PERNIKAHAN TANPA RENCANA

39. UJIAN DIMULAI



39. UJIAN DIMULAI

0Di titik ini ayah merasa telah melihat sisi mengerikan dukun kuring. Tatapannya lain dari sebelumnya. Seolah ia sedang di rasuki makhluk yang jahat di dalam tubuhnya. Seperti yang sudah Ia ajarkan padanya tadi. Ia mengajari bagaimana posisi seorang petapa yang benar pada ayah. Ayah yang tidak tahu apa pun hanya mengikuti setiap hal yang dukun Kuring ajarkan.     
0

Mata harus tertutup, tak boleh sekali pun membuka mata sekali pun hati di penuhi dengan rasa penasaran. Posisi tangan menyatu antara telapak kanan dan kiri. Di taruh di depan dada. Seolah sedang menyembah sesuatu di depannya. Nafas di buat teratur antara tarikan dan hembusan. Jangan menahan nafas agar tak ada kejadian kehabisan nafas saat ritual sudah berjalan. Punggung lurus namun santai, jangan tegang agar kuat hingga akhir ritual. Dan terakhir kaki bersilah ke depan.     

Ayah mulai memejamkan matanya. Suara guntur tiba-tiba saja menggelegar. Beruntung ayah hanya terkejut dan tak sampai membuka mata. Padahal awan sama sekali tak mendung entah ada angin apa hingga guntur datang tiba-tiba di hari yang cerah ini.     

Dengan mata tertutup, pendengaran ayah bekerja jauhlebih baik dari sebelumnya. Selain binatang-binatang malam yang begitu kentara, suara arus juga terasa lebih keras pada pendengarannya saat matanya tertutup.     

Dukun kuring sibuk membaca mantra. Kali ini ia membaca mantra-mantra dengan begitu lantang dan cepat sehingga ayah sendiri tak mengerti apa sebenarnya yang di ucapkan oleh dukun kuring. Sampai kini ayah masih di titik ketenangannnya. Ia masih belum menemukan rintangan berarti apa pun. Bahkan anehnya, nyamuk sekalipun tak datang menghinggapinya.     

Waktu terus bergulir. Malam pun semakin menampakkan jati dirinya.semula udara terasa sedikit hangat berkat paparan panas dari siang hari tadi namun kini dingin mulai menerpa. Angin pun semakin sering kedatangannya. Beberapa kali ayah bahkan di buat bergidik karena angin malam itu.     

Tiba-tiba ketenangan ayah terusik. Kaki ayah merasakan ada sebuah genangan yang mengalirinya.sedikit demi sedikit air itu mulai meninggi. Airnya begitu tenang. Sampai ayah sadar, ternyata posisinya kini telah berdiri.     

Ia berada di atas sungai. Sungai yang begitu jernih dan segar. Airnya beriak tanda tak begitu dalam. Nampak batu-batu kerikil berwarna putihdi dasarnya. Kakinya maju mundur memainkan air itu. Ia tahu ini adalah tempat ritual, tetapi beberapa hal terlihat berbeda. Seperti hilangnya batu-batu yang besar dan yang sangat besar yang ia duduki tadi. Semuanya sirna.     

Siang hari itu nampak begitu sepi. Tak ada seorang pun di sisi kanan kiri sungai. Padahal sungai seperti ini biasanya sangat ramai pengunjungnya. Mungkin karena ini siang hari. Mungkin sekitar tengah hari karena matahari yang tepat berada di atas kepala.     

Terik seolah membakar ubun-ubunnya. Ayah pun menenggelamkan kepalanya ke sungai. Ia mendapatkan kesegaran di dalamnya. Namun seketika ia hendak mengangkat kepalanya ke udara. Ada seseorang yang menahannya. Sehingga ia gelagapan setengah mati kehabisan oksigen dalam paru-parunya.     

Hingga ia menelan air berkali-kali melalui mulut dan hidungnya. Bajingan yang memegang tengkuknya itu tak kunjung melepaskannya. SIALAN KAU! Racau batin ayah. Sekarang Ia berada di ambang kematian jika saja ia bisa menangkap kaki orang itu lalu menyeretnya. Namun orang itu begitu kuat sehingga mendorong kepalanya hampir melewati pertengahan antara lututnya. Hampir ke belakang melewati kakinya sendiri.     

Ayah terus berusaha keras untuk mendorong kepalanya melebihi kekuatan orang yang tak ia ketahui itu. Namun gagal. Yang ada ia malah semakin banyak kemasukkan air ke dalam mulutnya. Habislah sudah kalau seperti ini.     

Ayah baru sadar tangannya tak berguna sama sekali sejak tadi. Di mana sejak tadi sebenarnya otaknya ini. Ia lalu mencari tubuh orang di hadapannya ini. Namun nihil. Aneh. Seharusnya ia menemukan betis atau lutut tapi ia tak menemukan apa pun. Kecuali udara kosong.     

Tak kehabisan akal ayah pun lalu meraih kerikil di bawahnya. Ia lalu melemparkan ke arah depannya. Sesuatu yang ia yakini bukan manusia yang memegang tengkuknya begitu keras. Menginginkan kematiannya.. meski tahu yang ia hadapi tak berbentuk rupa. Ayah tetap terus melempari batu kearah depannya. Bahkan hingga ke arah atas sehingga kerikil itu kembali ke bawah dan mengenai kepalanya. Ia tak peduli. Sampai akhirnya kekuatan mendorong itu perlahan melemah, melemah dan melemah lalu hilang .     

Dengan cepat ayah mengangkat kepalanya lalu menghirup udara sebanyak mungkin agar paru-parunya terisi kembali dengan udara. Dan pada akhirnya ia tersedak berkali-kali. Hidungnya terasa perih berikut matanya. Namun ia merasa lega pada akhirnya ia dapat mengalahkan setan alas biasab itu.     

Ia melihat wajahnya kearah pantulan air sungai. Air menetes dari setiap ujung-ujungn rambutnya. Namun air sungai berubah menjadi warna merah dari tetesan itu. Tetesan dari kepalanya. Ia lalu memegangi kepalanya dan disananlah ia menemukan cairan yang terasa lebih kental dari air sungai. Cairan itu sedikit lengket sehingga ayah mencoba untuk melihat apa yang ada di jemarinya itu.     

Ternyata dara merah kental memenuhi kepalanya. Ia pun terkejut melihat darah itu. Ia lalu terjerembab ke dalam air. Dan ternyata airnya semakin dalam hingga ia kehilangan keseimbangan. Ia terus bergerak panik sehingga membuatnya terus semakin kehilangan keseimbangan. Darah yang semula ada pada kepalanya pun terurai di air sungai.     

Ayah yang sebenarnya tak begitu panda berenang pun terus saja di permalukan oleh air yang menenggegelamkannya.matanya terbuka. Tampak buram dan keruh oleh merah darah miliknya. Ia hampir kehilangan kesadarannya namun pada akhirnya ia tak meenyerah. Ia berdiam diri. Supaya mendapatkan ketenangannya kembali.     

Perlahan ia tenggelam. Namun kemudian tenaga dan ketenangannya mulai pulih. Ia lalu meluncur ke atas untuk menemukan kembali cahaya. Padahal ia memasuki sungai yang dangkal, entah kenapa tiba-tiba ia sampai di sebuah laut yang dalam.     

Dan akhirnya kepalanya keluar dari genangan air. Ia berteriak seolah baru saja mendapatkan semangatnya. Ia mulai kesaldengan kejadian tak masuk akal ini. Berulang kali ia memukul-mukul air namun tak ada yang berubah. Ia hanya seorang diri di sini.     

Ayah pun berencana untuk mentas. Ia mengangkat langkah kakinya. Namun, ia tak berhasil keluar dari sungai itu. Air yang semula hanya setinggi mata kakinya kini berubah menjadi setinggi pahanya. APA-APAAN INI! Teriak dalam batinnya. Anehnya, ia tak menemukan pijakan yang lebih tinggi, seolah-olah dasar sungai itu terus sama rata seiring langkah kakinya menuju pinggir sungai. Dan tepi sungai pun seolah menjadi menjauh dari jangkauannya.     

Ayah mengepalkan tangannya. Ia benar-benar gusar pada kondisinya saat ini.ia bahkan sampai di buat lupa bahwa sebenarnya ia sedang bertapa di atas sebuah batu. Ia sudah lupa sampai beberapa saat lalu.     

Langkah kakinya semakin berat. Seolah tak menemukan ujung. Namun ia tak berhenti melangkah. Ia terus melangkah dan meraih-raih rerumputan di tepi sungai meskipun tak ada kemajuan sama sekali.     

Pijakan yang semula padat pun semakin lama semakin lunak. Seperti berubah dengan sendirinya dari tumpukan kerikil yang padat menjadi sebuah pasir yang halus dan membuatnya semakin kesulitan melangkah dan menapak.     

Ayah memegangi kedua lututnya. Ia merasakan pegal yang luar biasa. Selain itu ia juga merasakan ngilu dan kelelahan. Kali ini apa yang bisa ia lakukan untuk lepas dari kejadian yang memuakkannya itu. Ia menoleh karah kanan dan kiri. Tak ada sebatang akar pun yang bisa menyelamtakannya.     

Namun akhirnya ia menemukan sebuah jalan keluar. Beberapa meter dari tempatnya berdiri sekarang ada sebuah air terjun. Di sisinya ada sebuah pohon yang tumbuh dengan unik. Batangnya mengarah horizontal mengikuti lebar sungai dari sisi ke sisi. Tepat berurutan dengan posisinya sekarang. Jika ia mengikuti arus dan melompat ka arah batang itu ia pasti akan selamat. Pikirnya.     

Ia mulai mengangkat kakinya dan mencoba menenggelamkan diri pada air yang tidak terlalu dalam itu. Arus yang cukup kuat pasti dapat membawanya hinggga ke sana. Namun. Hal tak terduga tiba-tiba saja muncul.     

Suara gemuruh air terdengar dari arah berlawanan. Ia yang menyadarinya sontak langsung menoleh ke arah di mana sebelumnya ia berada. Air yang begitu besar muncul dan hendak menerjangnya. Ayah tak sempat menyelamatkan diri. Ia tenggelam. Ia tak mampu mengalahkan air yang begitu besar itu.     

Ayah tak kuasa menahan air bah yang muncul tiba-tiba dari arah gunung itu dengan tubuhnya. Meenyadari kondisi sekarang Ia hanya membiarkan tubuhnya terus terseret arus yang begitu kuat. Hingga dengan cepat ia sampai di pangkal air terjun. Di situlah kesempatan terakhirnya agar selamat. Sekuat tenaga ayah mengangkat tangan agar dapat meraih pokok pohon itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.