PERNIKAHAN TANPA RENCANA

45. Manusia dengan wataknya



45. Manusia dengan wataknya

0Lalu Mas sardi pun memberikan wejangan kepada mereka. Lebih tepatnya ia membagikan tugas-tugas kepada masing-masing karyawannya.     
0

Aku kembali ke hadapan mereka dengan sembilan gelas kopi dalam datu nampan. Kuberikan satu persatu kepada mereka. Sampai kepada pemuda terakhir.     

"Terimakasih." Ucapnya padaku. Aku sedikit terkejut mendengarnya. Sejak tadi tak ada satu pun yang mengucapkan kata itu. Namun aku menyempatkan diri untuk menoleh kepadanya lalu tersenyum sopan sebagai tanda keramah tamahan.     

Setelah menerima kopinya masing-masing, ternyata Mas Sardi pun sudah selesai dalam memberikan wejangannya. Nampaknya mereka sudah paham sama tugas mereka masing-masing. Mas Sardi pun mulai memperkenalkan aku kepada mereka semua.     

"oh ya… ini adikku. Namanya Santi." Ucap Mas Sardi. Ia lalu menyeruput kopinya dan kemudian mengambil posisi duduk di bok depan rumah. Diikuti semua karyawannya. Namun tak semua kebagian tempat duduk. Termasuk pemuda yang mengucapkan terima kasih tadi. Sehingga ia pun hanya berdiri sampil menyeruput kopinya sedikit demi sedikit.     

Seseorang pun langsung berdehem. Lelaki paling seram tampilannya yang memiliki kumis tebal dan berbaju lurik. Dia orang Madura itu.     

"Adikmu itu Di? Aku kira Mbok Dumi itu cuma ngelahirin laki doang. Ternyata ada yang cantik juga ya." Ucap abang Madura itu tentusaja dengan logat khasnya.     

Terdengar mereka sudah begitu dekat dengan simbok dehingga mereka punya panggilan yang unik untuknya.     

Aku tersenyum canggung dan juga sedikit malu.     

"Jangan msacam-macam kamu Wo. Anumu kalau ditendang dia bisa nggak doyan kopi kamu." Sontak lelaki yang ternyata bernama Jarwo itu bertingkah konyol dengan memegangi juniornya dan mengundang gelak tawa seluruh orang di sana.     

Waktu berbincang-bincang pun berakhir. Matahari sudah mulai meninggikan posisinya dari semula. Mereka baisanya di bagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama ke hutan mencari kayu, kelompok kedua pergi ke ladang merawat sawit. Namun karena sekarang adalah musim tebang hutan, jadi kelompok yang pergi ke Musi lebih banyak. Untuk mengikuti tebang kayu di sana.     

"Seperti yang sudah saya bagi. Maka bekerjalah sesuai tugas kalian. Santi kamu ikuti Santo. Bantu juga pekerjaan dia di ladang." Aku memutar bola mata mendengar ucapan Mas Sardi yang sarat akan perintah itu.     

"Kamu nanti pimpin jalan ya To. Ajarin juga kerja di ladang. Jangan biarin dia nganggur." Laki-laki yang bernama Santo itu pun mengangguk sementara aku menatap Mas Sardi dengan malas meskipun aku yakin Mas Sardi pasti tak akan peduli.     

Kemudian semua orang pun siap dengan posisinya. Termasuk Santo dan aku.Mas Sardi dan anak buahnya menuju ke arah timur sementara aku dan Santo menuju ke arah Barat.     

Perjalanan kami terlihat canggung. Awalnya aku berjalan mengekor di belakangnya, namun kemudian Santo menyuruhku jalan bersisian dengannya. Dia bilang takut kalau misalnya aku di terkam binatang buas. Aku bergidik ngeri mendengar ucapannya itu. Jadi kuputuskan untuk mengikuti perintahnya.     

"Biasanya sampean pulang jam berapa ya Mas?" tanyaku untuk memecah keheningan.     

"Biasanya ya sore Mba…menjelang gelap itu. Tapi kalau ada Mba ya nanti kita agak siangan baliknya." Jawab Santo atas pertanyaanku.     

Sebenarnya langkah kai kita itu tidak sama. Aku cenderung pelan dan dia cenderung cepat. Tapi kareana dia mengikuti langkahku jadi terkesan perjalanan kita menjadi lambat. Namun terkadang dia juga lupa dengan langkah kakiknya sehingga aku harus berusaha keras mengejarnya dengan beralari.     

"Memangnya binatang buasnya enggak pada keluar apa pas malam hari?" tanyaku polos sambil tolah toleh ke kanan-kiri.     

"Ya banyak." Tiba tiba saja tatapanku terutju padanya. Ku sorot wajahnya apakah terdapat sebuah kebohongan. Namun nihil.     

"Memangnya sampean enggak takut apa?" tanyaku lagi dengan serius.     

"Ya takut." Jawab Santo.     

"laki-laki aja takut apa lagi aku yang perempuan." Ucapku lirih.     

"Ya kenapa tadi ndak bilang sama masmu." Ucapnya lagi. Mungkin maksudnya agar aku tidak di utus pergi ke ladang yang berbahaya ini. Dia pasti belum tahu kalau masku itu berdarah dingin. Alias ndak bakalan peduli walaupun aku dalam bahaya diujung tebing sekalipun.     

"Udah berapa tahun kerja sama Mas Sardi?" Tanyaku padanya.     

"Kenapa Tanya itu?" Dia malah mengajukan pertanyaan balik kepadaku. Aku memutar bola mata sebal.     

Tinggal jawab apa susahnya sih. Batinku.     

"Ya kalau sudah lama kerja sama dia pasti tahudong sifatnya. Kalau baru kemaren ya aku maklumin." Jawabku kesal.     

"Aku sudah bisa menebak kok walaupun baru kerja kemarin. Bukan kemarin sih tepatnya baru satu tahun." Ucapnya     

"Satu tahun? Itu lama lah.."     

"Ya tapi Mas mu itu orangnya profesional. Enggak bakalan campur adukkan emosi pribadi sama pekerjaan."     

"Terus kamu tahu dari mana karakter masku itu?" tanyaku.     

"Semua orang juga tahu." Jawabnya.     

"Tahu apa?"     

"Tahu kalau Mas mu itu kalau merintah gak boleh di bantah. Ya kan?" Ia menoleh kepadaku. Aku pun terdiam. Karena memang benar karakter Mas Sardi seperti itu.     

Aku terdiam. Langkah kami terus beriringan. Aku menatapnya. Sepertinya dia orang yang penurut. Terbukti Ia sampai satu tahun betah mengikuti Masku yang berwatak buruk itu.     

Hampir saja aku terjatuh tersandung akar. Aku mengaduh meski tak sempat jatuh ke kubangan air. Respon cepat Santo berhasil menyelamatkanku dari peristiwa beberapa detik yang lalu itu.     

Jantungku berdebar cepat karena terkejut.     

"Hampir saja kamu masuk kubangan babi." Ucapnya. Lalu kita pun melanjutkan perjalanan.     

"HAH!" Sontak aku terkejut dengan ucapannya. Dia terlihat menutup telinga menanggapi respon berlebihanku. Melihatnya melakukan itu aku pun mengerucutkan bibirku kesal. Ngomong-ngomong sudah berapa kali aku kesal dengannya dalam perjalanan yang belum sampai satu jam ini.     

"Tolong di kecilkan suaranya. Kamu bisa membangunkan macan kalau begitu caranya."Racaunya. Aku sontak menutupi mulutku dengan telapak tanganku dan kemudian tolah-toleh ketakutan.     

Tiba-tiba dia tertawa dengan keras. Aku pun mengerutkan dahi. Menyadari bahwa sebensrnya aku sedang di kerjai olehnya. Aku pun menimpuk bahunya. Terlihat dia kesakitan. Meski begitu aku sama sekali tak merasa bersalah. Itu hanyalah hukuman kecil untuk kejahilannya membuat rasa takutku bangkit.     

Dia mengaduh. Namun aku tak merasa cukup dengan satu pukulan. Aku pun hendak menimpuk lagi. Namun dia berlari. Aku mengejarnya. Dan dia malah tertawa mengejek. Sungguh membuat gusar bukan kepalang. Benar-benar menyebalkan. Ekspresinya benar-benar mengejekdan emang cocok banget untuk di timpuk.     

Dia terus berlari tapi aku tak punya tenaga lebih untuk mengejarnya. Aku pun pura-pura loyo. Atau sebenarnya memang loyo dikarenakan faktor usia. Dia berlari kembali untuk ke arahku. Wajahnya terlihat menyesal.karena membuatku kelelahan. Namun sayangnya Ia sedang masuk ke dalam perangkapku. Karena sedetik kemudian aku meraih telinganya dan memutarnya dan sambil berjalan terus kukatakan.     

"RASAKAN YA! RASAKAN TUKANG KIBUL…" Ucapku dan dia pun terlihat kesakitan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.