PERNIKAHAN TANPA RENCANA

38.RITUAL TELAH DI MULAI



38.RITUAL TELAH DI MULAI

0Matanya sontak terbuka. Bersama dengan keterkejutannya karena seseorang menepuk-nepuknya. Ayah yang semula menghadap ke atas lalu menoleh ke samping kirinya. Ke arah orang yang baru saja membangunkannya dari tidurnya dan juga mimpi mengerikan itu.     
0

Ah ternyata dia adalah orang yang sebenarnya ia tunggu. Dukun Kuring. Orang yang akan memimpin jalannya ritual tengah malam ini. Ayah pun langsung membenahi diri. Ia lalu duduk dan mengucek matanya. Ia pun memegangi kerut keningnya yang terasa pusing karena terkejut dari tidur. Mimpi apa aku tadi. Ucapnya lirih.     

Sementara dukun kuring nampak tidak begitu mempermasalahkan apa pun. Ia hanya membawa karung yang tadi di bawa oleh ayah dari rumah itu ke pinggir sungai. Ia kemudian menggelar tujuh tampah. Anyaman bambu yang berfungsi sama seperti penampan itu kemudian di jejerkan searah dengan aliran sungai. Berurutan tepat dengan batu besar di tengah sungai.     

Tampah itu lalu di beri daun pisan sebagai alas berikutnya. Kemudian Dukun Kuring pun membongkar seluruh isi karung itu. Ia lalu menaruh kembang kanthil, kembang semboja, dan melati di atas tampah yeng paling kecil. Yaitu tampah yang pertama dari arah selatan. Lalu dukun kuring pun mengambil tampah itu.     

Ia tek memerintahkan ap pun kepada ayah. Sehingga ayah hanya duduk di sisi sungai seperti orang bingung. Yang sebenarnya adalah ia sedang memperhatikan dukun kuring. Dukun kuring terlihat serius dengan setiap langkahnya. Mulutnya terus komat-kamit mengucapkan sesuatu tanpa terdengar suara apa pun. Sesekali ia menyemprotkan ludah dari mulutnya ke arah sungai. Dan ayah yakin ludah itu pun tak sampai hingga ke sungai. Ternyata seperti ini ya ritual. Batin ayah yang begitu antusias melihat dukun kuring memulai semuanya.     

Dukun kuring lalu menaruh tampah itu di atas sebuah tugu kecil yang terbuat dari pahatan batu. Sebenarnya selama di kampung ini, ini adalah yang pertama kalinya ayah mengunjungi sungai ini. Sebelumnya ia sama sekali tak pernah ke sungai ini. Yang pertama karena jauh, yang berikutnya tentu karena ia tidak begitu suka bermain air.     

Di pinggir sungai terdapat tujuh tugu yang terbuat dari pahatan batu. Berbentuk balok yang seperti di tancapkan ke tanah. Namun seperti berusia telah lama terlihat dari rumput liar yang mulai menggerayanginya dari bawah. Berwarna abu gelap dan permukaannya rata sehingga mudah untuk menaruh benda apa pun di atasnya, termasuk tampah yang dukun kring bawa.     

Dukun kuring lalu menaruh tampah itu di atas batu pertama. Jarak setiap batu kurang lebih lima langkah kaki orang dewasa. Ayah sempat menghitung langkah kaki dukun kuring tadi saat menuju ke batu pertama.     

Dukun kuring lalu berjalan mengelilingi batu dan tampah itu. Tentu saja sambil mulutnya komat kamit. Ia lalu membuang sesuatu di tengah naman itu selama berkeliling. Entah berapa kali. Sampai akhirnya ia menengadah dan berbalik lalu berjalan menuju di mana tmpah terletak dan meninggalkan tampah yang pertama tetap di atas batu itu.     

Kemudian ia mengambil tampah yang kedua. Diambilnya daun pisang yang sudah ia siapkan. Ia lalu menaruhnya di atas tampah itu sebagai alas persyaratan yang kedua. Yaitu ayam cemani panggang dengan posisi kepala masih utuh namun seluruh badannya sudah di panggang. Ayah jadi teringat ketika ia memesannya di warung makan tadi pagi. Si pemilik warung terlihat terkejut dan bingung dengan permintaan aneh ayah, namun kemudian ayah mengatakan bahwa ayam itu bukan untuk di konsumsi melainkan akan di gunakan untuk ritual. Sedetik kemudian mereka pun memahaminya dan membuatkannya pesanan ayah saat itu juga.     

Dukun kuring melakukan ritual yang sama dengan ritual tampah yang pertama. Hanya saja ia menaruh tampah kali ini di atas batu yang kedua. Ia juga mengelilingi batu itu. Dan juga dengan komat kamit yang sama. Dukun kuring melakukan ritual itu sendiri hingga ke persyaratan yang ke enam. Dan tampah yang ke tujuh di gunakan untuk menempatkan kepala rusa yang satunya.     

Berjejer tujuh tampah dengan seisinya. Tampah yang ketiga berisi dupa dan telur ayam kampung. Karena biasanya dupa di tancapkan ke sebuah medan, seperti beras atau mungkin abu, maka ayah pun berinisiatif membeli sebuah temapayan berukuran kecil agar bisa untuk menaruh dupa. Dukun kuring tidak terlihat mengisi apa pun di dalan tepayan itu. Ia hanya menaruh dupa itu ke dalamnya sehingga hanya Beruntung angin tak terlalu kencang. Tanpa sadar hari pun telah sore. Mungkin sebentar lagi akan segera gelap dan tiba lah malam hari. Tujuh tampah yang berada di atas batu pun di beri sebuah lampu minyak. Masing-masing satu buah.     

Selesai adzan berkumandang, dukun kuring pun mengeluarkan korek api dan menyulutnya kemudian membagi apinya kepada masing-masing lampu minyak. Cahaya bulan menyinari kami dengan terang, tentu saja karena malam ini adalah malam purnama. Namun semakin terang karena tujuh cahaya lampu minyak yang ada di sisi kami saat ini.     

Dukun kuring memeberikan ayah titah untuk duduk di atas batu besar yang berada di tengah sungai. Batu terbesar yang ada di sungai itu. Awalnya kau ragu, namun perintah dukun kuring tak boleh di langgar bukan? Ayah pun melangkahkan kakinya ke dalam air sungai. Dingin menyeruak dari sekujur telapak kaki hingga keatas betisnya. Ia tak peduli lagi celana panjangnya telah basah di bagian bawahnya. Ternyata sungainya tidak terlalu dalam. Ayah merasa tidak perlu khawatir akan terkena air lagikarena ukuran batu yang cukup tinggi dan besar.     

Ayah pun duduk di atas batu itu. Dukun kuring berada di belakang tampah nomor tiga. Ia menghadap ke arah ayah begitu pun dukun kuring juga menghadap kearahnya. Wajah yadukun kuring yang terpapar siluet cahaya lampu minyak membuatnya tampak begitu mengerikan. Angin tiba-tiba saja berhembus lembut. Ah iya, sejak tadi ayah tak merasakan desiran angin. Akhirnya keluar juga, dan mampu membuat sekujur tubuhnya merinding karena udara malam yang semakin dingin.     

Suara riak sungai terasa semkainkencang meski debit air mengalir masih sama saja sejak siang tadi. Ayah tak mengerti kenapa bisa begitu. Ia tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena keheningan malam. Sehingga ia terasa menggema.     

"apa kau siap?" tanya dukunkuring tiba-tiba sambil menatapku tajam. Tentu saja aku siap. Angat siap.     

"Si…ap Ki.." padahal aku benar-benar siap, tapi entah kenapa suaraku tercekat seolah ragu.     

"APA KAU SIAP?!" tanyanya lagi dengan membentak ayah yang kemudian sangat terkejut. Ternyata dukun kuring bisa juga membentak. Aku sedikit tertegun. Namun kemudian aku menegapkan lagi tubuhku. Lalu kukatakan."SIAP! SANGAT SIAP!" Dukun kuring pun namapak menyeringai sambil menatapku dengan tajam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.