PERNIKAHAN TANPA RENCANA

47. PENGOBATAN



47. PENGOBATAN

0Saanto memapahku ke pondok. Meski ia sedikit meringis saat harus menaiki tangga. Namun akhirnya aku sampai juga di pondok itu. Keringat menetes di pelipisnya. Ingin ku seka. Tapi ku urungkan. Aku jelas tahu itu pasti karena berat badanku. Tapi harga diriku sulit menerima fakta itu. Tetap saja dia itu tipe orang menyebalkan bagiku. Di depan wanita, seharusnya berpura-pura saja Ia menganggap tubuhku seringan kapas. Itu adalah etika bukan?     
0

"Sebaiknya biarkan aku berjalan sendiri. Ndak usah sok kuat begitu. Entar tulang punggungmu rontok baru tahu rasa." Ucapku. Dia menoleh kepadaku dengan tatapan dingin.     

"Memang sudah rontok." Ucapnya. Ya ampun laki-laki ini benar-benar berdarah dingin. Bagaimana mungkin dia memperlakukan wanita dengan sikap seperti itu. Pantas saja masih bujang. Eh.. apa dia masih bujang ya? Atau sudah punya istri?     

"Kalau tidak mau di papah memangnya siapa yang mau mapah kamu?" Tanyanya. Aku hanya manyun menanggapinya. "Nunggu pangeran datang? Ya ndak bakalan ada? Yang ada pangeran king kong entar." Ucapnya semakin mengejek.     

"Ya biarin aku jalan sendiri. Kelihatan gitu enggak ikhlas." Aku mendengus.     

"Kalau kakimu di bawa jalan, entar kakimu makin bengkak. Mau? Aku yang ndak mau kamu semakin menyusahkan aku" Aku melengos mendengar kalimat terakhirnya itu. Benar-benar tidak punya hati.     

Lantai yang tersusun dari papan kayu itu kini menopangku. Tidak lagi tangan menyebalkan dsri orang yang bermulut pedas itu. Si Santo. Fyuhh... laki-laki menyebalkan yang baru pertama kali ku temukan di dunia ini. Tapi tetap saja untungnya dia mau repot untukku. Aku harus berterima kasih setelah ini selesai.     

Dia kemudian keluar untuk mengambil ranselnya. Kemudian Ia kembali dan kini duduk di hadapanku. Ia melihat-lihat bagian kakiku. Ternyata semakin bengkak. Padahal aku sejak tadi hanya diam menuruti perintahnya.     

Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari ranselnya itu. Sebuah bungkusan yang terbuat dari daun pisang. Ia lalu membukanya. Ternyata berisi tumbukan rempah. Dengan pelan Ia bertingkah seperti seorang tukang pijat sungguhan. Tanpa rasa sakit ia memijat bagian kakiku yang terkilir. Setelahnya Ia baru membubuhinya dengan rempah yang Ia bawa itu.     

Terasa dingin saat rempah itu di tempelkan. Belum terasa efeknya namun aku tidak membantah sama sekali apa pun yang dilakukannya kali ini. Dengan telaten Ia mengusap setiap bagian kakiku yang memar.     

Kemudian Ia berdiri. Sepertinya sudah selesai proses pengobatannya. Ia lalu mengambil ransel yang Ia bawa tadi. Lalu berjalan dan menimbulkan bunyi pada setiap langkah kakinya yang beradu pada papan kayu itu. Ia menuju sisi dinding sebelah kiri. Bermaksud mencantelkan tas ranselnya itu.     

Aroma kencur menguar. Ternyata ramuan yang di buat oleh Santo adalah kencur. Aku mengernyitkan dahi. Baru tahu kalau kencur bisa jadi obat. Yang aku tahu kencur itu bahan untuk membuat bumbu saat memasak.     

Kulihat kakiku ternyata cukup bengkak. Selain itu kini semakin mati rasa. Apa separah itu ya? Kukira hanya terkilir kecil. Tadi pas terkilirnya tidak berasa apa pun. Baru terasa saat sudah lama. Kakiku benar-benar tidak bisa digunakan untuk berjalan. Dan semakin lama pun terlihat semakin bengkak.     

"Sudah bengkak. Dan akan terus bengkak." Ucapnya. Mungkin dia melihat aku yang memandangi kakiku.     

"Terus fungsinya rempah yang kamu olesin apa?" Tanyaku polos.     

"Itu hanya memperlambat pembengkakan."     

"Terus?" Tanyaku lagi.     

"Ya terus kamu ndak bisa jalan." Jawabnya.     

Aku menghela nafas. Lalu bagaimana nanti aku pulang? Batinku. Aku yakin ini tidak seserius itu.     

"Kalau dipaksakan akan makin parah. Aku bukan tukang urut. Ndak tahu bagian mana uratmu yang terkilir." Ucapnya dengan serius.     

"Terus maksudmu aku harus nunggu tukang urut baru bisa pulang gitu?" Tanyaku dengan kesal padanya. Meski ini bukan kesalahannya.     

"Hmmm... ya enggak tahu" Jawabnya dengan santai mengangkat bahunya.     

Hmhh ya Tuhan... aku benar-benar menahan nafas menghadapi ciptaan Tuhan yang satu ini. Kenapa setiap ucapannya tadi seolah menunjukkan dia yang begitu tidak bertanggung jawab?     

"Untuk sementara kamu di sini dulu. Kencur ini bisa meredakan memar setidaknya walau sedikit. Kalau bisa reda berarti bisa sembuh dengan cepat. Kalau ndak ya aku ndak tahu." Ucapnya lagi-lagi seperti membawakan kabar buruk.     

Tiba-tiba dia beranjak. Dan langkah kakinya pun membawanya ke arah luar.     

"Mau ke mana?" tanyaku tiba-tiba. Ia lalu menoleh.     

"Ya Kerja." Jawabnya santai. Benar juga dia masih harus kerja. Sebenarnya apa yang ku khawatirkan?.     

"Aku akan berpesan sama pemilik ladang sebelah. Rumahnya kan sebelah rumahmu. Jadi nanti biar di sampaikan kepada keluargamu tentang kondisimu. Biar enggak khawatir." Aku pun hanya diam tanpa sepatah kata pun     

Dia pun keluar dari pondok ini. Dan kemudian menghilang dari pandanganku.     

Alhasil aku duduk sendirian di dalam pondok ini sekarang. Seandainya aku kebelet kencing pun harus ku tahan hingga si Santo kembali ke sini. Aku tidak punya pilihan lain selain bercengkerama dengan diri sendiri seperti orang gila. Terkadang bernyanyi, terkadang mengetuk-ketuk lantai dan sesekali menghidup matikan radio.     

Kuperhatikan sekeliling ruangan petak yang tak terlalu luas itu. Seluruh material yang hampir tujuh puluh persen menggunakan kayu lempengan. Tangga pun terbuat dari kayu lempengan. Beberapa baju sepertinya milik banyak orang terslampir sembarang di sebuah tancapan paku yang di huat seadanya. Perkakas seperti piring dan gelas semua terbuat dari bahan plastik sama sekali tak tersusun rapi. Ia berserakan di pojok kiri setelah pintu masuk.     

Aku menemukan sebuah radio tape. Sudah terlihat usang. Sepertinya sudah usang. Terlihat beberapa sawang nampak m3nempel di bagian-bagian tertentu badan radio itu. Aku lalu berusaha mengambilnya. Satu-satunya yang bisa ku lakukan adalah ngesot. Maka aku pun ngesot ke arah pojok pondok ini untuk mendapatkan radio tersebut.     

Berhasil. Akhirnya radio tape itu berada di tanganku. Sekarang tinggal ku bersihkan dan kunyalakan. Ternyata setelah selesai ku bersihkan. Radio itu membutuhkan antena. Kuperhatikan sekeliling. Ada sebuah kabel memanjang ke atas. Ku pikir itulah antena yang cocok dengan radio ini. Benar saja. Kabel itu ku kaitkan dengan antena sebenarnya dsri radio. Dan akhirnya benda kotak itu pun bersuara.     

Radio tape berwarna merah yang berada di pojokan itu ternyata masih berfungsi dengan sangat normal. Ku ambil dengan susah payah berjalan dengan cara ngesot seperti suster ngesot saja. Dan akhirnya radio itu berada pada genggamanku. Dan kini menemaniku dengan suaranya yang terkadang jelas dan terkadang rusak.     

Tidak kusangka pada akhirnya aku pun tertidur lelap. Namun aku di sadarkan oleh derap kaki yang membuat lantai menimbulkan bunyi. Itu pasti Santo. Siapa lagi kalu bukan dia. Sementara radi pun masih setia berbunyi dengan lagu-lagunya. Santo mendekat ke arahku. Ia lalu memegang kakiku untuk melihat bagaimana kondisinya. Sepertinya tak ada kemajuan. Aku pun membuka mataku. Wajahnya hanya datar menatapku. Tiba-tiba perutku berbunyi di hadapannya. Aku malu bukan main. Wajahku memerah bak udang rebus.     

Santo berbalik dengan tatapan yang masih datar. Seolah tak ada kata apa pun yang bisa dia ucapkan padaku. Ku dengar Santo mulai turun dari tangga. Aku pun berinisiatif untuk mengintipnya. Ternyata dia sedang merebus ubi. Ubi berwarna ungu yang terlihat besar-besar. Aku tersenyum memperhatikannya. Sekalipun sikapnya dingin, tetapi sebenarnya perilakunya begitu hangat. Sehingga aku tidak perlu khawatir akan kelaparan hingga esok hari.     

Dia berbalik arah. Sepertinya akan kembali ke atas. Aku pun memposisikan diri seperti semula. Sampai akhirnya Santo memasuki pondok dan menghampiriku. Aku mengerutkan dahi karena Ia membawa sebuah wadah berisi cairan panas yang mengepulkan asap.     

Dia duduk di hadapanku. Ia lalu membuang rempah kencur yang menempel di kakiku. Bermaksud menggantikan dengan yang ia bawa saat ini. Wadah itu berisi daun-daunan yang direbus. Aku tahu daun apa yang ia rebus. Tapi kemudian ia memasukkan daun-daun itu ke dalam kain dan memerasnya. Keluarlah cairan warna hijau itu dari pori-pori kain. Kemudian ia pun menempelkan kain itu ke kakiku. Terasa hangat menjalar. Meski terasa ngilu namun akhirnya terasa enteng juga di kaki yang lebam itu.     

"Kalau sakit bilang saja sakit." Ucapnya. Memang aku ini sedang merasa sakit dodol. Ingin kusembur dia dengan kata-kata itu namun mulutku tak sampai untuk mengucapkannya.     

Tiba-tiba perutku berbunyi lagi. Dia tertawa mendengarnya. Aku lagi-lagi malu di hadapannya. Dia menatapku dengan tatapan yang mengejek. Aku melengos malu. Dia lalu bergegas turun dan kembali dengan se nampan ubi rebus yang masih panas.     

Aku pun tersenyum semringah. Ia lalu menaruhnya tepat di hadapanku. Aku mengerucutkan mulutku karena tahu dia sedang mengejekku.     

Tapi sepertinya pikiranku salah. Ia lalu memberiku sebuah kipas tangan dan menyarankanku untuk mengipasinya lebih dulu sebelum memakannya agar panasnya berkurang. Santo lalu beranjak. Ia pergi menuju teras. Ia lalu membuka bajunya. Duduk dengan menggantungkan kakinya ke bawah. Kemudian menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya dan membuang kepulan asapnya ke udara.     

Aku memperhatikannya dari dalam. Melihat hanya punggungnya yang penuh keringat dan kekar. Mungkin dia merasa lelah. Sehingga dia mengistirahatkan diri sejenak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.