PERNIKAHAN TANPA RENCANA

37.SEBUAH MIMPI



37.SEBUAH MIMPI

0Duminah bercucuran air mata. Ia tak kuasa menahan keresahannya sendirian. Suaminya memelukanya supaya melunturkan kegelisahan istrinya itu. Namun tak berarti apa pun. Duminah tetap merasa bahwa kehidupan ini kejam padanya. Dan ia di paksa untuk menerimanya.     
0

"Tidak Mas. Aku benar-benar serius." Ucap duminah dengan sorot mata tenang namun berarti sebuah keseriusan. Ayah lalu melepas pelukannya. Ia menatap lekat-lekat istrinya itu. Ia tak menemukan sedikit pun keraguan dalam mata sembabnya.     

"Ada apa Dum, kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Ayah.     

"Aku bukannya berubah pikiran Mas. Aku memang tak pernah mengatakan setuju." Duminah berkata dengan sedikit bergetar. Ia lalu duduk di kursi di mana itu adalah tempat biasa mereka makan.     

Ayah mendesah dengan keras. Rasanya pikirannya tiba-tiba penuh. Apa lagi kali ini yang akan terjadi. Ia sudah melewati cukup banyak rintangan hingga sampai ke titik ini. Sebentar lagi, tinggal menghitung hari. Dan kini istrinya terlihat meragukan jalan yang di pilihnya.     

"Apalagi Dum? Kenapa lagi? Apa Ibumu? Ibumu datang lagi ke sini? Apa yang dia katakan?" Tanya ayah pada simbok. Ia berlutut di depan duminah yang masih menangis dalam diamnya.     

Namun duminah masih saja hanya menggeleng kepala. Dan itu membuat ayah semakin frustasi. Tak mendapat jawaban apa pun darinya.     

"Lalu siapa yang membuatmu menjadi seperti ini."     

"ini bukan karena siapa yang membuat aku seperti ini mas. Ini karena apa yang kamu lakukan!"     

Tiba-tiba suasana menjadi memanas.     

"Karena aku! Aku? Maksud kamu karena aku itu apa! Aku melakukan ini demi kamu. DEMI ANAK KITA DUM!"     

"JANGAN KATAKAN DEMI AKU MAS! Semua karena rendah dirimu akan anak kita. Iya kan?"     

Ayah dan simbok pun saling berteriak. Sampai keduanya tidak mendengar tangis Bayi Sardi.     

"Apa katamu! Jadi selama ini itu lah yang ada dalam pikiranmu? Kamu…kamu..!"     

Ayah mengepalkan tangannya. Iya tak kuasa memendam amarahnya lagi. Sementara duminah terus menangis tak henti-henti.     

Dengan kesal ayah memasukkan semua persyaratan yang sudah ia kumpulkan ke dalam sebuah karung. Termasuk kepala rusa itu. Ia lalu memanggulnya danmenuju ke arah pintu keluar. Dengan cepat duminah meraih lengannya.     

"Mas, dengarkan dulu aku belum selesai." Ucap Duminah dengan sesenggukan tangisnya.     

"SUDAH DUM. APA PUN YANG KAMU KATAKAN TAK AKAN MERUBAH APA PUN. KAMU TIDAK TAHU APA YANG SUDAH KU ALAMI HINGGA SAMPAI DI TITIK INI." Tutur ayah dengan penuh penekanan dan sorot mata marah serta kecewa. Ia pun kemudian mengibaskan tangan Duminah yang seketika langsung terpental.     

Ayah pun berjalan keluar rumah dengan cepat. Sementara istrinya yang sedang hamil tua kewalahan mengejar langkah kakinya.     

"MAS! MAS! MAS!" Suara panggilan duminah begitu keras bahkan tangisnya pun terdengar jelas. Namun entah apa yang menutupi telinga ayah sampai ia tak mau mendengarkan lebih jauh apa yang di katakan istrinya itu. Ia yakin pada akhirnya istrinya akan mencegahnya melakukan ritual yang tinggal selangkah itu. Tidak. Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Ucap ayah dalam batin.     

Dengan amarah yang membara di dalam batinnya. Tekad ayah malah semakin kuat. Mereka semua tak ada yang tahu, ia sudah mempertaruhkan nyawanya sampai di titik ini. Tak ada seorang pun yang bisa merobohkan tekadnya yang sudah hampir mencapai puncaknya itu.     

Terlalu awal bagi ayah untuk datang ke tempat ritual. Di tepi sungai inilah kelak akan di adakan ritual topo jogo banyu. Ayah belum tahu pasti apa yang akan dia kerjakan nanti. Sehingga dia memutuskan untuk duduk di bawah pohon klasem tidak jauh dari tepi sungai.     

Ia menggelar sebuah alas yang berasal dari karung bekas. Ia lalu meletakkan karung berisi segala printilan persyaratan yang ia bawa sejak tadi di atas alas tersebut. Ia lalu segera berbaring. Sambil menunggu kedatangan Dukun Kuring datang. Mungkin Ia akan datang selepas adzan ashar nanti. Masih ada waktu sampai dua jam ke depan untuk mengistirahatkan punggungnya dari rasa lelah.     

Silir angin bertiup dan suara riak sungai ternyata lebih ampuh sebagai senandung tidur. Tidak lama setelah ia merebahkan tubuhnya dan menatap dedaunan di atas. Ia pun terpejam, terlelap di alam bawah sadarnya.     

Ia berlari-lari bersama tiga saudaranya. Di atas pasir, di tepi pantai kisik yang tidak jauh dari perkampungan. Tiga saudaranya adalah dua kembar putra dan putri lalu satu laki-laki jangkung yang hampir sebayanya, atau mungkin lebih muda. Mereka berlarian dan tertawa seperti manusia-manusia kecil tanpa dosa.     

Mereka paling memegang tangan, mengayunkannya, melangkah, mengangkat kaki, selayaknya bocah yang belum akil baligh bermain. Si kembar menemukan kerang, ia lalu melempar ke bocah laki-laki yang sebaya dengannya itu. Si bocah laki-laki itu lalu melemparkan ke arah ayah. Ayah tertawa keras menerima lemparan kerang dari bocah laki-laki itu.     

Ia menatap kerang itu. Terus saja entah kenapa seperti di paksa untuk menatapnya. Seolah ada yang menekan kepalanya untuk terus menunduk melihat ke arah telapak tangannya. Air laut lalu bercucuran mengalir melalui kerang itu bersama dengan pasir. Melewati setiap sela ruas jari jemarinya. Air yang semula berwarna keruh bercampur dengan pasir itu perlahan-lahan berubah menjadi berwarna merah. Warna merah yang semula pudar pun perlahan-lahan menjadi kental.     

Ayah yang kala itu masih terlalu muda pun membelalakkan matanya melihat darah segar yang begitu banyak mengucur dari tangannya. Kerang itu lalu terbuka dengan cepat. Sebuah makhluk muncul dari dalamnya. Ayah pun berteriak semakin keras. Lalu dengan cepat tangannya membuang kerang itu ke pasir. Sebuah makhluk yang berukuran yang sangat kecil dan berambut panjang. Kulitnya berwarna hitam legam dengansenyum menyeringai yang sangat mengerikan. Kemudian membesar dan semakin membesar dengan mengeluarkan tawa yang begitu melengking hingga membuat ayah semakin bergidik ngeri dan menangis ketakutan. Kemudian makhluk itu pecah menjadi keping-keping darah dan mengalir ke lautan lepas.     

Suara itu menghilang setelah darah itu bebaur dengan air laut dan tercampur sehingga warna merahnya menghilang. Namun mata ayah teralihkan oleh ketiga saudaranya yang berada di tengah laut. Tubuh mereka yang kecil seolah mulai tenggelam dan tertelan oleh air laut yang luas. Mereka menagis bersamaan dengan suara yang begitu nyaring dan memekakkan telinga. Sehingga kedua tangan ayah pun seketika memegangi kedua telinganya. Ia ingin segera menolong mereka namun kakinya terasa begitu berat. Seolah tertancap ke dalam pasir. Ia terus meronta hingga terjatuh namun tak ada yang berubah kecuali ketiga saudaranya itu semakin hilang perlahan-lahan hingga akhirnya tangis mereka pun menghilang bersamaan dengan kepala mereka juga hilang di telan oleh air laut yang berwarna gelap oleh siluet sore hari.     

Ayah pun menangis sejadi-jadinya. Ia terus memukul-mukul kakinya karena tak mau bergerak. Ia juga memukul pasir di hadapannya. Kekesalannya begitu besar karena tak mampu menolong ketiga saudaranya itu. Namun kemudian seseorang menepuk pundaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.