PERNIKAHAN TANPA RENCANA

58. BERSEMBUNYI



58. BERSEMBUNYI

0Hari ini kuputuskan untuk menghindar dari Mas Sardi. Aku bahkan tidak berpamitan dengan Simbok saat      0

keluar rumah. Aku yakin mereka tidak akan terlalu khawatir seperti biasanya. Tukuanku kali ini tidak     

ada. Sama sekali tidak tahu harus kemana. Pembicaraanku dengan Mas Sardi semalam berhasil     

menyita seluruh otakku.     

Aku berpikir keras tentang rencana apa ysng haris kubuat selanjutnya. Disatu sisi aku tidak     

benar-benar ingin di jodohkan. Namun disisi lain aku harus membantu sepupuku membayar biaya     

kuliahnya. Sementara aku tidak punya uang sebanyak itu.     

Kakiku terus melangkah meskin hati dan pikiranku berkecamuk tal tahu harus apa. Namun langkah     

demi langkah sepertinya menuntunku ketempat satu-satunya yang ku hafal. Ladang.     

Perjalanan tak berlangsung lama. Mungkin karena aku sudah sangat hafal medan yang aku lewati.     

Tanpa berbekal apa pun aku haanya menelusuri jalan setapak beralas gambut ini. Beberapa kali aku     

bertemu dengan kawanan monyet yang riuh sedang mencari makan.     

Sejauh ini segalanya masih aman. Perihal hewan tidak akan menakutiku sama sekali. Aku lebih takut     

manusia yang berotak jahat daripada hewan yang hanya bergerak berdasarkan insting.     

Akhirnya aku sampai di pondok. Hal pertama yang ku hampiri adalah dapur. Aku membutuhkan     

sesuatu untuk ku telan pagi ini. Tapi tidak ada sesuatu apapun yang bisa ku masak atau pun ku     

makan di sini.     

Akhirnya ku putuskan untuk naik ke atas. Siapa tahu bisa menemukan sesuatu. Keputusanku tepat     

sekali. Aku menemukan sebungkus roti dan beberapa bungkus mi instan juga kopi instan. Wajahku     

langsung semringah mendapati keberadaan mereka.     

Tanpa basa basi langsung ku raih dan ku eksekusi ke dapur. Tidak seperti yqng ku perkirakan.     

Meskipun aku tidak cukup kaya dan hidup serba kecukupan. Aku tetap membenci hal ini.membiat     

api. Benar-benar melelahkan. Aku tidak bisa dengan mudah membuat api menyala di atas tumpukan     

kayu-kayu itu. Sementara aku selalu melihat siapapun di dalam anggota sekeluargaku melakukannya     

dengan mudah. Kecuali adik bungsu ku.     

Api tak mau menyala meski ku beri letupan dari korek terus menerus. Yang mereka hasilkan hanya     

asap yang membuat mataku kian perih. Ia hanya menyala sebentar lalu mati. Sampai membuatku     

muak. Kalau Simbokku di sini beliau pati sudah cerewet mengejekku. Karena apapun tak bisa ku lakukan.     

Aku melempar korek api di tanganku. Air mataku berhasil mengucur membasahi pipi. Aku yakin sekLi     

mataku kali ini juga memerah. Hal sekecil ini saja bisa membuatku begitu kesal. Lalu tanpa di     

duga-duga seseorang datang. Ia halnya seperti malaikat yang bersinar karena kedatangannya     

memberi harapan terang untukku bisa menyalakan api ini.     

Dia mendekat ke arahku. Lalu meletakkan beberapa alat dan ranselnya. Belum berkata apa-apa dia     

sudah geleng kepala lebih dulu. Jadi rasanya ingin kutarik anggapanku bahwa dia sebagai malaikatku.     

Mungkin sebaliknya musuh dari malaikat.     

"Kamu ngapain sepagi ini nangis di depan tungku. Di hutan lagi." Ucap laki-laki yang tidak bukan dan     

tidak lain adalah Santo.     

Aku hanya menggeleng. Dan menunjukkan kegagalan di hadapanku. Ia lalu berjongkok dan     

menggeser posisiku.     

Dengan sigap Ia membakar sebuah daun kering. Lalu daun-daun kering itu mulia membakar     

kayu-kayu seiring berubah menjadi abu. Api yang semula dari dan kering pun merembet ke     

kayu-kayu yang di pilih oleh Santo.     

Santo nampak serius. Padahal masih terlalu pagi. Apakah karena aku menyusahkannya? Biasanya dia     

tak seperti ini. Dia tidak pernah memasang wajah malas kepadaku. Aku yakin Santo menyembunyikan     

sesuatu. Bahkan aku ingat, biasanya dia selalu memberiku senyum pertama. Tapi saat datang tadi     

wajahnya hanya datar.     

"To..." aku berusaha menepis kecanggungan.     

"Ambil air." Titah Santo padaku. Ia memberiku sebuah panci.     

"Iya." Jawabku. Aku pun langsung bergegas mengambil air di sungai. Dengan pikiran yang berkecamuk     

tentu saja.     

Akhirnya aku sampai.     

"Ini." Kuberikan air itu kepadanya. Ia lalu menumpangnya di atas tungku. Aku pun ikut berjongkok di     

sampingnya. Namun Ia malah berdiri. Kini aku pun mengikutinya berdiri.     

"To.." Panggilku lagi.     

Dia tak bergeming. Hanya menoleh ke arahku tanpa suara dan ekspresi. Hal itu membuatku semakin     

sadar bahwa Santo sedang marah atau menyembunyikan sesuatu dari ku.     

Aku hanya berani menatap Santo. Jika suasana hatinya sedang buruk aku tidak cukup berani untuk     

semakin memperburuknya.     

Ia membuka bajunya lalu mengganti dengan baju kotor atau baju kerjanya. Ia lalu memakai sepatu     

boot, masker dan juga topinya. Kemudian Ia mengambil sebuah tanki berisi air atau obat dan     

menaruhnya di punggungnya. Tangannya dengan lihai memegang alat semprotannya.     

Ia pun pergi meninggalkan aku tanpa sepatah kata. Santo yang ku kenal tak pernah bersikap seperti ini.     

Namun sepertinya bukan hari yang tepat untukku menegurnya kali ini. Sehingga aku hanya     

membiarkannya saja.     

Air di panci telah mendidih. Aku menuangkannya ke gelas yang ku isikan kopi instan. Kemudian     

sisanya kugunakan untuk merebus mi instan.     

Setelah selesai aku pun menyantap masakanku di tangga pondok. Semburat kuning mulai menyala di     

ufuk timur. Tepat di mana aku menghadap sekarang. Suara binatang pagi semakin riuh dan beragam.     

Beberapa kali aku juga mendapati burung-burung beterbangan di langit yang tinggi.     

Mereka juga mencari makan sepagi ini.     

Kulihat di hadapanku sawit-sawit yang masih bayi. Posisiku gang lebih tinggi membuat aku bisa     

melihat sekeliling hingga jauh. Sisa-sisa kayu dan tunggak -tunggak terbakar masih menjadi saksi     

bahwa pembukaan ladang di sini dilakukan dengan ugal-ugalan.     

Beberapa kali perjalanan ke sini. Aku pun beberapa kali menemui hutan yang sengaja di bakar tanpa     

seorang pun yang menjaga. Padahal mereka pasti tahu. Tanah gambut riskan akan api. Setetes api     

menjalar mungkin butuh waktu berminggu-minggu untuk memadamkannya.     

Namun mereka tidak punya pilihan hidup di tempat seperti ini. Mereka tidak terlalu memikirkan     

aparat toh disinipun tak ada seorang pun aparat yang mengawasi. Bahkan aku pun ragu kalau     

kakakku punya izin untuk menanam sawit di kebunnya.     

Hari pun berada pada pertengahannya. Aku pun telah menghabiskan sebungkus roti kukis yang ku temukan di dalam pondok. Di depanku sudah terhidang dua piring mi rebus dan segelas kppi juga air     

putih dalam teko.     

Aku tidak tahu harus bagaimana menghSimbokr Santo. Tapi aku akan perlakukan dia sangat baik kali ini.     

Bukan karena dia marah. Bukan. Tapi lebih karena dia sering membantuku jadi hari ini aku ingin     

berusaha menghiburnya.     

Tibalah Santo di pondok. Aku menyapanya dengan senyum. Lalu kusuruh di bersih-bersih. Adzan     

terdengar dari radio yang sejak tadi menemaniku. Santo selesai dengan bersih-bersihnya. Ia     

mengenakan sarung dan singlet. Apa ia mandi? Batinku. Rambutnya nampak basah juga wajahnya.     

Ternyata Ia menunaikan sholat. Aku menunggunya di teras pondok. Sementara Ia sholat di dalam     

pondok. Ekspresi wajahnya masih sama. Ekspresi wajah enggan meski aku tak tahu salahku apa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.