PERNIKAHAN TANPA RENCANA

46. KECELAKAAN DI LADANG



46. KECELAKAAN DI LADANG

0Tiba-tiba aku merasakan hal yang aneh. Hmm... kita memang terlihat seperti seumuran. Dia juga tidak menampakkan sikap segan padaku. Biasanya akan sangat menyenangkan berteman dengan lelaki seperti dia. Aku melepaskan jemariku dari telinganya yang mulai memerah. Dia nampak pasrah dan terus menggosok-gosok telinganya yang pasti terasa sakit.     
0

Aku meringis. Merasa bersalah.     

"Aku benar-benar minta maaf. Karena saudaraku semua laki-laki jadi tingkahku seperti ini di depan laki-laki yang belum ku kenal. Aku kelewatan. Maaf ya To." Ucapku dengan tulus.     

Sementara Santo masih sibuk menggosok-gosok telinganya dengan tangannya. Wajahnya terlihat kesakitan. Aku semakin merasa bersalah.     

"Maaf sama ndak itu sama saja Nti. Sama saja sakitnya." Aku meringis karena Ia menjawab seabsurd itu. Namun aku juga meringis karena tiba-tiba dia memanggil namaku.     

"Ya senggaknya kan hatinya lega To." Jawabku lirih dan menyesal. Tiba-tiba saja kami menjadi seakrab ini. Namun ternyata Santo beranggapan lain. Untuk itu aku malu dan menyesal.     

"HAHAHA" Tiba-tiba dia tertawa keras. Dahiku mengernyit. Tak mengerti dengan tingkah lakunya ini.     

"Lihat Nti.. Lihat... hahaha... di rambutmu ada ulat.. hahha besar sekali." Sontak aku menggelinjang kegelian juga ketakutan.     

Santo masih menemaniku berjalan menuju ke ladang. Atau sebenarnya malah sebaliknya. Sebenarnya aku yang menemani dia. Sesekali aku berhenti karena lelah. Sudah lama sekali aku tak berjalan sejauh ini. Biasanya juga hanya pergi ke pasar yang tentu saja enggak jauh-jauh amat.     

Melihat bagaimana kita bercengkerama. Sepertinya Santo ini memang mudah diajak bergaul. Aku sendiri penasaran berapa sebenarnya usianya. Aku tersenyum. Boleh lah kalau aku tanyakan usianya.     

"Berapa umurmu Nti?" Dia menatapiku. Aku terkejut. Seharusnya pertanyaan itu milikku. Aku menoleh ke arahnya. Pandangan kita bertemu. Dan kusadari hidung mancungnya itu membuatnya terlihat berkharisma. Aku mengerjapkan mata. Dia menyadarinya.     

"Kenapa? Aku hanya tanya umurmu. Bukan statusmu." Ucap Santo padahal aku belum mengatakan sepatah kata pun.     

Aku melanjutkan langkahku. Terus di ikuti oleh Santo. Ku betulkan raut mukaku.     

"Tidak. Dari tadi kamu terdengar seperti orang tua." Kamu kataku? Kenapa tiba-tiba jadi kamu?     

"Maksudmu?" Santo tak mengerti pengalihan topik pembicaraan yang ku buat.     

"Biasanya orang baru akan memanggilku San. Bukan Ti. Itu terdengar norak" Ucapku jujur. Semoga dia tidak merasa bahwa aku ini orang yang aneh.     

"Cuma masalah nama." Sahutnya lagi.     

Aku cemberut mendengarnya. Ya memang cuma masalah nama. Tapi kenapa terdengar menyebalkan mendengar jawaban datarnya itu.     

Aku tidak tahu seberapa jauh lagi perjalanan untuk sampai ke ladang Mas Sardi. Tapi jujur saja, ini cukup melelahkan buatku. Sudah hampir satu jam dan belum ada tanda-tanda kami harus berhenti.     

Selain perjalanan yang kukira sejak tadi mungkin berpuluh meter. Medan yang kamu lewati terkadang juga cukup sulit. Berbeda dengan di Jawa. Kebanyakan ladang sudah milik pribadi. Sehingga kita akan bertemu dengan pemiliknya seiring saat perjalanan. Memberikan rasa aman saat itu juga.     

Namun sejak dari rumah Mas Sardi hingga sejauh ini. Aku hanya menemukan hutan di kanan kiri. Belum lagi belukar-belukar yang tinggi-tinggi. Beberapa kali aku melihat ladang yang di bakar. Tidak sekali pun aku berpapasan dengan orang. Tidak ada tanda-tanda perjalanan ini akan berakhir.     

Santo menghentikan langkahnya. Aku pun mengikutinya. Sedikit terkejut karena tiba-tiba saja dia berhenti. Kemudian Ia berbelok ke arah kiri. Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Sebuah jembatan seadanya yang terbuat dari batang pohon. Dia bermaksud membantuku melewati jembatan itu. Aku meraih tangannya dengan cepat dan berhasil melewati jembatan itu dengan mulus.     

Kukira akan sulit melewati jembatan itu. Ternyata lebih mudah dari pada jembatan yang biasa ia temui di sungai-sungai daerah Jawa. Kebanyakan di sungai Jawa jembatan dibuat dari bambu. Sudah banyak yang menggunakan cor-coran sih. Tapi masih banyak yang menggunakan bambu juga. Bambu yang di anyam sedemikian rupa dan di gantung hingga membentuk jembatan di atas sungai dan siap untuk di lewati.     

Kukira perjalanan selesai. Ternyata masih banyak sekali ku temukan semak belukar. Aku menghela nafas. Sebenarnya sudah sedikit lelah.     

"Apa masih jauh perjalanan kita?" Tanyaku.     

"Tidak. Sebentar lagi." Ucapnya sambil menunjukkan jalan.     

Kami terus berjalan melewati semak demi semak. Sampai lima belas menit kemudian kami menemukan jembatan kembali. Namun kali ini aku merasakan udara segar. Jembatan kecil itu menghubungkan kami ke sebuah pondokan. Nampak kepulan asap dari jauh. Aku tersenyum melihat tanda-tanda kami akan berhenti. Karena beberapa meter lagi kita pasti akan berhenti di pondokan.     

"Wahh..." Ucapku sambil berlari ke pondokan itu.     

Pondokan berbentuk panggung, materialnya terbuat dari papan-papan kayu keras. Cukup tinggi sehingga bisa menjadi sarana untuk memantau ladang. Selain itu bisa menjadi tempat berlindung dari binatang buas.     

Aku segera naik ke atas pondok. Kulihat beberapa perabot dan pakaian yang terslampir. Benar-benar seperti rumah.     

"Apa kalian juga tidur disini?" tanyaku pada Santo sambil melongoknya di bawah yang sedang meletakkan cangkulnya. Ia meregangkan badannya. Enggan naik ke atas.     

"Ya. Kalau pas musim babi." Jawab Santo     

"Hah? Babi? Apa ada musim harimau juga?" Tanyaku.     

Santo memutar bola matanya dengan pertanyaan absurdku. Aku kembali ke dalam dan membuka jendela agar cahaya masuk. Kurapikan pakaian-pakaian entah milik siapa. Ku ambil sebuah panci dan menuju keluar.     

"Hei.. apa kau mau kopi?" tanyaku sambil mengangkat panci di kedua tanganku.     

"memangnya ada kopi?" tanyanya. Aku mengangguk mengiyakan.     

Aku kembali masuk dan menunjukkan kopi instan berbungkus plastik merah di tanganku itu yang kutemukan berserakan di lantai pondok itu. Santo kemudian menuju tungku. Bermaksud membuatkan api. Aku segera turun.     

"Di mana aku harus mengambil air To?."     

Santo menunjuk sungai hitam yang tadi kami lewati.     

"Apa? Air berwarna hitam itu?" Ucapku sambil merasa jijik.     

"Ambil saja." Ucapnya.     

Aku pun menuruti perintahnya. Aku menuju sungai kecil yang tadi kita lewati dan mengambil air sekenanya. Ternyata bukan airnya yang berwarna hitam. Tapi dasar tanahnya lah yang berwarna hitam. Mungkin karena pengaruh tanah gambut. Sehingga warnanya hitam. Selain itu terdapat beberapa serangga yang ada di atasnya. Menandakan air tersebut cukup sehat untuk di konsumsi makhluk hidup lainnya.     

Gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk. Kemudian menumpuk dan menumpuk di atas tanah dan kemudian berfungsi menjadi tanah itu sendiri. Gambut yang terbentuk pada sekitar tahun tersebut dikenal sebagai gambut pedalaman.     

Aku pun kembali ke pondok yang telah mengepul api dari tungku yang tadi Santo buat. Ku taruh panci berisi air di atasnya. Kulihat Santo tidak ada di sekitar sini. Mungkin dia berada di atas. Pikirku. Ya benar saja. Santo turun dari atas dengan rokok di mulutnya dan kaos lengan panjang di tangannya.     

Badannya yang kekar terpampang jelas olehku. Aku memalingkan muka. Santo pun bergegas memakai kaosnya. Dengan santainya Ia menatap aku yang malu.     

Kulihat panci mulai berbunyi. Artinya air di dalamny akan segera mendidih. Kuambil gelas berbahan plastik di rak buatan dari kayu yang berada di sisi tungku. Kayunya yang menghitam berkat terkena asap dari tungku. Ku buka dua sachet kopi dan kumasukkan ke masing-masing gelas. Kububuhi gula secukupnya.     

Tiba airnya mendidih kuisikan ke dalam gelas tadi.     

"Ini kopimu." Santo hanya diam. Lalu meraih gelas yang kuberikan. Di sini satu-satunya yang vokal memang aku. Santo hanya berbicara seperlunya.     

Ia menyesapnya pelan. Lalu meletakkannya di pinggiran lantai atas.     

Ia bergegas pergi.     

"Mau ke mana?" Tanyaku.     

Ia menoleh lalu menjawab. "Kerja."     

Aku pun mengekorinya saja. Ku pikir aku harus ikut sebelum aku merasa bosan sendirian di sini.     

Kuikuti langkah kaki Santo. Ternyata berjalan di atas gambut basah benar-benar berbeda dari berjalan di atas tanah biasa. Kerap kali kakiku terperosok ke rerimbunan daun kering yang telah membusuk itu. Akar-akar juga acap kali menyandungku. Mungkin dalam pikiran Santo saat ini adalah kesal karena aku terlalu ceroboh untuk wanita setua ini. Beberapa kali Santi harus menghentikan jalannya karena harus menolongku. Dan beberapa kali pula Ia merasa kesal.     

Kali ini apa lagi?     

Itu mungkin yang ingin Santo katakan. Sementara aku hanya memasang wajah memelas supaya dia menolongku.     

"aghhh.!" Sepatu buts ini sebenarnya memang berguna melindungi kakiku. Tapi seimbang dengan risiko mencederaiku. Karena selai terlalu berat, sepatunya juga longgar. Ukuran kakiku dan Mba Ranti apa beda? Atau mungkin sepatu buts memang selalu berukuran lebih besar?.     

Kenyataannya sekarang aku keseleo. Dan betapa menyebalkannya wajah merah Santo yang menatapku kesal. Hei... ini kecelakaan. Bukan sepenuhnya salahku. Daripada melotot saja sebaiknya dia membantuku sekarang. Pantatku sudah mulai rembes dari air tanah saat ini.     

Dia menghampiriku menghampiriku. Semakin dekat dengan wajahnya semakin terlihat. Dia tidak kesal dia khawatir. Ia menatapku yang kesakitan tapi tetap menatap dengan kesal. Lalu Ia menghela nafas. Tapi dia tetap menunjukkan rasa kesalnya. Dasar tidak tahu caranya jaga hati wanita.     

"Merepotkan." Gumamnya lirih.     

Aku mendelik dan merengut. Ingin sekali ku sepak dia tapi kakiku sedang kesakitan. Dan lagi satu-satunya yang bisa menolongku hanya dia. Aku tidak mungkin menjahatinya kali ini. Tapi aku tetap tidak terima dengan anggapannya meski benar.     

"Kalau begitu tidak usah repot-repot membantuku." Ucapku untuk mempertahankan harga diriku.     

"Jadi mau di bantu siapa? Harimau?" Jawabnya yang semakin membuatku sebal. Dia melepas sepatu butsku. Kemudian membopongku ke pinggir. Di bawah pohon asem tanahnya kering dan padat berwarna putih. Serta ada sedikit rerumputan.     

Dilihatnya kakiku. Lalu di pegangnya pelan-pelan. Meski begitu aku tetap kesakitan. Nampak memar pada mata kakiku. Dilihatnya sekeliling kakiku.     

"Kalau tidak diobati ini akan segera bengkak. Bisa kan diam saja di sini sebentar. Pegang ini. Kalau ada serangga mendekat." Ucapnya kemudian. Dia memberiku sepucuk ranting. Aku melihat ranting yang Edi berikan. Lalu mengernyitkan dahi. Memang ini bisa mengusir serangga. Tapi kalau yang datang harimau bagaimana?     

"Ini?" Aku menodongkan ranting itu kepadanya yang sudah berdiri.     

"Kenapa?" Tanyanya.     

"Serius?" Tanyaku lagi.     

"Kamu pikir harimau mau makan gadis ceroboh seperti kamu?" Ucapnya seolah mendengar pikiranku. Dia berbicara hal aneh lagi.     

Aku hanya mencebik sambil menatap punggungnya yang kini menghilang di antara pepohonan. Mulutku mengerucut lalu ku mainkan ranting itu dengan kugores-goreskan ke tanah sehingga menimbulkan suara SREK SREK.     

Beberapa saat kemudian Santo pun kembali. Ia membawa dedaunan yang sudah ditumbuk. Aku mengernyitkan dahi. Santo mendekatiku Ia kemudian duduk dan menarik kakiku. Ia meraba-raba bagian yang mulai bengkak itu. Aku sedikit mengaduh. Karena memang terasa sakit.     

"Tunggu dulu sebentar." Ucap Santo lalu meninggalkanku lagi. Namun kemudian Ia berbalik dan memutar bola mata. Aku kebingungan namun sebal melihat tingkahnya.     

"Kamu itu. Berat." Ucapnya. Dia tiba-tiba memapahku. Sedikit membuatku terkejut. Namun rasa sebal kemudian menjalar berkat ucapannya yang menyinggung berat badanku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.