PERNIKAHAN TANPA RENCANA

91



91

1Mendengar ucapan Mas Sardi, Suyudi pun langsung merah padam kembali. Ia merasa tersinggung dengan maksud kedatangan Mas Sardi.      1

"Apa Di? Kamu mau melamar adikku? Kamu anggap apa adekku sampai berani-berani datang ke sini dan melamarnya. Kamu kira adekku itu sama dengan wanita yang kamu cumbui tiga hari di tempat haram itu? Mau sampai mati pun gak bakalan saya restui. Adekku terlalu baik buat orang seperti kamu."     

Suyudi mencak-mencak. Ia melepaskan emosinya yang sejak tadi tertahan.     

Mendengar kalimat panjang lebar yang diucapkan Suyudi, Mas Sardi pun menjadi merah padam. Jika bukan karena Ia sudah membawa niat baik pasti sudah melayangkan tinju ke arah suyudi. Namun ada Kabul disitu yang sedikit menenangkannya.     

"Mas Suyudi. Sampean harus jaga kata-kata sampean. Jangan sampai kata-kata mas ini malah menjadi bumerang untuk sampean sendiri. Sampean kan tidak tahu berita itu benar atau salah. Lagian kami ini datang baik-baik. Kok malah di kira merendahkan. Kalau tidak menerima lamaran Sardi ya sampean tinggal bilang tidak bisa. Jangan ngomong yang macem-macem. Sudah. Ayo pulang Di. Nggak usah ke sini lagi. Entar di kira ngerendahin." Kabul yang semula tenang kini malah tersulut emosi. Ia Pergi begitu saja tanpa salam dari rumah Suyudi. Wito yang masih terkejut pun kemudian mengikuti Kabul.     

"Permisi Di." Mas Sardi masih sempat pamit meskipun tidak mendapat respons dari Suyudi.     

Mas Sardi mengejar Kabul yang berjalan cepat karena tersulut emosi. Lalu ia menepuk bahunya.     

"Hahahha..." Mas Sardi terbahak. Ia tidak menyangka mempunyai teman seloyal Kabul. Padahal ia sendiri menahan diri untuk tahan cacian Suyudi. Tapi malah Kabul yang ambrol pertahanannya.     

"Emosi aku Di. Arogan sekali orang itu. Wong adeknya juga bukan bidadari kok."     

"Sudah sudah... wajar wong adiknya satu-satunya kok.. wajar."     

"Wajar wajar apanya. Enggak memperbolehkan adiknya menikah dengan sembarang orang itu wajar. Tapi kalau maki-maki orang yang datang dengan baik-baik itu kurang ajar." Tukas Kabul menggebu-gebu.     

Lalu Kabul pun berhenti dan menoleh pada Sardi.     

"Kamu emang udah capek melajang Di? Kok tiba-tiba mau menikah? Berani sekali kamu. Aku aja belum berani."     

Mas Sardi tak menjawab pertanyaan Kabul. Ia terus berjalan mendahului Kabul yang kesal karena tidak mendapat jawaban.     

Sepulang dari rumah Suyudi, Sardi sebenarnya kecewa dengan hasilnya. Namun Ia cukup terhibur dengan adegan Kabul yang tersulut emosi. Selain lucu, itu adalah aksi heroik seorang Kabul yang selama ini terkenal pendiam.     

Mereka berdua pun duduk di teras depan rumah.     

Karena cuaca bagus dan masih belum terlalu sore. Kabul memutuskan untuk mampir sebentar. Sambil mendengarkan penjelasan Mas Sardi. Sejak tadi Ia sebenarnya sudah sangat penasaran.     

Belum sempat Kabul menanyakan rasa penasarannya kepada Sardi, Ibu pun sudah keburu keluar.     

"Bul, di sini kamu? Sudah lama?" Ibu tersenyum ramah pada Kabul.     

"Ndakk Bu, baru saja. Baru nganterin Sardi dari...." belum sempat kabul menyelesakkan kalimatnya Sardi sudah memukul pahanya.     

"Aduhh..." Kabul pun mengusap-usap pahanya yang terasa panas. Sementara Sardi menatap kabul dengan tatapan penuh arti.     

Ibu yang menunggu jawaban Kabul pun menatap tingkah aneh mereka berdua.     

"Dari nengok kebun jagung bu... ternyata panennya bagus ya.." Kabul tertawa canggung karena telah membohongi orang tua.     

Setelah mendapat jawaban Kabul, Ibu pun berlalu dan masuk rumah.     

"Kamu tuh memang ember bocor enggak bisa jaga rahasia. Dasar.!" Sardi pun langsung mengomeli Kabul yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.     

"Loh.. kamu yang aneh Sar.. mana aku tahu kalau itu rahasia. Wong kamu dari tadi ditanyain mlintir-mlintir kayak bambu kena angin." Kabul tertawa dengan peribahasa yang Ia buat sendiri.     

"Heh. Aku ini baru mau cerita. Kamu nya aja yang enggak sabaran." Tukas Mas Sardi membela dirinya sendiri.     

"Jadi gimana ceritanya." Lanjut Kabul yang tidak sabar.     

"Sabar to kamu tuh Bul."     

Lagi-lagi kabul di semprot oleh Mas Sardi.     

Mereka pun merubah posisi duduk. Sehingga saling berhadapan. Sementara Kabul memperhatikan setiap detil yang di ucapkan Wito.     

"Begini. Aku mau ikut transmigrasi."     

"HAH!" Kabul yang terkejut sontak mendapat sebuah tampol kecil dari jemari Sardi.     

"Diem. Jangan keras-keras"     

"Iya iya.. memangnya kenapa kamu mau ke sana? Kenapa?" Tiba-tiba kabul dan bersifat kooperatif.     

"Ya mau pindah saja. Cari hidup baru. Aku rasa disini sudah enggak ada yang tersisa buat aku."     

"Ya tapi kenapa harus transmigrasi jonnn jon... kamu kira gampang itu mulai hidup baru. Di Sumatera lagi. Masih hutan di sana itu. Enggak dipikirin ke situ apa." Kabul ngomel-ngomel lagi.     

"Diem dulu kamu." Timpal Mas Sardi.     

Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam membawa dua gelas kopi dan singkong rebus dalam satu nampan.     

"Wah... ini dia yang bikin melek." Seloroh Kabul membuat Ibu tersenyum dan Mas Sardi sedikit geli melihat tingkah temannya ini.     

"Dimakan ya Bul, jangan disisain. Kalau kurang masih banyak di dalem." Timpal Ibu.     

"Siap buk.." jawab Kabul sambil mengunyah singkongnya.     

Ibu pun kembali ke dalam. Sementara Mas Sardi celingak-celinguk memastikan Ibu sudah masuk ke dalam dan tidak akan mendengar percakapan mereka berdua.     

"Kanapa? " melihat gelagat Mas Sardi ,Kabul pun menjadi curiga.     

Namun Mas Sardi masih belum menjawab.     

"Enggak di izinin ya.?" Ucap Kabul sekali lagi.     

Mendengar pertanyaan Kabul, Mas Sardi langsung menatapnnya.     

"Kok bisa tahu?" Mas Sardi menatap Kabul intens. Sementara Kabul sibuk mengunyah singkong rebusnya.     

"Kamu ini aneh. Orang dulu kamu mau jadi polisi tinggal berangkat saja enggak boleh. Apalagi ini enggak ada tujuannya. Selain melarikan diri kayak pengecut."     

Kabul nyerocos sekenanya namun memang benar-benar mengenai hati Mas Sardi     

Apa yang di katakan Kabul benar. Simbok pasti berat melepaskan Mas Sardi anak sulungnya untuk merantau ke tanah antah berantah. Karena itu Ia membutuhkan dukungan ayahnya untuk membujuk Simboknya. Sedangkan untuk mendapat dukungan ayahnya. Ia harus menikah terlebih dahulu.     

"Masalah Simbok memang rumit Bul. Tapi bapak sudah setuju. Hanya saja aku harus memenuhi syarat. Itu yang susah."     

Mata Kabul membelalak. Menyadari ternyata tujuan Mas Sardi mengajaknya untuk ke rumah Asri demi melamarnya adalah untuk memenuhi syarat dari ayahnya. Kejam sekali temannya satu ini. Dia akan menikahi wanita bukan karena mencintainya namun karena ia membutuhkan persetujuan ayahnya untuk berangkat transmigrasi.     

"Gila kamu. Jadi kamu mau menikah hanya untuk memenuhi syarat bapakmu itu?"     

Mas Sardi mengangguk dan menyesap kopinya pelan.     

"EDAN! Enggak punya hati." Ucap Kabul lagi.     

"Yang menyukai kamu kan banyak pilih saja salah satu." Usul Kabul memberikan solusi sekalipun Ia geleng kepala dengan tujuan temannya itu.     

"Kamu benar yang menyukai saya banyak. Tapi karena masalah kemarin itu, ku kira pamor saya sudah luntur." Jawab Mas Sardi.     

"Ya sudah pasang susuk saja." Mas Sardi yang menyesap kopinya hampir saja tersedak oleh ucapan sembarang temannya itu.     

"Kamu yang gila Bul. Bukan aku. Dasar semprul kamu memang."     

"Lah terus bagaimana. Kamu lihat Si Suyudi tadi? Kamu pikir semuanya enggak bakal sama?"     

Mendengar penuturan Kabul membuat Mas Sardi menyadari. Bahwa dirinya sekarang memanglah sudah di cap buruk di mata orang desa. Dia yang tidak punya kesempatan untuk membersihkan namanya telanjur buruk di mata semua orang kecuali keluarganya dan temannya ini. Kabul.     

"Permisi mas..." Masih asik bercengkrama dengan kabul tiba-tiba suara seorang gadis datang dari arah belakang Mas Sardi. Tepatnya di depan pintu masuk rumah.     

Kabul sudah tersenyum sejak tadi. Sepertinya Ia terpana dengan gadis ini.     

"Eh dek Ranti" Ranti hanya tersenyum menimpali sapaan Kabul.     

Mas Sardi pun membalikkan badan. Ia melihat Rantimembawa sebuah ceting berisi jagung. Mas Sardk tahu, karena ini bukan pertama kalinya. Kalau diingat-ingat, akhir-akhir ini Ranti memang sering sekali datang ke rumah.     

"Dek Ranti. Bawa jagung ya.." Mas Sardi pun beranjak dan mengambil ceting yanh Ranti bawa.     

"Iya mas, ini hasil panen pagi ini, sudah di preteli." Jawab Ranti dengan sopan.     

"Yasudah ini saya bawa masuk ya. Mau ketemu Simbok dulu?     

Ranti menggeleng.     

"Ndak mas, saya pamit dulu. Soalnya sudah sore."     

Mendengar penuturan Ranti, Mas Sardi pun mempersilakan.     

"Oh yasudah kalau begitu. Terima kasih ya. Akan saya sampaikan kepada Simbok"     

"Iya mas. Sama-sama." Jawab Ranti sambil lalu.     

Rantibp pun berlalu pergi.     

"Sering ke sini ya?" kabul menimpali setelah kepergian Ranti.     

"Iya akhir-akhir ini. Mungkin karena musimnya panen. Bapaknya dia kan kerja sama bapakku." Kabul hanya mengangguk-angguk.     

"Kenapa enggak sama dia saja." Seloroh Kabul asal bicara sambil memisahkan singkong dari serat tengahnya.     

Sardi hanya diam. Dari semua wanita, Sardi memang tidak pernah menuliskan nama Ranti. Selain karena Mas Sardi tahu Ranti tidak punya perasaan padanya. Sardi tahu bahwa Ranti itu gadis baik-baik yang akan terlalu kasihan menerima niat Sardi untuk mempersuntingnya.     

"Ah.. tidak lah Bul. Saya sudah mempersiapkan enam nama. Si Asri sudah gugur. Berati tinggal lima lagi. Saya cuma punya waktu sampai akhir bulan ini. Karena minggu depannya sudah pemberangkatan. Masalahnya lima orang ini saya tidak tahu akan responsnya bagaimana. Saya hanya yakin sama perasan mereka kepada saya. Mereka yang saya nilai paling tulus sama saya. Tidak tahu kalau orang tua mereka modelnya seperti Suyudi"     

Tutur Sardi pada Kabul yang memperhatikannya sejak tadi.     

"Lalu rencana kamu apa?"     

"Ya kamu." Mendengar dirinya ditunjuk membuat kabul memundurkan badannya. Dan memasang wajah pura-pura polosnya.     

"Kenapa saya? Mau nikah sama saya?" Sardi terbahak-bahak mendengar temannya ini salah tangkap maksud dari rencananya.     

"Edan po!. Tobat.. tobat... punya teman model kamu." Kabul semakin bingung dan wajahnya semakin kocak saja.     

"Ya kamu bukan untuk saya nikahi. Untuk saya jadikan perantara. Antara aku dan orang tua mereka."     

"Oh..." Kabul pun ber-oh ria mengetahui tugasnya kali ini.     

Namun satu nama yang kini terpikirkan oleh Sardi. Yaitu Ranti. Apakah mungkin Ia bisa dijadikan salah satu kandidat calon istrinya?seandainya mungkin. Apakah Dia mau menerimanya?Ini adalah kisah tentang Mas Sardi yang di jebak oleh sahabatnya sendiri. Demi melengserkan posisinya sebagai calon sekretaris desa. Temannya itu rela menggadaikan pertemanannya hanya untuk mendukung pencalonan kerabatnya dengan cara yang amat sangat kotor.     

Simbok dan ayah hanya diam mendengar penuturan dari Pak Bayan kala itu. Tentu saja Pak Bayan beserta jajarannya berusaha mengklarifikasi Masku tentang apa yang terjadi 3 hari hang lalu ketika Ia tidak pulang. Kami sekeluarga tidak punya bukti apa pun dan juga pembelaan apa pun. Yang tahu hannyalah orang bernama Seno dan teman-temannya yang sengaja mengajak Masku untuk datang ke tempat laknat itu.     

"Saya tidak tahu pasti kejadiannya Pak Bayan. Malam itu saya datang bersama Seno dan teman-teman. Lalu mereka memberi Saya minuman. Ah ya, sebenarnya mereka mengajak saya dalam rangka rapat dadakan untuk kedua calon sekretaris desa. Tepat setelah rapat itu di mulai. Saya menenggak minuman saya. Saya menenggaknya habis satu gelas. Setelah itu saya ketagihan. Saya menenggak lagi. Dan sampai disitu saya lupa apa yang terjadi. Sampai tadi malam mereka beramai-ramai menyeretku dari tempat itu. Saya tidak tahu sudah berlalu tiga hari. Padahal merekalah yang mengajakku"     

Mas Sardi berusaha menjelaskan kronologinya. Sementara di luar rumah masyarakat telah di ujung kegeramannya karena adu domba. Mereka kemudian dengan lantang menyerukan agar masku di copot dari calon sekretaris desa.     

Pak Bayan pun bersikap menengahi kejadian ini. Sebagai seorang pamong desa. Tugas Pak Bayan adalah membuat masyarakat tenang. Sebelum terjadi hal-hal anarkis hang tidak diinginkan.     

"Begini Mas Sardi, Ini permintaan masyarakat. Karena Mas Sardi sendiri tidak bisa menjelaskan kejadian sebenarnya, terlebih tidak ada saksi dan bukti. Maka dengan terpaksa atas keinginan masyarakat kami agar pencalonan Mas Sardi di hapuskan. Karena kami khawatir jika di teruskan maka akan terjadi kegaduhan."     

Wajah Mas Sardi seketika memerah. Ia ingin marah namun tak kuasa. Lebih-lebih Ia merasakan malu yang luar biasa.     

"Seno Pak. Seno akan bersaksi. Bapak tahu kan? Dia itu teman Saya." Sanggah Mas Sardi.     

Pak Bayan menghela nafas. Disisi lain Ia tahu semuanya hanyalah taktik politik tim lawan.     

"Kami, pihak jajaran pengurus Desa sudah mengklarifikasi semua anggota yang mengajak Mas Sardi malam itu. Mereka membenarkan tentabg rapat tersebut. Tetapi mereka dengan kompak mengatakan bahwa Mas Sarsi lah yang tidak mau di ajak pulang oleh mereka. Sehingga mereka meninggalkan Mas Sardi di sana. Kata mereka saat itu Mas Saedi memang salam pengaruh minuman. Namun masih dalam keadaan sadar. Sehingga mereka tidak bisa memaksa Mas Sardi. Mereka juga kompak mengatakan bahwa tisak tahu jika Mas Sardi akan sampau tiga hari tinggal di sarang kupu-kupu malam itu." Ulas Pak Bayan kepada keluarga kami.     

Seketika semua wajah menjadi murung terutama wajah Mas Sardi.     

Dengan diumumkannya penghapusan secara resmi Sardi  sebagai calon sekretaris Desa membuat kami sekeluarga terpukul. Terlebih Ayah sebagai sesepuh dan mantan pengurus desa.     

Semenjak kejadian memalukan itu. Mas Sardi menjadi uring-uringan, jarang sekali keluar rumah. Ia lebih suka mengurung diri di kamar, atau hanya termenung di pekarangan belakang rumah. Ia jadi lebih sering merokok dan juga tidur larut malam.     

Ketika Simbok mulai khawatir dengan kondisinya, Ayah hanya berusaha menenangkan Simbok. Beliau mengatakan bahwa Mas Sardi sedang meresapi dan merenungkan kesalahannya kali ini.     

Cerita ini kudapatkan dari Simbok sendiri.     

Kata Simbok Mas Sardi dan Masku yang lain memang sedikit berbeda. Mas Sardi adalah anak laki-laki yang paling dekat dengan Ayah. Sehingga dengan kejadian itu bisa membuat ayah sangat terpuruk.     

Setiap pagi, ayah membagi tugas anak-anaknya. Mas Kardi khusus membantu Simbok. Mas Mardi khusus menjagaku. Dan Mas Sardi bertugas membantu Ayah di ladang. Hal tersebut lah yang membuat kedekatan masing-masing dari kami terjalin. Dan menjadikan alasan kenapa ayah begitu dekat dengan Mas Sardi.     

Sebagai anak perempuan satu-satunya aku memang cukup dimanjakan. Tidak seperti kakak-kakakku yang harus hidup susah sedari kecil, aku termasuk beruntung karena sudah menerima kehidupan cukup nyaman dari saudara-saudaraku.     

Ibuku bahkan membelikan aku beberapa emas. Padahal di jaman itu emas adalah hal yang sangat berharga, jarang sekali orang biasa memiliki. Kecuali seorang konglomerat     

.     

Desas-desus Presiden Soeharto untuk memindahkan rakyat Jawa ke pulau lain pun terendus. Mendengar kabar demikian sempat menjadi penolakan besar di beberapa kalangan. Namun Mas Sardi yang pertama kali mendengar kabar tersebut nampak seperti mendapat pencerahan dalam hidupnya.     

Tiba-tiba saja Ia semringah untuk ikut dalam peserta bedol desa ke Sumatera. Keinginan Mas Sardi bergabung mungkin sudah bisa tertebak oleh ayah dan Simbok. Mas Sardi ingin melarikan diri ke tempat yang jauh. Karena Ia tahu di tempat ini sudah tidak ada apa pun yang di harapkan.     

Mendengar Mas Sardi begitu semangat untuk transmigrasi membuat Ibu langsung menanggapinya. Tentu saja Ibu tidak setuju. Jangan kan ke luar Pulau. Ke luar kota saja kalau bisa jangan.     

Ibu terlalu trauma dengan huru-hara. Jaman ketika Ibu masih muda, banyak laki-laki yang pergi akhirnya tidak pulang. Entah masih hidup atau sudah mati. Ibu sangat tahu bahwa terkadang mereka diculik untuk di jadikan budak. Atau kadang di bunuh dengan sengaja oleh pasukan musuh.     

Berbeda dengan Ibu. Pikiran ayah jauh lebih terbuka. Terlebih ayah sendiri adalah seorang perantauan. Yang hingga kini akhirnya malah bertahan di perantauan itu sendiri hingga beranak pinak.     

Ayah memberi wejangan kepada Mas Sardu. Beliau akan mengizinkan Mas Sardu untuk ikut transmigran dengan syarat menikah terlebih dahulu. Dengan begitu ketika hidup di luar sana akan ada yang mengurusnya.     

Sebenarnya berat sekali syarat yang di berikan ayah itu menurut Mas Sardi. Namun keinginannya terlalu besar jika Ia harus mundur karena sebuah syarat kecil.     

Sebulan dari hari itu mas Sardi sudah mulai menyusun rencana. Ia mulai mencari nama-nama wanita yang Ia kenal. Setelah Ia menyusun nama-nama itu Ia mulai mencari siapa orang terdekat yang bisa Ia tembung atau lobi.     

Mas Sardi pun melobi setiap nama-nama yang ada dalam daftar. Total ada 6 wanita, Ia memulai dari wanita yang pertama yaitu Asri.     

Asri ini punya kakak bernama Suyudi. Sebelum datang ke rumah Suyudi, Mas Sardi meminta temannya untuk menemaninya. Dialah Kabul. Teman satu-satunya yang masih Ia percaya. Semenjak ia mengasingkan diri, Kabul lah satu-satunya yang terkadang mampir ke rumah.     

Di temani Kabul, Mas Sardi berangkat ke Rumah Asri. Kabul sempat bertanya tentang tujuannya mendatangi rumah Asri. Namun Mas Sardi hanya menyuruhnya tenang dan jangan banyak tanya.     

Sesampainya di sana Mas Sardi mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kabul setia menemani di belakangnya. Kebetulan sekali yang membuka pintu adalah masnya Asri, Suyudi.     

Suyudi membuka pintu. Namun Ia begitu terkejut karena yang datang adalah Mas Sardi. Orang yang telah tercemar namanya itu. Suyudi yang tadinya hendak tersenyum langsung berubah raut muka. Ia memasang muka masam tanda tak suka.     

"Ada apa." Tanya Suyudi ketus.     

"Saya ke sini untuk menemuimu perihal Asri."     

Mendengar nama adiknya di sebut Suyudi langsung mengepal tangan.     

"Apa maksud mu!" Suyudi yang hendak melayangkan bogemnya langsung di halau oleh Kabul. Meskipun Kabul sendiri tidak tahu apa yang akan di sampaikan Mas Sardi.     

"Tunggu dulu mas suyudi jangan emosi. Alangkah baiknya kalau kami di persilahkan masuk dan kita ngomong baik-baik di dalam." Kabul meredakan amarah Suyudi. Lalu Suyudi pun mempersilakan keduanya masuk.     

"sstt..." Kabul memberi isyarat Mas Sardi untuk masuk.     

Mereka berdua pun duduk. Tanpa menunggu di jamu Kabul pun  mulai berbicara.     

"Saya hanya mengantar teman saya Mas Suyudi. Dia ingin menyampaikan sesuatu dengan Mas. Jadi mohon didengarkan terlebih dahulu." Ucap kabul.     

Mendengar kabul mengawali pembicaraan membuat  Suyudi agak mereda. Sekaranglah giliran Mas Sardi menyampaikan maksud nya.     

"Begini di, saya tidak ada niat jahat. Hanya mau nembung adikmu apakah mau jika saya persunting menjadi istriku"     

Haii... yang setia baca, saya pastikan ceritanya akan semakin menarik karena ini adalah based on true story. Jadi support aku ya... jangan lupa reviewwwnya.:red_heart::red_heart::red_heart:     

 Pak Hadi terlihat mengabaikan pertanyaanku. Sedikit meembuatkunpenasaran namun hanya bisa ku oendam dalam hati. Tidak tepat rasanya jika aku terlalu vokal menyuarakan rasa penasanku saat ini.     

Deru Si Butut pun berhenti di depan pekarangan sebuah rumah panggung yang mempunyai halaman cukup luas.     

Saya yakin Ia hendak masuk ke pekarangan rumah tersebut. Terlihat sepasang suami istri sedang bercengkerama di teras rumah itu. Laki laki paruh baya dan wanita yang cukup berumur. Duduk bersisihan di sebuah bangku. Sang laki-laki berulang kali  menghisap  rokoknya. Sementara asapnya tak terlihat karena dsri kejauhan begitu gelap, bara rokok di tangannya nampak memeberikan tanda.     

"Ayok non." Ajak Pak Hadi kepadaku.     

Aku sedikit terperanjat karena pikiranku sedang dipenuhi pertanyaan kenapa Pak Hadi tidak menjawab pertanyaanku tentang Bapak-bapak di gardu tadi.     

"Eh... iya pak.." aku segera tersadar.     

"Ini rumah teman lamaku. Jadi tidak usah khawatir. Saya akan bertanya kepadanya alamat rumah non."     

Aku hanya diam mengekorinya. Sampai akhirnya kami berada tepat di teras rumah ini.     

Cahaya remang-remang petromaks membuat wajah mereka terlihat sedikit pendar. Tapi cukup untuk ku mengenali raut wajah mereka. Di ganah Sumatera ini belum terjamah listrik. Orang yang memiliki lampu atau listrik hanyalah orang-orang yang sangat-sangat kaya. Itu pun mereka madih menggunakan tenaga diesel.     

Mereka tersenyum kepada kami. Khususnya pada Pak Hadi     

"Par.. assalamualaikum..." Begitu Pak Hadi memanggil temannya. Temannya yang ternyata sebaya Pak Hadi itu pun langsung terbangun dari duduknya dan menghampiri kami.     

"Wa alaikumsalam.. saudaraku. Apa kabar.. lama nian tak jumpa." Mereka berpelukan. Lalu aku bersalaman dengan yang wanita di sebelahnya yang kuyakini  adalah istrinya.     

"Kau dari mana? Hingga larut malam begini? Apa kau baik baik saja melewati pengkolan? Akhir-akhir ini sedang rawan."     

Kulihat Pak Hadi berusaha tidak menanggapi celoteh sahabatnya. Lagi, dan membuatku semakin penasaran. Dia malah mengganti topik pembicaraan. Temannya yang ternyata bernama Pak Paron itu memberikan rokok kepada Pak hadi. Lalu Pak hadi pun mulai menyulutnya dengan korek kayu di sebelahnya. Aroma tembakau menguar seiring hembusan asap dari mulut Pak Hadi. Aku hanya diam meskipun rasanya sesak napas.     

"Anu.. begini Par.. tadi sore aku mengantar anakku mau kerja ke Jakarta. Tadi kan ada kapal bersandar. Nah... Si Rama itu nampak berat untuk pergi. Padahal kapal sudah di depan mata." Panjang lebar tutur Pak Hadi mengalihkan pembicaraan.     

"Apa benar Di? Wah.. si Rama sudah dewasa sekarang agaknya. Dia bahkan sudah berani merantau ke Jawa." Jawab Paron     

"haha.. bagiku Dia itu masih kecil Par... harus terus dibimbing."     

Aku hanya mendengarkan percakapan mereka sambil duduk di samping Istri Pak Paron. Dan ternyata istri Pak Paron sedang membuatkan kami minuman. Aku meraba apa yang dikerjakan istri Pak Paron sedari tadi. Ternyata ia sedang memilih bulir kopi. Dengan ditemani suaminya dan cahaya sentir yang tidak begitu terang.     

"Siapa yang kamu bawa Di? Macam-macam kamu pulang- pulang bawa wanita." Pak Paron nampak menoleh ke arahku.     

Aku pun tersenyum sekenanya.     

"Hlah itu alasan aku kesini. Aku ketemu nona ini pas mengantar Rama. Dia baru turun dari kapal. Mau mencari alamat masnya katanya."     

Pak paron terlihat mangut-mangut.     

"Nama Masnya Sardi dan Kardi. Katanya juragan kayu. Lah kebetulan tinggal di sini. Orang Jawa"     

"Ohh. Pak Sardi... itu emang juragan.. rumahnya ada di tengah kampung. Sebelum perempatan kedua.. kiri jalan.. yang rumahnya sudah plesteran. Transmigran itu kan ya?" Pak Paron nampak bertanya padaku.     

Aku mengangguk membenarkan.     

Ternyata Mas Sardi cukup terkenal meskipun pendatang. Ya tentu saja itu kabar bahagia buatku. Artinya Aku tidak perlu khawatir tentang biaya hidup selama di sini. Haha...     

Rencanaku masih seperti awal aku berangkat ke tempat ini. Menjemput Simbok pulang ke tanah Jawa.     

Rasanya menjadi anak perempuan satu satunya seperti memberi tanggung jawab tersendiri. Ketiga masku memang sudah menikah. Tapi kebanyakan orang tua tidak terlalu senang ikut tinggal dengan anak laki laki beserta istrinya. Sungkan. Istilahnya.     

Mendengar kabar dari transmigran yang kebetulan pulang kampung. Bahwa Ibuku banyak mengalami hal tidak mengenakkan. Maksudku bukan yang aneh aneh. Hanya saja terdengar kabar bahwa beliau tidak kerasan tinggal serumah dengan masku dan istrinya. Dan membuat Simbok terkadang tinggal bersama saudaraku yang lain. Membuat aku miris. Hingga ku putuskanlah datang ke sini.     

Aku memaklumi kedua belah pihak atas kabar itu. Mungkin memang masku kurang perhatian. Wajar. Seorang laki- laki memang biasanya cuek. Istri Masku, mbak Ranti juga orangnya pendiam.  Apalagi ditambah Mas Kardi juga ikut tinggal di situ. Pasti sering cek cok dengan Mas Sardi.     

Dua bersaudara ini memang tidak pernah akur. Sejak saya kecil pun, yang merawat saya kebanyakan adalah Mas Mardi. Dia yang paling mirip kakak perempuan bagiku. Berbeda dengan Mas Sardi, kerjanya banyak marah dan mengomel. Engga jauh beda dengan Mas Kardu. Belum lagi kalau mereka berdua cek cok. Maklum umur mereka berdua hanya berjarak satu tahun.     

Akhirnya Pak Hadi mengantarku sampai depan Rumah kakakku. Seperti yang Pak Sardi katakan bahwa rumahnya adalah satu satunya yang plesteran atau sudah menggunakan semen. Berbeda dengan kebanyakan rumah di sekitar sini yang hanya berupa susunan lempeng.     

Berkat petunjuk arah dari teman Pak Hadi tadi. Maka di sini lah Pak Hadi memberhentikan motor bututnya.     

Nampak sinar redup dari lampu sentir  yang menembus kaca. Bagus sekali rumah ini sudah memakai kaca. Meskipun bukan kaca tembus pandang.     

Rumahnya berbentuk letter L. Sehingga pekarangannya lebih luas dan menjorok ke pintu belakang. Pekarangan depan nampak sempit dengan sedikit teras. Tapi karena yang kulihat lampu sentir dari kaca rumah bagian belakang maka aku langsung menghampiri sumber cahaya tersebut.     

Sampailah kami di depan pintu.     

TOK.. TOK..TOK..     

Pak Hadi mengetukkan tangannya.     

"Permisi..." katanya.     

Terdengar seorang dari dalam berjalan menuju pintu lalu berusaha membuka gerendel.     

"Siapa?"     

Dibuka lah pintu tersebut oleh orang yang sangat kukenal meski terbalut dalam siluet.     

Mbok. Batinku.     

Aku langsung saja memeluk beliau.     

"Owalah ndokk.. koe ko antepan temen..." (yaampun anakku, kamu kok berani sekali.)     

Beliau mengelus rambutku dan mengajakku masuk tidak lupa pak Hadi.     

Aku meletakkan tas lalu duduk dan menyandarkan punggungku yang terasa kaku. Ku persilahkan Pak Hadi duduk.     

Kami berhadapan. Sedangkan Ibu menaruh tas ranselku di kamar     

"Non.. itu Ibu non?."     

Aku tersenyum.     

      

"Iya pak.. Itu Ibuku."...     

Tiba-tiba aku jadi teringat pada orang-orang di Gardu tadi. Aku ingin bertanya lebih jauh kenapa Pak Hadi lalu saja tanpa memberi salam kepada mereka. Padahal sudah jelas mereka pasti orang sekitar sini. Tidak sopan kalau lewat saja.     

Namun Ibu muncul dari belakang membawa dua cangkir teh hangat.     

Aku pun mengurungkan niatku. Biarkan kutanyakan lain waktu saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.