PERNIKAHAN TANPA RENCANA

40.GADIS-GADIS BERSELENDANG



40.GADIS-GADIS BERSELENDANG

0Dengan cepat, hampir saja tangannya terlepas dari raihannya kepada pohon yang tumbang namun melayang itu. Beruntung cengkeramannya pada salah satu ranting besarnya begitu kuat. Sehingga tubuhnya tak terjatuh ke dasar air terjun yang sangat dalam itu.     
0

Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Namun meski demikian Ia tak membiarkan tangannya lepas mencengkeram ranting tersebut. Tubuhnya melayang sama seperti dedaunan di atasnya. Ia mulai menarik napas agar terkumpul seluruh sisa tenaganya.     

Perlahan, ayah mulai memindahkan cengkeraman demi cengkeraman menuju ke arah tepi. Ia lalu berusaha mengangkat kakinya agar bisa menaiki pohon itu. Akan lebih mudah jika ia bisa menaiki pohon sehingga dengan mudah ia akan bisa merangkak ke tepi sungai. Pikirnya.     

Sementara ayah sedang berjuang, simbok yang di rumah di landa kepanikan. Nenek dan simbah yang menungguinya pun tak tahu harus berbuat apa. Sejak bakda magrib tadi bayi Sardi terus menangis. Hingga hampir tengah malam ini. Suara tangisannya bahkan telah berubah menjadi suara rintihan. Simbok sebagai ibunya bahkan sudah pasrah menimangnya. Sehingga Ia hanya terus memeluknya dengan diam. Berharap tangisnya selesai.     

Semua orang di rumah itu jelas tahu ini pasti ada hubungannya dengan ritual yang sedang di jalani Ayah. Ayah yang tak mendengarkan hingga tuntas omongan istrinya itu sedang mendulang nassib buruk untuk dirinya sendiri kelak.     

"Seandainya aku tahu Si Kuring itu bajingan. Tidak akan kubiarkan suamimu itu mendatanginya Ndok..." Simbah tiba-tiba bersuara dengan air mata berurai di pipinya.     

Sementara nenek juga terus menangis karena tidak tega dengan kondisi cucunya.     

"Sudahlah Pak. Itu memang jalan yang di pilihnya. Dia tidak mau mendengarku. Sudah memang ini takdir kami. Saya sudah siap nerima apa pun yang akan terjadi kelak." Ucap Simbok pada Simbah dengan nada lemahnya.     

Di sungai yang semakin malam semakin riuh itu. Ayah sedang bertarung mempertaruhkan nyawanya. Harapannya hannyalah satu, semoga anaknya di beri kesembuhan. Ia bergelantungan di sebuah pohon yang tumbuh di sisi tebing air terjun. Dan Ia terselamatkan lagi kali ini.     

Bunyi kreteg terdengar nyaring dari sisi pangkal pohon. Ayah pun menoleh ke arah sumber suara. Terlihat tanah tebing pun berguguran. Sepertinya akar pohon itu sudah tak kuasa menahan bobot ayah. Bergegas ayah mempercepat ayunan tubuhnya agar bisa sampai tepi tebing.     

Akhirnya ayah pun sampai di tepi pohon itu. Ia pun mengayunkan tubuhnya lebih keras agar bisa berada di atas pohon. Dan usahanya pun berhasil. Akhirnya Ia pun berada di atas batang pohon yang melayang itu. Selangkah lagi agar dia sampai di sisi tebing. Langkah terakhirnya di barengi dengan pohon yang akhirnya tumbang dan jatuh ke dasar air terjun.     

Ayah pun melongok pohon yang jatuh ke dalam jurang hingga tak terlihat bentuknya itu. Hatinya sedikit lega karena dia sudah sampai lebih dulu ke tepi sungai. Ayah pun berjalan maju. Mencari titik sungai saat ia pertama kali terjebak di dalamnya.     

Tidak jauh, hanya beberapa meter saja. Ia menandai rerumputan di pinggirnya yang masih Ia ingat. Lalu ayah pun mulai berpikir kembali. Ia yang sejak tadi berada di ambang kematian sebenarnya sedang duduk dalam pertapaannya. Dan hari itu seharusnya masih malam. Namun tiba-tiba saja Ia membuka matanya dan berada di tengah sungai ini siang hari.     

Teka-teki bermunculan di kepala ayah. Sekarang ia sedang berada di dunia lain. Atau sebenarnya ini hanya ilusi dari pikirannya semata? Yang jelas Ia harus berusaha keluar dalam keadaan hidup dari sini.     

Yang harus ayah lakukan selanjutnya adalah mencari batu besar tempat Ia duduk bertapa. Batu besar itu kemungkinan besar berada pada sungai di atas. Atau mungkin berada di sungai dari air terjun di sana.     

Jawaban yang sebenarnya tak akan ayah temukan sampai ia benar-benar berjalan dan mencari. Ayah pun berjalan ke atas. Kebalikan dari arah arus sungai. Atau menuju ke arah gunung. Seolah langkahnya begitu berat dab lututnya terasa linu sekali. Padahal Ia harus berjalan cepat agar cepat menemukan batu itu.     

Dengan memaksakan diri dan berjalan terseok-seok. Ayah terus berusaha melangkah di sepanjang pinggir sungai. Namun tak ada batu yang seukuran dengan batu besar itu. Namun Ia tak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan sampai akhirnya Ia di kejutkan oleh suara wanita yang sedang bercengkerama.     

Dahi ayah berkerut. Apakah ada orang mandi di sekitar sini? Ayah pun menoleh ke segala arah sungai. Namun tak seorang pun ada di sekitar sini. Mungkin mereka berada di tikungan itu. Sebentar lagi Ia akan berada di tikungan sungai. Mungkin mereka mandi di sana. Pikir ayah.     

Ayah pun terus melanjutkan jalannya. Kakinya yang terasa berat melangkah pun membuatnya terasa lama hingga ke tikungan itu.     

Namun pada akhirnya sampailah ayah di tikungan itu. Ia bersembunyi di belakang pohon besar. Berusaha mengintip ada apa sebenarnya suara riuh di sana. Ternyata di sana sedang mandi para wanita cantik dan muda.     

Mereka terdapat tujuh wanita. Dan semuanya cantik serta berkulit putih. Rambutnya hitam dan panjang. Masing-masing memiliki selendang yang berbeda warna. Mereka menaruhnya berjejer rapi. Mereka tidak telanjang melainkan mengenakan sebuah kemben dari jarik. Sehingga montok susu mereka tercetak dengan jelas di balutan kain kemben yang terkena air itu.     

Kulit mereka putih bersih dan wajah dari masing-masing gadis yang sedang mandi itu juga ayu. Mereka riuh saling tertawa dan bermain air seolah ini pertama kali berada di sungai bagi mereka. Tatapan ayah tertuju ke arah mereka. Namun bukan para gadis itu. Melainkan ke arah batu besar yang berada di tengah sungai. Tepat di sisi mereka.     

Ayah pun mulai berpikir bagaimana caranya agar Ia bisa menuju ke sana. Akan tidak sopan jika ayah tiba-tiba datang dan mengusir mereka. Namun belum sampai menemukan rencana yang tepat. Seorang gadis berteriak. Sepertinya dia menyadari keberadaan ayah. Ayah yang tidak mau mereka khawatir diintip pun menampakkan diri.     

Semua gadis itu pun segera mentas dan mengenakan selendangnya masing-masing. Ayah memalingkan mukanya. Salah satu dari mereka pun berjalan ke arah ayah. Dia tak menampakkan wajah marah seperti sebelumnya.     

Setelah sampai ayah pun mulai mengatakan yang sebenarnya alasan mengapa Ia berada di sini.     

"Ada apa gerangan tuan berada di belakang pohon itu?" tanya gadis itu yang tengah berada di sampingnya kini. Yang ayah yakini ialah ketua dari kelompok gadis itu.     

"Saya sedang mencari batu besar untuk bertapa. Dan batu besar itu ada di sisi kalian. Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya meminta agar kalian berpindah tempat." Ucap ayah dengan jujur tanpa menatap gadis itu.     

Namun gadis itu dengan berani memegang pundak ayah. Seketika seluruh tubuh ayah menegang. Gadis itu pun berani membuat ayah menatap wajahnya. Dan kini mereka pun saling bertatap muka. Ayah yang semula terkejut berubah menjadi terpukau. Ia menelan ludah. Tak pernah Ia bertemu dengan gadis seayu di depannya kini. Gadis itu tersenyum. Ayah pun menjadi lupa tujuan utamanya datang ke tempat itu.     

"Kalau begitu mari kami antar ke sana." Ucap gadis itu.     

Ayah yang semula begitu tegas berpendirian pun menjadi penurut dengan gadis itu. Ia di gandeng oleh gadis itu untuk menuju ke anggotanya. Anggotanya yang semula terlihat tidak suka pun kemudian menampilkan senyum ayu mereka. Mereka benar-benar ayu dan tak tertandingj oleh siapa pun. Pikir ayah.     

Ayah mulai terbuai. Mereka membuat ayah menceburkan diri ke sungai. Tubuh ayah yang semula memang sudah basah kini terendam air kembali. Namun kali ini berbeda. Ayah terendam dalam buaian perempuan-perempuan cantik berselendang.     

Gadis-gadis itu mulai menanggalkan selendangnya. Mereka menampakkan lekuk lehernya dan area atas ada yang begitu membuat ayah terpukau. Siapa pun laki-laki yang berada di posisinya pasti akan mengalami hal yang sama.     

Gadis-gadis itu mulai manja membelai ayah dari satu sisi ke sisi lain. Ayah yang merasa kegelian pun mulai terkikik dan tertawa, di barengi dengan tawa mereka. Tangan mereka menggerayangi tubuh ayah tanpa ampun. Satu persatu pakaian ayah pun di lucuti oleh mereka. Ayah yang sedang dalam keadaan terbuai pun tak peduli hingga ia kini telah bertelanjang dada.     

Kecipak kecipuk air mengiringi tawa mereka. Ayah terbuai semakin dalam. Mereka membuat ayah berbaring dengan tumpuan tangan-tangan halus mereka. Ayah pun hanya menuruti perintah mereka.     

Dalam posisi berbaring di atas air. Tiba-tiba mereka melepaskan tangan mereka sehingga membuat ayah tercebur ke dalam sungai. Ayah gelagapan setengah mati karena terkejut dengan perlakuan tiba-tiba mereka. Ayah yang gelagapan menatap mereka yang semakin jauh dan wajah mereka yang berubah menjadi tua. Namun tawa mereka tetap melengking memekakkan telinga ayah yabg kini berada di dalam air.     

Anehnya air yang semula dangkal itu seolah menjadi bertambah dalam. Ayah yang gusar pun teringat kepada istrinya. Duminah. Ia terus memanggil namanya dalam hatinya. Ayah memejamkan mata. Ia yang kini semakin tenggelam dan air semakin dalam dan gelap. Oksigen juga semakin habis dari rongga paru-paru dan terisi oleh air.     

Duminah terbangun. Keringat membasahi pelipisnya. Ia baru saja bermimpi hal yang begitu buruk. Suaminya tenggelam dan membutuhkan pertolongannya. Mimpi itu seolah terasa begitu nyata. Baru saja terjadi. Duminah pun berdoa kepada Gusti agar suaminya di selamatkan dari kejadian buruk.     

Ayah yang semula pasrah dengan keadaan tiba-tiba di sadarkan oleh tangisan anaknya. Ia yang sadar sedang dalam ujian di tengah pertapaannya pun bergegas berenang menuju ke permukaan. Akhirnya dengan dorongan kemauan untuk selamat yang begitu kuat ayah pun telah berada di tepi sungai.     

Dengan terbatuk batuk ayah terbaring menelungkup pun menghela napas sekuat-kuatnya. Ia membutuhkan oksigen yang banyak meskipun nafasnya masih tersengal-sengal. Ia terbatuk-batuk tubuhnya berusaha mengeluarkan air yang ada di dalam paru-parunya.     

Akhirnya napasnya pun mulai kembali normal. Ia tak menunggu tenaganya pulih. Dalam pikirannya. Ia harus cepat menemukan tempat bertapanya. Ia harus segera menyelesaikan pertapaannya. Ia menoleh ke arah sungai. Dan batu besar itu hilang entah ke mana. Ia mengepalkan tangannya lalu menghujamkan kepalan itu ke tanah. Ia di penuhi kemarahan.     

Ayah pun berjalan maju. Ia harus menelusuri sungai ini hingga ke pangkalnya sampai Ia menemukan batu besar itu. Jalannya yang masih terseok-seok karena tenaganya yang tak kunjung pulih. Ia berulang kali meminum air sungai karena merasa terus kehausan. Seolah siang ini semakin panas.     

Tiba-tiba ia berada di tengah keramaian. Namun tetap di pinggir sungai. Orang-orang asing berlalu lalang sibuk sekali dengan aktifitasnya. Hanya ayah lah yang berjalan begitu pelan karena kehausan dan kelaparan. Ayah menatap di kanan kiri. Sepertinya Ia berada di tengah sebuah pasar. Pedagang nampak di kanan kiri menawarkan dagangannya. Dari sagur, buah, hingga gerabah. Ada juga yang sedang menurunkan penumpang dari perahu. Mungkin pengunjung pasar yang dari seberang sungai.     

Tiba-tiba seseorang memegang tangannya. Nenek tua dengan tangan yang sudah keriput itu meminta ayah untuk masuk ke kedainya. Ayah menoleh ke arah keda di samping kanan itu.     

Kedainya cukup ramai dan megah. Sudah memiliki lampu dan terlihat besar. Tapi kenapa nenek ini malah meminta ayah yang tak punya uang untuk makan di sana? Nenek itu menatap ayah dengan tatapan iba.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.