PERNIKAHAN TANPA RENCANA

49. PENEBANGAN



49. PENEBANGAN

0Rencananya menjelang sore ini aku dan Santo akan pulang. Kami merapikan apa yang harus kami bawa pulang. Aku merasa kenyang setelah menyantap ubi bakar yang di buatkan Santo. Meski Ia seharian bekerja, dia merawatku cukup baik. Kita memilih waktu yang tepat untuk pulang sebelum Ashar menjelang. Karena kita tidak mau gelap gulita saat perjalanan nanti.     
0

Santo menarik tas yang kugendong. Ia bermaksud membawanya. Aku hendak merebutnya kembali namun Ia kekeh untuk menggendongnya. Padahal dia sendiri masih membawa cangkul. Di sepanjang perjalanan kami berjalan lambat karena Santo tahu kakiku belum sepenuhnya pulih. Jalanku saja masih sedikit pincang. Tapi tak ada yang perlu di khawatirkan.     

Akhirnya aku sampai di pekarangan belakang rumah Mas Sardi setelah perjalanan panjang yang kami lewati. Hari menjelang magrib. Di luar sudah terlihat petang. Aku tidak menyangka ada jalan pintas di sekitar sini. Tepatnya belakang rumah Mas Sardi. Melewati rawa-rawa atau tambak Mas Sardi akhirnya aku dan Santo sampai di pintu belakang. Aku mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Alhasil aku pun menuju depan. Dan ternyata Simbok sedang menyapu pekarangan.     

"Mbok."ku kuketuk Pintu dan ku panggil Simbok.     

Simbok lalu membuka pintu. Ia menghampiriku dan Santo. Ia memukul kecil punggungku lalu merangkulku. Nampak raut khawatir di pelupuk matanya.     

"Ayo masuk dulu." Ajak Simbok padaku dan Santo.     

"Nggeh mbok." Jawab Santo mengikuti langkah kita.     

Seperti biasa, kami duduk di ruang belakang. Yang sudah beralih fungsi menjadi ruang tamu, ruang keluarga, bahkan ruang makan.     

Santo duduk dan menyerahkan tasku. Ia terdengar sedikit menghela napas. Mungkin kelelahan.     

"Capek To?" Ucap Simbok sambil menuangkan dua gelas air satu untukku satu untuk Edi. Sementara aku meninggalkan mereka berdua untuk menaruh tasku.     

"Kerja ya capek mbok." Ucap Santo pada Simbok.     

Simbok lalu duduk di bangku resbang berhadapan dengan Santo. Aku pun mendekati mereka. Sebelumnya ku raih gelasku. Hendak ku minum cairan di dalamnya namun Simbok menarikku duduk. Alhasil aku meminumnya setelah duduk.     

"Gimana kejadiannya To? Kok bisa-bisanya kaki anakku keseleo." Tanya Simbok pada Santo.     

"Hanya kecelakaan kecil mbok. Nggak tahu itu anak simbok gimana. Punya kaki dua kok.masih saja keseleo" Ucap Santo melirikku. Aku pun memberikan tatapan sinis kepadanya. Simbok lalu memukulku agak keras. Mungkin karena gemas dengan kelakuanku. Aku mengaduh lalu kuusap-usap punggungku.     

"Kamu itu gimana. Ndak hati-hati. Ceroboh. Bikin simbok khawatir. Mana enggak ada orang yang bisa jemput kamu. Ceroboh sukanya. Selaluuuuu begitu dari dulu." Ucap Simbok mengomel.     

"Ah Simbok itu selalu. Tupai aja mbok kalau melompat kadang jatuh. Apalagi aku yang ndak bisa melompat." Aku lalu menyingkir dari Simbok yang berusaha menimpukku lagi.     

"Kamu yaa Ntiii... kalau di kasih tahu sama Simbokmuu seelaluuuu bawel. Ada aja alesannya. Anak nakal kamu ya." Cerocos Simbok yang semakin kesal denganku. Santo tertawa melihat kelaukan anak dan ibu yang satu ini.     

"Mbak Ranti di mana Mbok?" Tanyaku untuk mengalihkan topik pembicaraan.     

"Ndak usah ngalihin omongan kamu." Jawab Simbok.     

"Santi itu kecapean mbok. Dia juga sempat demam pas malamnya." Tutur Santo tiba-tiba.     

"Ealah Ndok... ya sudah ku duga bakal seperti itu. La eong baru aja sampai kok sudah di suruh kerja. Tapi lah ya gimana mas mu itu kalau punya kemauan ya gak mau di tolak." Ucap Simbok pada kami.     

Aku duduk kembali di sisi Simbok. Tiba-tiba simbok mengelus rambutku. Wajahku langsung memelas padanya.     

"ealah... ndok ndok. Kamu itu kalau capek hla yo ngomong. Jangan mau-mau aja di suruh kang mu." Ucap simbok. "Aku ya ndak tahu apa-apa kalau kamu ndak ngomong. Aku kira malah kamu itu sumpringah ditawari kerjaan masmu. Kalau ndak ngapa-ngapain malah takutnya kamu itu bosan." Ucapnya lagi.     

"ya gimana. Mas Sardi aja yang gak peka. Udah tahu baru nyampe udah main nyuruh-nyurjh aja. Ntar ndak di turutin ngembekkk... dasar!" Ucapku kesal pada kakak sulungku itu.     

Ternyata Mas Sardi belum pulang. Aku tidak tahu kalau mbelah itu bisa berhari-hari. Kata Simbok bisa tiga hari sampai seminggu. Bahkan jika mendapat kayu yang sangat besar bisa memakan waktu sampai satu bulan. Aku geleng-geleng kepala mendengar penuturan Simbok saat itu.     

Rencananya malam ini Simbok akan memanggil tukang urut untukku. Akhirnya kakiku akan di sembuhkan oleh tenaga profesional. Simbok memanggil mbah Yiti orang yang akan mengurut kakiku. Malam ini adalah malam relaksasi untukku. Kata Simbok mbah Yiti ini masih saudara dengan kerabatku. Jadilah sepanjang malam aku disuguhi cerita tentang silsilah keluarga.     

Hari-hari pun berlalu. Sejak kepergian Mas Sardi dan anggotanya sudah berlalu hingga tiga hari. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan pekerjaan macam apa mbelah itu sampai harus memakan waktu berhari-hari bahkan hitungan bulan.     

Santo adalah anggota yang paling muda. Jadi dia lebih sering ditempatkan di ladang. Sebenarnya tugasnya mengajariku. Tapi karena peristiwa aku jatuh dua hari yang lalu. Simbok melarangku. Menunggu hingga aku sembuh katanya.     

Memang masku terkadang pikirannya tidak masuk akal. Dari pada Mas Sardi memang aku terkadang lebih memilih Mas Kardi. Mas Kardi lebih manusiawi bagiku dari pada Mas Sardi. Mungkin karena semenjak kehadiranku sehingga kasih sayang ayah terbagi padaku atau ada alasan lain. Aku juga tidak benar-benar paham. Hanya saja perangai Mas Sardi kepadaku terkadang sedikit menjengkelkan. Seperti kemarin, padahal belum genap sehari aku di rumahnya sudah di suruh kerja.     

Hari ini Santo pulang cepat. Ia bilang pekerjaan hanya sedikit. Cuma menyelesaikan memotong rumput yang tinggal sedikit. Jawabannya saat Simbok tadi bertanya. Ia membawa beberapa sayuran dan ubi dari ladang. Kemudian Ia menyerahkannya kepada Simbok. Sementara Simbok dan mbak Ranti sibuk masak di belakang aku malah asyik berbincang-bincang dengan Santo di teras belakang.     

Simbok berulang kali meneriakiku untuk membantunya. Namun aku beralasan kakiku belum terlalu sembuh. Hahaha... padahal aku lagi asyik-asyiknya berbincang dengan Santo mendengar pengalaman hidupnya.     

Ternyata Santo itu orang yang berpendidikan. Dia lulus SLTA. Itu cukup mengagumkan karena ndak semua orang bisa sekolah hingga ke tahap itu. Contoh saja aku. Bahkan sekolah dasar saja aku ndak lulus. Beruntung aku sudah cukup pandai baca dan tulis.     

Entah kenapa sekolah jaman itu begitu mengerikan. Guru di jaman kami sekolah terlalu tegas sampai-sampai muridnya kabur satu persatu. Beruntung jaman sekarang sedang di bangun serentak gedung sekokah dasar. Sehingga tidak ada lagi ceritanya anak tidak mengenyam pendidikan.     

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk akrab dengan Santo. Dia itu agak pendiam yang kurasakan tentang sifatnya. Tapi begitu kita mulai bicara padanya Ia juga akan membuka wawasannya. Aku sempat terkejut dengan latar belakangnya. Dia bilang dia bahkan lulusan pembangunan. Entah benar atau bohong. Namun Dia kekeh ingin menunjukkannya kepadaku suatu hari nanti.     

Santo pikir aku juga mengenyam pendidikan seperti dia. Katanya dari caraku bicara dan pola pikirku. Padahal kenyataannya aku bahkan tidak pernah lulus sekolah dasar. Yang aku tahu hanyalah cara membaca dan menulis.     

Aku menanyakan pekerjaan mbelah itu seperti apa kepadanya. Dia menjelaskannya kepadaku dengan rinci. Awalnya dimulai dari menyaring. Menyaring yang dimaksud Santo adalah mencari tanaman atau pohon mana yang cukup usia untuk di tebang. Biasanya seorang mandor menandainya dengan cat warna merah berikut dengan ukuran lingkar pohonnya.     

Karena mereka adalah kebanyakan bedol desa yang di pindahkan ke hutan belantara maka tidak ada yang mengawasi mereka. Apakah penebangan liar itu ilegal? Tentu saja. Namun pemerintah sendirilah yang mengirim mereka ke tengah hutan ini. Bukankah tujuannya memang untuk menjadikan hutan ini sebagai pemukiman baru?. Maka yang pertama harus dilakukan adalah membabat habis pohon-pohon besar. Meski mereka sama sekali tidak tahu dampaknya. Namun mereka melakukannya untuk bertahan hidup.     

Setelah ditandai, biasanya mandor mempunyai tanda pribadi. Alias setiap mandor capnya berbeda-beda. Hal itu untuk menghindari sengketa ke depannya. Meski hanya perjanjian saling percaya. Namun ketahuilah mereka itu orang-orang yang terhitung takut hukum alam. Siapa yang tidak jujur akan mendapat karmanya.     

Setelah pohon di tandai, biasanya mereka memilih lebih dari sepuluh pohon. Nah dari pohon yang di tandai itu mulailah mereka menebang satu persatu. Biasanya dibagi menjadi beberapa kelompok. Namun untuk pohon yang terlampau besar mereka akan menebangnya bersama. Untuk peralatan sendiri masih menggunakan fisik. Berbeda dengan di Jawa. Mungkin sudah ada mesin. Mereka benar-benar menggunakan peralatan yang membutuhkan tenaga. Karena itu tidak cukup hanya satu atau dua hari. Setelah semua penebangan di konfirmasi selesai mereka akan mencacahnya menjadi bagian-bagian yang mereka butuhkah. Biasanya hanya batangnya lah yang mereka perlukan. Selain lebih disukai calon pembeli juga tidak menyulitkan saat membawanya.     

Kemudian mereka akan membuangnya ke sungai Musi. Maksudnya membuang adalah memindahkan dari daratan hutan ke sungai. Inilah fase terberat para anggota. Gelondongan-gelondongan kayu purba dan besar itu akan diturunkan ke sungai tanpa bantuan alat berat sama sekali.     

Mereka bergotong royong memakai teori kuno agar gelondongan besar sampai tercebur ke sungai. Setelah semua tercebur, mereka akan mengikatnya dari tali yang mereka buat saat itu. Kayu-kayu itu dibuat menyerupai rakit atau getek. Sehingga saat pelarungan mereka akan menungganginya di atasnya kemudian melaju ke arah alamat pemesan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.