia hantamkan di wajah Yoso samai hancur seisinya. Ia tak punya kesabaran untuk manusia biadab seperti Yoso.     

Di tengah jalan menuju arah  rumah Yoso. Anak-anak kecil berlarian riang.      

"ORANG GILA. ORANG GILA. ORANG GILA."      

Mereka serentak berteriak mengejek seseorang dengan sebutan orang gila. Ah, Karsin tak punya waktu untuk memperhatikan hal semacam itu. Ya memang orang yang terlihat tidak waras berjalan di belakang mereka.      

Karsin berlalu melewati mereka. Aroma tak seda menguar saat melewati orang gila tersebut. Mungkin dia tidak pernah mandi semenjak gila. Karsin segera menjauhkan diri dan fokus pada tujuannya.     

Sampailah Karsin di rumah Yoso. Tanpa salam. Ia menggedor-gedor pintu rumahnya. Dengan suara yang keras dan nada yang penuh kemarahan.     

"YOSO! KELUAR KAMU! YOSO BAJINGAN. KELUAR KAMU! HADAPI SAYA!"     

Seseorang tampak berjalan  keluar dengan langkah yang lemah. Rambutnya tergerai kusam, panjang dan bergelombang. Matanya sedikit cekung dan memggelambir di bagian bawahnya. Nampak uban di sela-sela belahan rambutnya.     

Tatapannya tampak lemah. Sepsrti manusia tanpa harapan dan kemauan. Ia terlihat menua sebelum umurnya.     

Karsin yang semula menggebu-gebu menjadi Iba. Ia memelankan suaranya dan menurunkan emosinya.     

"Saya ada urusan dengan Yoso. Di mana dia?" Ucap Karsin tanpa basa-basi dengan suara yang lemah dari sebelumnya.     

"Duduk dulu... silahkan."     

Wanita tua itu uang diketahui adalah ibunya Yoso sudah menjatuhkan pantatnya di kursi yang terbuat dari rotan itu.     

Akhirnya Karsin pun mengikutinya. Mereka berhadap-hadapan. Wanita itu menatap Karsin dengan lemah. Sementara Karsin masih memendam amarahnya.     

"Ada apa nak... ada urusan apa dengan Yoso." Tanyanya.     

"Sudah! Aku tidak bisa basa-basi di sini. Aku butuh Yoso sekarang." Ucap Karsin mulai marah.     

"Iya. Karena itu saya di sini. Karena saya yakin kamu tidak akan bisa berbicara dengannya." Ucap Ibunya Yoso. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca.     

"APA MAKSUDNYA! APA DIA KABUR? BERANI-BERANINYA DIA SETELAH MENJADI PEMBUNUH! SETAN ALAS!" Sumpah serapah Karsin membuat ayah Yoso juga keluar. Baik ibu dan ayahnya Yoso pun terlihat terkejut. Mereka menatap Karsin nanar dengan tatapan penuh pertanyaan.      

Air mata wanita itu pun keluar. Ia teringat kembali malam hari dua bulan yang lalu. Ketika itu ia terbangun dari tidurnya karena terdengar derit suara dari pintu belakang. Ia kira seorang maling memasuki rumahnya. Namun itu ternyata adalah Yoso.     

Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar Ia yakin itu adalah anaknya, meski kemudia Ia berlari dan membawa sebuah cangkul.     

Iya malam itu Ia mengira mimpi. Namun kenyataannya, itu mungkin berkaitan dengan kedatangan pemuda yang penuh amarah ini.     

"Maksud mu dengan kata membunuh apa nak?" Tanya ayah Yoso pada Karsin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.