PERNIKAHAN TANPA RENCANA

Error



Error

1Hari ini kuputuskan untuk menghindar dari Mas Sardi. Aku bahkan tidak berpamitan dengan Simbok saat      0

keluar rumah. Aku yakin mereka tidak akan terlalu khawatir seperti biasanya. Tukuanku kali ini tidak     

ada. Sama sekali tidak tahu harus kemana. Pembicaraanku dengan Mas Sardi semalam berhasil     

menyita seluruh otakku.     

Aku berpikir keras tentang rencana apa ysng haris kubuat selanjutnya. Disatu sisi aku tidak     

benar-benar ingin di jodohkan. Namun disisi lain aku harus membantu sepupuku membayar biaya     

kuliahnya. Sementara aku tidak punya uang sebanyak itu.     

Kakiku terus melangkah meskin hati dan pikiranku berkecamuk tal tahu harus apa. Namun langkah     

demi langkah sepertinya menuntunku ketempat satu-satunya yang ku hafal. Ladang.     

Perjalanan tak berlangsung lama. Mungkin karena aku sudah sangat hafal medan yang aku lewati.     

Tanpa berbekal apa pun aku haanya menelusuri jalan setapak beralas gambut ini. Beberapa kali aku     

bertemu dengan kawanan monyet yang riuh sedang mencari makan.     

Sejauh ini segalanya masih aman. Perihal hewan tidak akan menakutiku sama sekali. Aku lebih takut     

manusia yang berotak jahat daripada hewan yang hanya bergerak berdasarkan insting.     

Akhirnya aku sampai di pondok. Hal pertama yang ku hampiri adalah dapur. Aku membutuhkan     

sesuatu untuk ku telan pagi ini. Tapi tidak ada sesuatu apapun yang bisa ku masak atau pun ku     

makan di sini.     

Akhirnya ku putuskan untuk naik ke atas. Siapa tahu bisa menemukan sesuatu. Keputusanku tepat     

sekali. Aku menemukan sebungkus roti dan beberapa bungkus mi instan juga kopi instan. Wajahku     

langsung semringah mendapati keberadaan mereka.     

Tanpa basa basi langsung ku raih dan ku eksekusi ke dapur. Tidak seperti yqng ku perkirakan.     

Meskipun aku tidak cukup kaya dan hidup serba kecukupan. Aku tetap membenci hal ini.membiat     

api. Benar-benar melelahkan. Aku tidak bisa dengan mudah membuat api menyala di atas tumpukan     

kayu-kayu itu. Sementara aku selalu melihat siapapun di dalam anggota sekeluargaku melakukannya     

dengan mudah. Kecuali adik bungsu ku.     

Api tak mau menyala meski ku beri letupan dari korek terus menerus. Yang mereka hasilkan hanya     

asap yang membuat mataku kian perih. Ia hanya menyala sebentar lalu mati. Sampai membuatku     

muak. Kalau Simbokku di sini beliau pati sudah cerewet mengejekku. Karena apapun tak bisa ku lakukan.     

Aku melempar korek api di tanganku. Air mataku berhasil mengucur membasahi pipi. Aku yakin sekLi     

mataku kali ini juga memerah. Hal sekecil ini saja bisa membuatku begitu kesal. Lalu tanpa di     

duga-duga seseorang datang. Ia halnya seperti malaikat yang bersinar karena kedatangannya     

memberi harapan terang untukku bisa menyalakan api ini.     

Dia mendekat ke arahku. Lalu meletakkan beberapa alat dan ranselnya. Belum berkata apa-apa dia     

sudah geleng kepala lebih dulu. Jadi rasanya ingin kutarik anggapanku bahwa dia sebagai malaikatku.     

Mungkin sebaliknya musuh dari malaikat.     

"Kamu ngapain sepagi ini nangis di depan tungku. Di hutan lagi." Ucap laki-laki yang tidak bukan dan     

tidak lain adalah Santo.     

Aku hanya menggeleng. Dan menunjukkan kegagalan di hadapanku. Ia lalu berjongkok dan     

menggeser posisiku.     

Dengan sigap Ia membakar sebuah daun kering. Lalu daun-daun kering itu mulia membakar     

kayu-kayu seiring berubah menjadi abu. Api yang semula dari dan kering pun merembet ke     

kayu-kayu yang di pilih oleh Santo.     

Santo nampak serius. Padahal masih terlalu pagi. Apakah karena aku menyusahkannya? Biasanya dia     

tak seperti ini. Dia tidak pernah memasang wajah malas kepadaku. Aku yakin Santo menyembunyikan     

sesuatu. Bahkan aku ingat, biasanya dia selalu memberiku senyum pertama. Tapi saat datang tadi     

wajahnya hanya datar.     

"Di..." aku berusaha menepis kecanggungan.     

"Ambil air." Titah Santo padaku. Ia memberiku sebuah panci.     

"Iya." Jawabku. Aku pun langsjng bergegas mengambil air di sungai. Dengan pikiran yang berkecamuk     

tentu saja.     

Akhirnya aku sampai.     

"Ini." Kuberikan air itu kepadanya. Ia lalu menumpangnya di atas tungku. Aku pun ikut berjongkok di     

sampingnya. Namun Ia malah berdiri. Kini aku pun mengikutinya berdiri.     

"Di..." Panggilku lagi.     

Dia tak bergeming. Hanya menoleh ke arahku tanpa suara dan ekspresi. Hal itu membuatku semakin     

sadar bahwa Santo sedang marah atau menyembunyikan sesuatu dari ku.     

Aku hanya berani menatap Santo. Jika suasana hatinya sedang buruk aku tidak cukup berani untuk     

semakin memperburuknya.     

Ia membuka bajunya lalu mengganti dengan baju kotor atau baju kerjanya. Ia lalu memakai sepatu     

boot, masker dan juga topinya. Kemudian Ia mengambil sebuah tanki berisi air atau obat dan     

menaruhnya di punggungnya. Tangannya dengan lihai memegang alat semprotannya.     

Ia pun pergi meninggalkan aku tanpa sepatah kata. Santo yang ku kenal tak pernah bersikap seperti ini.     

Namun sepertinya bukan hari yang tepat untukku menegurnya kali ini. Sehingga aku hanya     

membiarkannya saja.     

Air di panci telah mendidih. Aku menuangkannya ke gelas yang ku isikan kopi instan. Kemudian     

sisanya kugunakan untuk merebus mi instan.     

Setelah selesai aku pun menyantap masakanku di tangga pondok. Semburat kuning mulai menyala di     

ufuk timur. Tepat di mana aku menghadap sekarang. Suara binatang pagi semakin riuh dan beragam.     

Beberapa kali aku juga mendapati burung-burung beterbangan di langit yang tinggi.     

Mereka juga mencari makan sepagi ini.     

Kulihat di hadapanku sawit-sawit yang masih bayi. Posisiku gang lebih tinggi membuat aku bisa     

melihat sekeliling hingga jauh. Sisa-sisa kayu dan tunggak -tunggak terbakar masih menjadi saksi     

bahwa pembukaan ladang di sini dilakukan dengan ugal-ugalan.     

Beberapa kali perjalanan ke sini. Aku pun beberapa kali menemui hutan yang sengaja di bakar tanpa     

seorang pun yang menjaga. Padahal mereka pasti tahu. Tanah gambut riskan akan api. Setetes api     

menjalar mungkin butuh waktu berminggu-minggu untuk memadamkannya.     

Namun mereka tidak punya pilihan hidup di tempat seperti ini. Mereka tidak terlalu memikirkan     

aparat toh disinipun tak ada seorang pun aparat yang mengawasi. Bahkan aku pun ragu kalau     

kakakku punya izin untuk menanam sawit di kebunnya.     

Hari pun berada pada pertengahannya. Aku pun telah menghabiskan sebungkus roti kukis yang kj     

temukan di dalam pondok. Di depanku sudah terhidang dua piring mi rebus dan segelas kppi juga air     

putih dalam teko.     

Aku tidak tahu harus bagaimana menghSimbokr Santo. Tapi aku akan perlakukan dia sangat baik kali ini.     

Bukan karena dia marah. Bukan. Tapi lebih karena dia sering membantuku jadi hari ini aku ingin     

berusaha menghSimbokrnya.     

Tibalah Santo di pondok. Aku menyapanya dengan senyum. Lalu kusuruh di bersih-bersih. Adzan     

terdengar dari radio yang sejak tadi menemaniku. Santo selesai dengan bersih-bersihnya. Ia     

mengenakan sarung dan singlet. Apa ia mandi? Batinku. Rambutnya nampak basah juga wajahnya.     

Ternyata Ia menunaikan sholat. Aku menunggunya di teras pondok. Sementara Ia sholat di dalam     

pondok. Ekspresi wajahnya masih sama. Ekspresi wajah enggan meski aku tak tahu salahku apa.     

Aku benar-benar tidak tau tentang fakta yang Santo alami sampai dia cerita padaku tadi. Pikiranku menjadi bertambah saja. Dilema akan perjodohan yang kutitik beratkan sampai aku bersembunyi dari Mas Sardi ternyata ada yang lebih berat lagi dari pada itu. Gaji karyawan mas Sardi yang terlambat di bayarkan.     

Santo mengatakan mungkin mereka tidak kebingungan untuk makan karena Mas Sardi memang memberikan jatah makan sebulan untuk mereka bertahan. Namun untuk masalah kehidupan sehari-hari semisal saja rokok. Terpaksa mereka harus puasa.     

Proses mbelah yang seharusnya mendapatkan keuntungan besar terkesan ditutup-tutupi oleh mas sardi tentang ketransparanannya. Setiap dari mereka biasanya bertanya tentang harga yang mereka dapatkan. Dan mas Sardi tak pernah menutup-nutupinya sebelumnya. Namun kemarin, kata Santo. Mas Sardi hanya mengatakan semua sudah beres. Faktanya hingga kini tak kunjung ia bagikan jatah dari mereka.     

Sore ini aku berencana untuk pulang. Sudah kuputuskan untuk memenuhi perjodohan yang Mas Sardi tawarkan kepadaku. Sekali pun sebenarnya hatiku tak pernah menerimanya. Harapanku hanyakah ini akan membuat mas sardi menjadi lebih baik kepadaku. Dan akan membawa kebaikan oleh semua pihak.     

Pekerjaan santo sudah selesai. Aku kasihan sekali padanya dengan terpaksa masih terus bekerja. Aku sudah memiliki keputusan dalam benakku. Kami berdua pun memutuskan untuk pulang bersama. Hari masiih bergitu cerah. Beruntung Santo selesai lebih awal. Jadi kami tidak perlu seperti kemarin harus pung dalam keadaan gelap.     

Hari ini ku Perkirakan agendaku adalah bernegosiasi dengan Mas Sardi. Aku benar-benar tidak bisa jika harus menerima perjodohan itu. Apalagi laki-laki yang dijodohkan denganku adalah tua bangka beristri tiga. Lagi pula apakah mas Sardi akan tega melihat adiknya menjadi istri keempat dari seorang lelaki tua?     

Tapi aku juga memikirkan posisi Mas Sardi saat ini juga sedang buntu. Atau mungin sebenarnya ia sedang di ancam? Pikiran panajngku malah semakin kacau saja. Akan gawat jika aku tidak segera mengkonfirmasikan semuanya kepada Mas Sardi. Semua hal bisa saja menjadi kemungkinannya.     

"To, aku mau lewat belakang. Apa kamu mau mampir?" tanyaku pada santo.     

"aku ngikut saja Ti. Lagian aku juga mau naruh alat ini dirumahmu." Ia mengankat cangkul dan teman-temannya.     

Perjalanan pun berlalu dengan cepat. Tidak banyak yang kami bicarakan shingga langkah kami tidak banyak yang tersendat. Bahkan Santo pun terlihat sibuk dengan pikirannya sepanjang jalan tadi. Ah iya, tentang gaji karyawan itu juga akan kutanyakan nanti malam.     

Aku dan Santo memutuskan untuk memutar kearah depan karena pintu belakang terkunci dan tak kunjung di bukakan oleh seseorang. Sayup-sayup suara beberapa orang lelaki sedang bercengkerama terdengar di telinga kami yang mulai mendekat ke pintu taman belakang. Dan ternyata itu adalah suara Mas Sardi dan koleganya tentu saja. Aku bermaksud untuk membuka pintu. Namun tiba-tiba saja langkah kakiku terhenti mendengar percakapan merea.     

"Hebat Kau Mas. Akan dapat banyak ya setelah ini." Ucap lelaki itu. Dahiku pun berkerut. Meski sebenarnya belum memahami apa yang mereka bicarakan sebenarnya. Aku menahan Santo agar berhenti dan tak keluar dulu. Aku juga memberikan isyarat kepadanya untuk diam saja.     

"Alah ndak juga lah ." Jawab Mas Sardi.     

"Loh, bukannya Kau mau menjual tanah sawitmu itu sebelumnya. Nah jadilah kau jual juga adikmu itu." Tanya Sigit kemudian tertawa terbahak-bahak. Hatiku benar-benar panas mendengar ucapan orangBatak itu.     

"Stt…kata siapa kamu?" ucap Mas Sardi kemudian.     

"Para makelar udah pada tahu lah…saya juga ditawari."     

Percakapan antara Mas Sardi dan orang Batak itu membuat dadaku bergemuruh. Rasanya sekujur tubuhku terbakar oleh rasa marah. Ingin sekarang juga ku pukul mereka berdua dengan tngan ku sendiri. Dan tentu saja yang paling membuat muak adalah salah satu di antaranya adalah mas Sardi yang juga tidak menyangkal harga diriku di rendahkan oleh koleganya itu.     

Santo memegang pundakku. Dan mengusapnya pelan. Ia berusaha menenangkanku. Ia tahu pasti bahwa saya di selimuti kemarahan saat ini juga. Namun kemudian dia menatapku dan memberikan isyarat untuk jangan terpancing sebelum mengetahui permasalahannya.     

Ku buka pintu pekarangan dengan keras. Sonta Mas Sardi dan sopir itu pun terkejut dengan kehadiranku. Namun detik berikutnya meeka tak mempedulikan keberadaanku. Dan berpura-pura tak terjadi apa pun. Dasar muka tebal. Batinku kesal. Aku tidak segan memasang wajah marahku kepada mereka. Meski aku tahu Mas sardi dengan jelas tak akan peduli dengan yang ku lakukan.     

Aku segera masuk rumah. Simbok menyapaku, namun aku hanya diam tak menjawab sapaannya. Sepertinya Santo memberi Simbok isyarat bahwa perasaanku sedang kesal. Tidak kusadari malah Simbok ysng menjadi sasaran pelampiasannku.     

Malam pun tiba. Seperti biasa mas Sardi duduk di ruang tengah. Sambil menghisap rokoknya ia terlihat hanya melamun di tengah malam sendirian. Aku ingin mengeluarkan unek-unekku malam ini juga, sebenarnya. Namun niat itu kuurungkan. Rasa kesalku meningkat drastis mengingat kejadian sore tadi. Aku tidak ingin emosi menyelimuti kami dalam pembahasan kali ini. Sehingga niat itu pun ku urungkan dan aku malah berlalu kedapur untuk mengambil air minum.     

Malah pertanyaan lain muncul di kepalaku. Ingin sekali kutanyakan apa maksudnya ingin menjualku ke orang tua bangka itu. Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Aku yang biasanya menyapanya terlebih dahulu pun akhirnya hanya melenggang tak peduli. Terlalu malas untuk berbasa basi demi menjadi adik yang baik untuknya.     

Keesokan pagi tiba. Kali ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Kebiasaan anehku yang akan tumbuh ketika aku kesal memang. Sulit untuk tidur tetapi awal ketika bangun. Dengan gezit aku pun mulai melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring hingga mencuci pakaian. Tidak tanggung-tanggung ku cuci semua pakaian satu keluarga. Aku juga mulai masak nasi dan masak bahan makanan yang ada.     

Tiba-tiba Mba Ranti muncul. Aku terkejut, mungkin Mba Ranti terbangun karena suara-suara yang ku timbulkan. Tidak lama selang waktu Simbok pun juga muncul. Ia geleng kepala dengan tindakanku yan g tak biasa itu. Ia pasti sudah paham dengan apa yang terjadi padakau.     

Tanpa basa-basi mereka berdua mulai membantuku. Hari pun perlahan mulai memunculkan sinarnya. Ya, ternyata tidak terasa fajar sudah mengintai di luar.     

Ibu tiba-tiba mendekat ke arahku. Ia lalu menyenggolku dengan sikutnya. Aku hanya meliriknya. Ia menyenggolku lagi bermaksud menggodaku. Aku mulai terusik dengan perilaku simbok. Benar-benar menyebalkan. Batinku.     

Ia hendak menyenggolku lagi namun keburu aku menoleh ka arahnya terlebih dahulu.     

"Apa sih Mbokkk…!!!!" ucapku kesal padanya.     

Beliau malah meringis menatapku.     

"Kamu tuh kenapa to Ndokkk?" tanyanya padaku. Mungkin sudah tidak kuat menahan di benakknya.     

Lagi-lagi aku hanya meliriknya.     

"Kamu itu kalau ada masalah mbok ini sama ibukmu cerita. Jangan barang-barang menjadi pelampiasan." Ucap simbok lagi. Aku masih diam tak menaggapi. Mbak Ranti pun hanya terdiam menatap tingkah kami.     

Aku menoleh menatap simbok dan mba ranti bergantian dengan penuh arti. Lalu kemudian aku menghela nafas dengan keras. Rasanya nafasku begitu sesak menahan beban yang begitu besar. Namun tak mampu ku keluarkan.     

Ingin sekali ku ceritakan semua masalah yang sedang ku alami ini. Namun masih ada yang harus ku pastikan kebenarannya dengan Mas Sardi. Lagi-lagi aku kesal teringat sore itu. Sebenarnya apa yang sedang Mas Sardi rencanakan kepadaku. Belum saatnya kuceritakan kepada Simbok. Aku harus tahu dulu apa yang di maksud pembicarannnya dengan orang batak itu.     

Simbok menunggu jawabanku. Ia menatapku intens. Namun tidak keluar sepatah kata pun dari mulutku. Aku mencoba menghindari beliau dengan berpura-pura sibuk dengan apa yang ku kerjakan. Sekarang giliran Simbok yang menghela nafas dengan keras. Maaf Mbok, inginkukatakan semuanya namun hanya cukup di dalam batin saja untuk saat ini.     

Seperti biasa rutinitas wajibku bebrapa hari di sini adalah menyapu dedaunan yang berjatuhan di halaman depan. Halaman di mana biasa tempat untuk menimbang sawit-sawit yang datang.     

Tiga puluh menit pun berlalu. Halaman yang tidak cukup luas ini memang cukup jika untuk menimbulkan keringat di pelipis. Tiba-tiba bunyi sebuah truk pun mendekat. Dari balik pagar nampak sebuah truk muncul bermuatan sawit menggunung di baknya. Seorang lelaki turun dari truk itu. Ia lalu memberi aba-aba sang sopir untuk parkir dengan presisi. Aku pun menjauhkan diri dari mereka dan mengambil posisi aman.     

Tepat sekali. Mereka memarkirkan truk itu dengan posisi seperti biasanya. Tepat di depan mereka timbangan. Sehingga kelak sawit dan timbangan tidak akan terlalu jauh. Aku tidak tahu bagaimana caranya namun timbangan yang di gunakan adalah timbangan berukuran besar dan seperti didisain dengan corcoran sehingga tidak bisa di pindahkan ke mana pun.     

Tibalah saatnya mereka semua keluar dari truk itu. Penghuni di dalamnya masih ada tiga orang lagi termasuk sopirnya. Ketiga orang yang merupakan kernet itu pun langsung mengerjakan tugasnya yaitu menurunkan sawit dari truk satu persatu dengan alat yang bernama ganco.     

Alat yang terbuat dari besi bisa berbentuk panjang bisa juga berbentuk seperti aksara tanda tanya.besi tersebut merupakan besi yang padat dengan benk silinder yang tebal. Lalu ujung dari besi tersebut sangatlah runcing dan tentu saja tajam. Hal itu berfungsi untuk menancapkan sawit-sawit sehingga dapat di angkat dengan mudah.     

Dengan alat-alat itu mereka bekerja dengan sigap dan cepat. Tidak terasa sawit mulai menggunung. Kadang berguguran. Terkadang juga pecah bijiannya hingga menyebar kemana-mana. Aku pun meletakkan sapuku. Lalu aku bergegas masuk ke dalam untuk mengambil buku catatan. Ini lah yang di ajarkan Mas sardi kepadaku. Terlihat lelaki batak itu menoleh kepadaku saat aku melewati sisinya. Aku hanya acuh. Bahkan cenderung judes.     

Aku pun keluar dari pintu itu dengan membawa sebuah buku. Buku yang kelak akan ku gunakan untuk mencatat sawit-sawit yang kini mulai selesai di pindah tempatkan. Orang batak itu membuka kaca mata hitamnya. Meskipun orangnya berkulit coklat bahkan cenderung hitam. Namun gaya penampilannya tak pernah terlewat dari fesion. Selalu parlente dan necis.kini ia bahkan mengenakan jaket kulit dan sebuah gelang jam. Jarang sekali kan orang jaman sekarang memakai gelang jam kecuali orang yang benar-benar mampu. Dia kemudian menghampiriku.     

Aku ingat dengan jelas. Dialah lelaki yang menertawakan dan merendahkan namaku di depan mas Sardi kemarin. Ingin sekali kumaki dia sekarang juga dengan kata-kata terkotor yang pernah ada. Namun kuurungkan niatku begitu dia datang ke hadapanku dengan tersenyum.     

Aku pun membalas senyumnya. Ku buat agar terlihat se tulus mungkin. Cuih. Batinku meradang dengan sikap munafiku saat ini.tidak. tapi sebenarnya aku punya rencana. Dan rencanaku membutuhkannya.     

"Mas Sardi belum bangun kah mbak?" tanyanya dengan ramah kepadaku. Dia cukup sopan untuk ukuran lelaki sialan seperti dia. Ucapku dalam hati.     

Aku pun tersenyum balik kepadanya. Padahal malas sekali.     

"Belum Bang…" jawabku juga tak kalah sopan. Dia terlihat manggut-manggut lalu melipat tangannya dan memperhatikan kernetnya yang sedang bekerja.     

"Bentar ya Bang, ku bikinkan kopi." Ucapku pada mereka semua. Aku pun segera masuk rumah. Dan kusiapkan empat gelas kopi untuk mereka masing-masing. Selain itu ku bawakan ubi rebus kepada mereka.     

"Siapa Ndok.." tanya simbok penasaran karena beliau belum melihat mereka. Aku menoleh ke sumber suara yang berada di pintu belakang. Beliau duduk di depanpintu bersama Mba Ranti.     

"ohh… itu Mbok si orang Batak." Jawabku dengan jujur.     

"ohh,, itu ubinya sekalian di bawa ke depan biar mereka juga ikut makan hasil panen kita." Ucap Simbok. Kebiasaan mulia simbok sejak aku dari kecil. Tak pernah berubah. Karena itu simbok tak pernah sukses saat berjualan. Yang ada malah merugi. Simbok yang punya hati terlalu lembut selalu di akali pembeli-pembeli yang merupakan tetangga. Terkadang juga orang luar.     

Dahulu simbok berjualan gethuk. Makanan terenak yang pernah ada. Terbuat dari singkong,di rebus, lalu di tumbuk hingga benar-benar padat dan kalis, semakin adonan bagus maka semakin hilang lengketnya. Selain itu tidak boleh ada sisa gumpalan dari pecahan singkong. Semua harus lembut sehingga layak di sebut sebagai gethuk.     

Warung simbok sangatlah laris. Yang membuat laris adalah bukan getuknya. Melainkan siraman dari kuah belut masak. Enatah kenapa semua orang menggandrungi masakan simbok. Ya, di lidahku juga sama enaknya sih.     

Sayangnya langganan-langganan simbok menganggap enteng simbok yang terlalu mudah untuk di kelabuhi. Selain itu jiwa kasih sayang nya juga begitu besar kepada orang lain. Hal itu terbukti dari tingkahnya setiap ada orang yang datang dari jauh dan orang itu adalah orang asing ia akan menawarinya makanan. Di bayar sukur, tidak di bayar juga tidak apa-apa. Begitu lah prinsipnya.     

Hal lain yang membuat kedainya itu merugi adalah kelakuan tetangga yang ngutang. Mereka mengacaukan perputaran uang yang di gunakan simbok untuk berjualan. Saat hutang, mereka seperti enggan untuk membeyarnya kembali. Bahkan banyak yang pura-pura lupa. Namun pada dasarnya simbok memiliki perangai yang lembut, ia bahkan tidak mampu untuk marah dengan para penghutang tersebut.     

Kebaikan simbok itu masih ada hingga kini.     

"wah.. enak betul ini masih pagi sudah makan ubi." Ucap orang batak itu. Yang melihat aku membawa sepiring ubi.     

Aku tersenyum menanggapinya.     

"Iya Bang, Kata simbok ini adalah hasil panen. Jadi mau di bagi-bagi. Silahkan." Jawabku. Lau ku taruh semuanya di atas bangku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.