PERNIKAHAN TANPA RENCANA

61. SISI MUNAFIK



61. SISI MUNAFIK

2"Kamu tuh kenapa to Ndokkk?" tanyanya padaku. Mungkin sudah tidak kuat menahan di benakknya.     0

Lagi-lagi aku hanya meliriknya.     

"Kamu itu kalau ada masalah mbok ini sama ibukmu cerita. Jangan barang-barang menjadi pelampiasan." Ucap simbok lagi. Aku masih diam tak menaggapi. Mbak Ranti pun hanya terdiam menatap tingkah kami.     

Aku menoleh menatap simbok dan mba ranti bergantian dengan penuh arti. Lalu kemudian aku menghela nafas dengan keras. Rasanya nafasku begitu sesak menahan beban yang begitu besar. Namun tak mampu ku keluarkan.     

Ingin sekali ku ceritakan semua masalah yang sedang ku alami ini. Namun masih ada yang harus ku pastikan kebenarannya dengan Mas Sardi. Lagi-lagi aku kesal teringat sore itu. Sebenarnya apa yang sedang Mas Sardi rencanakan kepadaku. Belum saatnya kuceritakan kepada Simbok. Aku harus tahu dulu apa yang di maksud pembicarannnya dengan orang batak itu.     

Simbok menunggu jawabanku. Ia menatapku intens. Namun tidak keluar sepatah kata pun dari mulutku. Aku mencoba menghindari beliau dengan berpura-pura sibuk dengan apa yang ku kerjakan. Sekarang giliran Simbok yang menghela nafas dengan keras. Maaf Mbok, inginkukatakan semuanya namun hanya cukup di dalam batin saja untuk saat ini.     

Seperti biasa rutinitas wajibku bebrapa hari di sini adalah menyapu dedaunan yang berjatuhan di halaman depan. Halaman di mana biasa tempat untuk menimbang sawit-sawit yang datang.     

Tiga puluh menit pun berlalu. Halaman yang tidak cukup luas ini memang cukup jika untuk menimbulkan keringat di pelipis. Tiba-tiba bunyi sebuah truk pun mendekat. Dari balik pagar nampak sebuah truk muncul bermuatan sawit menggunung di baknya. Seorang lelaki turun dari truk itu. Ia lalu memberi aba-aba sang sopir untuk parkir dengan presisi. Aku pun menjauhkan diri dari mereka dan mengambil posisi aman.     

Tepat sekali. Mereka memarkirkan truk itu dengan posisi seperti biasanya. Tepat di depan mereka timbangan. Sehingga kelak sawit dan timbangan tidak akan terlalu jauh. Aku tidak tahu bagaimana caranya namun timbangan yang di gunakan adalah timbangan berukuran besar dan seperti didisain dengan corcoran sehingga tidak bisa di pindahkan ke mana pun.     

Tibalah saatnya mereka semua keluar dari truk itu. Penghuni di dalamnya masih ada tiga orang lagi termasuk sopirnya. Ketiga orang yang merupakan kernet itu pun langsung mengerjakan tugasnya yaitu menurunkan sawit dari truk satu persatu dengan alat yang bernama ganco.     

Alat yang terbuat dari besi bisa berbentuk panjang bisa juga berbentuk seperti aksara tanda tanya.besi tersebut merupakan besi yang padat dengan benk silinder yang tebal. Lalu ujung dari besi tersebut sangatlah runcing dan tentu saja tajam. Hal itu berfungsi untuk menancapkan sawit-sawit sehingga dapat di angkat dengan mudah.     

Dengan alat-alat itu mereka bekerja dengan sigap dan cepat. Tidak terasa sawit mulai menggunung. Kadang berguguran. Terkadang juga pecah bijiannya hingga menyebar kemana-mana. Aku pun meletakkan sapuku. Lalu aku bergegas masuk ke dalam untuk mengambil buku catatan. Ini lah yang di ajarkan Mas sardi kepadaku. Terlihat lelaki batak itu menoleh kepadaku saat aku melewati sisinya. Aku hanya acuh. Bahkan cenderung judes.     

Aku pun keluar dari pintu itu dengan membawa sebuah buku. Buku yang kelak akan ku gunakan untuk mencatat sawit-sawit yang kini mulai selesai di pindah tempatkan. Orang batak itu membuka kaca mata hitamnya. Meskipun orangnya berkulit coklat bahkan cenderung hitam. Namun gaya penampilannya tak pernah terlewat dari fesion. Selalu parlente dan necis.kini ia bahkan mengenakan jaket kulit dan sebuah gelang jam. Jarang sekali kan orang jaman sekarang memakai gelang jam kecuali orang yang benar-benar mampu. Dia kemudian menghampiriku.     

Aku ingat dengan jelas. Dialah lelaki yang menertawakan dan merendahkan namaku di depan mas Sardi kemarin. Ingin sekali kumaki dia sekarang juga dengan kata-kata terkotor yang pernah ada. Namun kuurungkan niatku begitu dia datang ke hadapanku dengan tersenyum.     

Aku pun membalas senyumnya. Ku buat agar terlihat se tulus mungkin. Cuih. Batinku meradang dengan sikap munafiku saat ini.tidak. tapi sebenarnya aku punya rencana. Dan rencanaku membutuhkannya.     

"Mas Sardi belum bangun kah mbak?" tanyanya dengan ramah kepadaku. Dia cukup sopan untuk ukuran lelaki sialan seperti dia. Ucapku dalam hati.     

Aku pun tersenyum balik kepadanya. Padahal malas sekali.     

"Belum Bang…" jawabku juga tak kalah sopan. Dia terlihat manggut-manggut lalu melipat tangannya dan memperhatikan kernetnya yang sedang bekerja.     

"Bentar ya Bang, ku bikinkan kopi." Ucapku pada mereka semua. Aku pun segera masuk rumah. Dan kusiapkan empat gelas kopi untuk mereka masing-masing. Selain itu ku bawakan ubi rebus kepada mereka.     

"Siapa Ndok.." tanya simbok penasaran karena beliau belum melihat mereka. Aku menoleh ke sumber suara yang berada di pintu belakang. Beliau duduk di depanpintu bersama Mba Ranti.     

"ohh… itu Mbok si orang Batak." Jawabku dengan jujur.     

"ohh,, itu ubinya sekalian di bawa ke depan biar mereka juga ikut makan hasil panen kita." Ucap Simbok. Kebiasaan mulia simbok sejak aku dari kecil. Tak pernah berubah. Karena itu simbok tak pernah sukses saat berjualan. Yang ada malah merugi. Simbok yang punya hati terlalu lembut selalu di akali pembeli-pembeli yang merupakan tetangga. Terkadang juga orang luar.     

Dahulu simbok berjualan gethuk. Makanan terenak yang pernah ada. Terbuat dari singkong,di rebus, lalu di tumbuk hingga benar-benar padat dan kalis, semakin adonan bagus maka semakin hilang lengketnya. Selain itu tidak boleh ada sisa gumpalan dari pecahan singkong. Semua harus lembut sehingga layak di sebut sebagai gethuk.     

Warung simbok sangatlah laris. Yang membuat laris adalah bukan getuknya. Melainkan siraman dari kuah belut masak. Enatah kenapa semua orang menggandrungi masakan simbok. Ya, di lidahku juga sama enaknya sih.     

Sayangnya langganan-langganan simbok menganggap enteng simbok yang terlalu mudah untuk di kelabuhi. Selain itu jiwa kasih sayang nya juga begitu besar kepada orang lain. Hal itu terbukti dari tingkahnya setiap ada orang yang datang dari jauh dan orang itu adalah orang asing ia akan menawarinya makanan. Di bayar sukur, tidak di bayar juga tidak apa-apa. Begitu lah prinsipnya.     

Hal lain yang membuat kedainya itu merugi adalah kelakuan tetangga yang ngutang. Mereka mengacaukan perputaran uang yang di gunakan simbok untuk berjualan. Saat hutang, mereka seperti enggan untuk membeyarnya kembali. Bahkan banyak yang pura-pura lupa. Namun pada dasarnya simbok memiliki perangai yang lembut, ia bahkan tidak mampu untuk marah dengan para penghutang tersebut.     

Kebaikan simbok itu masih ada hingga kini.     

"wah.. enak betul ini masih pagi sudah makan ubi." Ucap orang batak itu. Yang melihat aku membawa sepiring ubi.     

Aku tersenyum menanggapinya.     

"Iya Bang, Kata simbok ini adalah hasil panen. Jadi mau di bagi-bagi. Silahkan." Jawabku. Lau ku taruh semuanya di atas bangku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.