PERNIKAHAN TANPA RENCANA

44. Kemarahan Yang Tak bisa ditahan



44. Kemarahan Yang Tak bisa ditahan

0"KURING! KELUAR KAMU! KELUAR KAMU BAJINGAN!" Ayah sudah tak mampu menahannya.     
0

Di bukalah pintu gubuk itu. Bunyi reot pun mengiringinya. Namun, tak seperti sebelumnya. Sosok Dukun Kuring telah menjadi buta. Dukun Kuring masih mengenakan jubah kebesarannya. Yang berbeda adalah. Bola matanya yang kini hilang. Ia berjalan dengan sebuah tongkat.     

"KAU! SEHARUSNYA AKU LAH YANG BERHAK MARAH! GARA-GARA KAU BOCAH BUKAN MENDAPAT KELEBIHAN MALAH KEHILANGAN PENGLIHATAN! SETAN KAMU. LIHAT APA YANGA AKAN TERJADU PADA ANAKMU KELAK. TAK AKAN TENANG SEPANJANG HIDUPNYA.!" Sumpah serapah dukun Kuring malah membuat ayah menjadi merinding. Belum lagi dengan kondisinya sekarang.     

"APA KATAMU! KAMU YANG MENIPUKU. SEKARANG LIHATLAH AKIBATNYA. TIDAK PERLU AKU MENGOTORI TANGANKU UNTUK MEMBALASMU. TUHAN SUDAH MEMBALASMU DENGAN SANGAT CEPAT." Jawab Ayah sambil memberanikan diri.     

"APA? TUHAN? HAAHAHA..CUIH! Orang yang bertuhan tak akan pergi ke dukun bodoh! Kamu tidak lain hannyalah penipu. Menipuku dengan mengatakan rusa itu kembar padahal tidak kan..?" Ucap Dukun Kuring menggebu-gebu.     

Ayah malah terkejut dengan kalimat terakhir dukun kuring. Ia memang tak membawa rusa kembar melainkan rusa yang memiliki tanduk sama. Ia tidak tahu akan mendapatkan konsekuensi sekejam ini. Namun ayah tak mau kalah dengan dukun kuring.     

"Lalu bagaimana denganmu! Kamu yang mengambil kesempatan dari semua usahaku! HAH! Lihat balasannya hahahha... sekarang kamu buta. RASAKAN AKIBATNYA SUDAH MENJADI ORANG LICIK! " Tukas ayah lalu berjalan pulang.     

Begitulah Simbok bercerita kepadaku dengan tersedu-sedu. Beban berat yang selama ini Ia tanggung seolah luruh saat itu juga. Sementara aku tak mampu menenangkannya dengan kalimat apa pun kecuali terus kuelus punggung tangannya     

"Semenjak kejadian itu, ayahmu tak pernah lagi tersenyum. Setiap hari pikirannya hanya bekerja dan bekerja. Karena terlalu sering bekerja sampai lupa waktu. Tubuhnya menjadi mudah sakit. Sikapnya semakin dingin. Ia terus menyalahkan dirinya sendiri." Simbok masih terus membayangkan kejadian lampau yang menimpa keluarga kami itu.     

Jadi itulah alasan kenapa selama ini ayah menjadi orang yang dingin kepada kami namun hangat kepada mas Sardi.     

Tiba-tiba Mas Sardi muncul dari pintu. Ia lalu mendekat ke arah kami ia kemudian meraih tangan simbok.     

"Mbok... kumohon. Jangan pernah sekali pun ungkit perihal itu lagi... sudah cukup... Ia wanita malang yang bertemu denganku. Semenjak itu nasibnya tak pernah bagus. Kumohon Bu... gara-gara aku yang memaksanya untuk menikah denganku. Ia harus menerima kenyataan-kenyataan pahit yang seharusnya ku tanggung." Ucap Mas Sardi pada Simbok dengan sangat lembut. Bahkan matanya sambil berkaca-kaca.     

Simbok yang sudah lelah menangis pun menoleh ke arah Mas Sardi.     

"Maafkan ibumu ini yang bodoh nak..." ucap simbok penuh penyesalan. Mas Sardi menggeleng kepala. Ia mungkin sudah melampiaskan segalanya kepada Simbok tadi. Namun Ia pasti juga sangat menyesal.     

Aku pun menanyakan kondisi Mba Ranti. Dan Ia mengatakan bahwa Mba Ranti harus minum obatnya saat kondisinya memburuk seperti tadi. Kulihat simbok pun tertidur. Mungkin karena kelelahan. Hari ini terasa begitu panjang dari biasanya.     

Akhirnya aku menyadari satu hal. Kenapa waktu membaca surat dari Mas Sardi beberapa tahun silam ayah menangis tersedu-sedu. Ternyata ada alasan mengerikan yang telah terjadi sebelumnya. Tentu saja hal itu menjadi beban mental yang besar bagi ayah dan juga simbok.     

Hari pun berlalu. Kulihat Mba Ranti sudah kembali normal. Ku tatap dia, sepertinya di sudah benar-benar pulih. Aku yang penasaran malah mencoba menggodanya. Meski aku yakin dia tak akan ingat apa yang telah terjadi kemarin karena ia beepikir itu adalah hayalan semata. Padahal sebenarnya itu adalah kejadian nyata.     

"Apa ndokk... kamu menatapku begitu. Apa ada yang aneh di wajah Mba?" tanya Mba Ranti saat ku pandangi dia dengan wajah penasaranku.     

"Mba.. mm" ucapanku terhenti ketika Simbok yang di sampingnya tiba-tiba memberi isyarat untuk diam. Tapi aku adalah Santi, tak bisa di cegah keinginanku.     

"Apa? Mau tanya apa?" tanya Mba Ranti lagi.     

"Inget nggak kemaren Mba Ranti di mana?" tanyaku. Membuat Simbok gusar dan dahinya berkerut-kerut serta mulutnya monyong-monyong. Aku hanya melet di belakang mba Ranti mengejeknya.     

"Kemarin ya di rumah. Kenapa?" tanyanya bingung     

"Ndak mba mau nanya aja." Jawabku. Kemudian pikiranku menemukan trik usil lagi. "Terus pas di rumah ngapain aja mba?" dahi mba Ranti berkerut mungkin dia juga merasa lupa dengan kejadian kemarin. Mba Ranti tak menemukan apa pun dalam memori otaknya sebelum akhirnya aku kena timpuk panci oleh simbok dan aku pun berlari keluar.     

Dari pada aku perang dengan simbok akh pun memutuskan pergi keluar teras. Dan kulihat Mas Sardi sudah berada di sana.     

Tiba saatnya para pekerja datang. Samar-samar cengkerama mereka terdengar begitu akrab. Mungkin karena bahasa kita yang kurang lebih sama. Namun ada beberapa yang memang berasal dari luar pulau Jawa. Yaitu Madura. Karena orang madura berbicara dengan aksen khas. Tentu saja aku langsung mengetahui bahwa orang hang berbaju lurik itu dari Kota Madura. Terakhir kali juga Pak Hadi dari Madura. Jadi kurang lebih masih begitu familiar di telingaku aksen itu.     

Semua orang yang berkumpul di hadapan Mas Sardi itu adalah anak buahnya. Dalam hatiku berkata Wahhh, Mas ku yang satu ini memang sukses besar di tanah Sumatera ini. Sampai mempunyai karyawan segala.     

Mereka semua berjumlah delapan orang. Satu di antaranya aku mengenalnya. Dia adalah saudara dari silsilah ayah. Karena ayah berasal dari Semarang. Maka dia adalah warga Semarang sebelumnya. Dia adalah Paman Sosro. Yang lain aku tidak mengenalnya. Tapi memang dari Jawa juga kebanyakan. Kulihat dari cara bicaranya mereka menggunakan bahasa Jawa.     

Masing-masing dari mereka membawa peralatan. Peralatan yang dibawa sepertinya berukuran begitu besar. Mungkin pekerjaan yagn mereka tangani juga sama besarnya. Mas Sardi mengisyaratkan kepadaku untuk tetap berada di belakangnya. Ia memang sudah mewanti-wanti aku kan untuk membantu pekerjaannya. Padahal dia jelas tahu kalau tubuhku ini masih lelah bukan main.     

Tiba di hadapan mereka. Mataku bertatapan dengan Paman Sosro. Aku pun menyapanya dengan senyuman. Dan dia juga membalasnya. Memang kami tidak terlalu akrab. Bahkan terkesan saling sungkan, namun hal itu tidak bisa memungkiri kalau kami itu saudara. Selalin itu kami memang saling mengenal.     

Tiba-tiba dia menyapaku.     

"San…" sapanya padaku. Aku sedikit terkejut. Ternyata pamanku akan menyapaku terlebih dahulu. Sontak semua orang menatap kami. Terkecuali Mas Sardi pastinya. Kalalu dari silsilah keluarga Paman Sosro adalah Paman dari keluarga ayahku. Ada sedikit rasa canggung saat ia menyapaku.     

Simbok tiba-tiba memanggilku. Aku pun menuju ke arahnya. Ternyata ia memintaku untuk membawakan kopi panas dan ubi goreng kepada mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.