PERNIKAHAN TANPA RENCANA

43. SEBUAH PETAKA



43. SEBUAH PETAKA

0Akhirnya ayah dapat menghembuskan nafas lega. Suasana senang hatinya mengembalikan seluruh kekuatan tubuhnya. Ia yang semula lemas kini telah bergas kembali. Ia lalu menjeburkan diri ke sungai. Padahal pagi itu udara benar-benar dingin. Ia lalu menepi. Ia membersihkan satu persatu tampah dan seisinya. Ia jadikan satu dan juga lampu minyak di atasnya.     
0

Ayah lalu membawanya ke bawah pohon besar. Ia lalu duduk sejenak sebelum nanti ia akan memutuskan untuk pulang. Ia teringat kepada istrinya Duminah. Terakhir kali Ia pergi begitu saja tanpa mendengarkan pembicaraannya sampai selesai. Ia khawatir istrinya itu akan benar-benar marah padanya.     

Namun ayah tetap harus pulang dan menyampaikan kabar gembira ini. Ia akan membuktikan kepada Duminah dan bapaknya itu tentang keberhasilan dan perjuangan yang telah ia lewati. Ia sudah melewati banyak sekali hal dan berkali-kali mempertaruhkan nyawanya demi untuk kembali dan membawa kabar baik untuk bayi mungilnya itu.     

Ayah bergegas merapikan sungai seperti semula. Tidak meninggalkan jejak apa pun di sana. Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah. Satu hari setengah telah berlalu. Lebih cepat dari yang di perkirakan. Padahal yang terasa dalam dunia bawah sadarnya Ia merasa sudah berbulan-bukan berada di dunia lain.     

Ayah bertemu Duminah di dapur. Masih seperti biasa. Duminah menghampiri suaminya yang baru saja pulang entah dari mana. Meski berangkat dalam keadaan marah. Duminah tetap menyambut suaminya itu dengan senyuman.     

Meski sebenarnya senyuman itu terasa kecut. Air mata tiba-tiba mengalir dari pelupuk mata Duminah.     

Ayah yang sedang sibuk membuka bajunya pun lalu menoleh ke arah istrinya itu.     

"Dum... kamu kenapa?" dipegangnya kedua bahu simbok oleh ayah.     

Sejenak simbok terdiam. Ia menyelesaikan tangisnya lalu menarik nafas dalam-dalam.     

"Kenapa kamu ndak mau mendengarkanku lebih dulu sebelum pergi Mas?" Tanya Simbok dengan suara putus asa. Ayah melepaskan kedua tangannya dari bahu simbok. Ia lalu merubah ekspresi yang semula iba menjadi geram. Tangannya pun ikut mengepal. Namun kemudian Ia menarik napas kuat-kuat dan menghembuskannya pelan-pelan.     

"Aku ndak mau kamu mempengaruhi pikiranku Dum. Aku ndak mau ragu-ragu gara-gara apa yang mau kamu ucapkan." Tutur ayah.     

"Tapi Mas. Aku bukan ingin mempengaruhimu. Aku ingin menghentikanmu. Aku ingin kamu ndak melakukan itu. Aku ingin kamu berhenti." Duminah kini telah berurai air mata.     

"Apa Dum. Kamu mau menghentikan aku? Kamu ndak tahu apa yang sudah aku lewati. Aku hampir mati untuk sampai di titik ini. Kamu tahu. Aku mempertaruhkan nyawa Dum. Untuk kamu. Untuk anak kita." Ucap ayah menggebu-gebu pada Simbok. "Sekarang kamu ndak perlu khawatir. Semua sudah selesai. Sardi bayi mungil kita akan segera tumbuh normal. Kamu ndak perlu bangun tengah malam karena dia menangis hingga pagi. Kita sudah bisa hidup normal Dum..."     

Ayah begitu gembira mengatakan hal yang akan menjadi petaka bagi hidupnya kelak itu. Sementara Duminah menatap suaminya dengan tatapan penuh penyesalan.     

"Kamu tahu Le, Rusa yang kamu bawa itu adalah nyawa yang kelak akan kamu tukar." Tutur seseorang dari pintu ruang tengah. Yang bukan lain adalah Simbah. Ayah dan Simbok menoleh ke arahnya bersamaan. Simbah lalu mendekat ke arah mereka. Simbah mengambil kursi di sebelah simbok dan ayah. Satu untuk dirinya duduk dan dihadapkan dengan dua kursi untuk ayah dan simbok duduk.     

"Sini duduk dulu kalian berdua." Simbah menyuruh ayah dan simbok duduk di kursi kosong yang berada di hadapannya. Ayah yang semula mulai merah padam pun tenang kembali. Mereka lalu duduk di kursi itu.     

"Le... apa ritualnya sudah selesai dan lancar?" Tanya simbah pada ayah dengan nada yang tenang.     

"Sudah Pak. Aku berhasil menyelesaikannya dengan cepat." Jawab ayah dengan bangga.     

"Apa yang sudah kamu lalui Le...selama kamu bertapa bukankah di alam lain kamu mengalami sesuatu? Tolong ceritakan kepadaku. Supaya bisa ku artikan semuanya. Dan kamu akan mengerti di mana letak kesalahan semuanya." Ucap panjang simbah.     

Ayah lalu menceritakan semua kejadian di dalam alam bawah sadarnya dengan detile tanpa tertinggal satu pun.     

"Berulang kali Pak. Aku menyelamatkan diri dari maut. Namun aku tidak menyerah dan aku berhasil melewati semuanya." Tutup ayah pada ceritanya.     

"Apa kamu tidak merasa mendapatkan sesuatu dari semua itu?" tanya Simbah.     

"Maksudnya Pak?" Tanya Ayah kebingungan. "Ya saya sudah mendapatkannya. Lihat lah anak kami sudah tidur dengan pulas dan damai." Tambah ayah lagi.     

Simbah menghela nafas.     

"Kamu di curangi Kuring Le." Ucap simbah. Lalu Ia mengucap lagi sebelum ayah sempat membalas."Tiga saudara kecil dalam ceritamu itu? Apa kamu pernah memimpikannya?"     

Kemudian ayah berpikir keras. Apakah Ia pernah memimpikan tiga bocah itu sebelumnya? Lalu Ia teringat. Ia pernah sekali bermimpi tentang tiga bocah itu.     

"Iya pak. Sebelumnya aku tertidur di bawah pohon dekat sungai itu. Dan aku memimpikan bocah-bocah. Namun mimpinya juga sama mengerikannya." Ucap ayah begitu yakin.     

"Kalau begitu bukankah sudah jelas pesannya Le..." Tutur Simbah lalu terputus oleh sesenggukan tangisnya yang mulai luruh penuh sesal. "Seharusnya aku tak usah kenalkan kamu dengan Kuring biadab itu." Tambah Simbah. "Dia memanfaatkanmu untuk mendapatkan keuntungannya. Sementara kamu kelak yang akan mengorbankan segalanya." Tutur Sinbah lagi.     

Sementara itu ayah masih berkutat dalam kebingungannya. Ia sama sekali tak tahu arah pembicaraan ayah mertuanya itu.     

"Dalam dunia perdukunan. Setiap persembahan yang kamu bawa itu pasti ada maknanya. Mertuamu ini memang tak pintar. Tapi cukup tahu dunia perdukunan. Ya karena Kuring sering mengajarkan kepadaku. Jangan terkejut. Arti dari rusa yang mereka minta kamu bawa itu. Adalah nyawa seseorang. Yang bukan lain adalah saudara sedarahmu kelak. Aku ingin mencegahmu. Tapi tak punya kesempatan untuk bertemu. Dan biadabnya Kuring. Dia memanfaatkan ketidak tahuanmu. Untuk mendapatkan kelebihan yang lelembut berikan kepadanya jika ritual berhasil. Dia akan di beri penglihatan batin atas manusia. Sementara yang berkorban besar kamu. Kamu yang harus menerima akibatnya." Tutur Simbah panjang sambil berurai air mata. Sementara ayah yang mendengarkan itu semua merah padam. Ia mengepalkan tangannya. Kepalanya terasa berdenyut panas penuh kemarahan.     

Simbok lalu memegang tangannya dengan lembut. Ayah menoleh ke arahnya yang bercucur air mata. Ayah pun tak bisa memendam lagi air matanya. Ia juga menangis. Dalam hatinya penuh sesal.     

Ia lalu menunduk.     

"Maafkan aku Dum. Maafkan kebodohanku." Ucap ayah pada istrinya.     

"Semuanya sudah terjadi Le. Sekarang kita hanya perlu memperbaiki semuanya. Agar jangan sampai terulang."     

Keesokan harinya. Pagi-pagi buta Ayah bergegas ke rumah Dukun Kuring. Ia ingin membalas kebusukan Dukun Kuring saat itu juga. Dengan amarah yang telah memenuhi kepalanya hingga ke ubun-ubun. Ia mendatangi rumah Dukun Kuring.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.