PERNIKAHAN TANPA RENCANA

103



103

1Mas Sardi dan Mba Ranti sama-sama tak mengerti takdir apa yang sedang bermain main dalam hidup mereka. Mas Sardi tahu dengan jelas bahwa Mba Ranti menyukai Mas Kardi. Beberapa hari yang lalu ia mendengarnya langsung dari mulut Mba Ranti Tapi yang Mas Sardi lebih tidak mengerti sebenarnya adalah mengapa ayahnya begitu nekat menjodohkan mereka berdua tanpa mendengar pendapat Mas Sardi.      1

Mereka berdua saling bungkam. Sementara hari sudah benar-benar gelap.     

''Pulang Ran. Ayo saya antar .'' Ucap Mas Sardi memecah keheningan mereka.     

''Kalau kamu tidak mau nikah dengan saya. Saya akan bilang pada ayah saya. Tapi kalau kamu bahkan ragu tentang hatinmu. Biar saya pastikan, saya bisa membuat kamu mencintai saya. Saya membutuhkan pernikahan ini. Saya butuh kamu.''     

Mba Ranti tak menjawab sepatah kata pun. Ia tak tahu dengan isi kepalanya juga hatinya. Terlihat dalam wajah Mas Kardi dalam pikirannya. Namun suara Mas Sardi memenuhi juga memenuhi isi hatinya.     

''Mas. Apa yang bisa kamu janjikan kepada saya jika menjadi istrimu.''     

Mas Sardi terdiam mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak pernah Mba Ranti ajukan jika dia tidak menginginkan pernikahan ini.     

Mas Sardi menarik lengan Mba Ranti. Mba Ranti tersentak dan masuk dalam peluk Mas Sardi. Mba Ranti meronta namun Mas Sardi memeluknya tanpa ingin melepasnya. Lalu Mba Ranti pun tenang. Mas Sardi mulai mengusap rambutnya.     

''Ran, aku tidak bisa menjajikan apapun yang besar, aku hanyalah orang yang bekerja keras setiap hari, dan juga laki-laki dengan masa lalu memilukan, namun perlu kamu tahu Ran, hatiku mulai berdesir saat aku melihatmu membawa jagung didepan rumahku. Itulah pertama aku melihatmu lebih dekat dari biasanya. Pertama kali aku memperhatikanmu.''     

Mas Sardi melepas pelukanya . Ia tahu Mba Ranti menangis mendengar ucapanya.     

''Tapi aku Mas. Mungkin tidak bisa mengimbangi perasaanmu.'' Jawab Mba Ranti dalam kebimbangan.     

''Aku bisa merubah hatimu Ran. Seiring berjalan waktu. Kamu akan tahu, perasaanmu pada Kardi hanya kekaguman semata.'' Mas Sardi memegang pundak Mba Ranti.     

Sementara Mba Ranti menunduk. Ia tak tahu bagaimana cara mengatasi dirinya sendiri.     

Mas Sardi mengecup kening Mba Ranti. Lalu jemarinya meraba pipinya dan mencari bibirnya. Tepat. Mas Sardi mengecup bibir Mba Ranti dengan lembut. Sementara Mba Ranti mematung. Jantungnya memacu tidak karuan. Pengalaman yang tak pernah sekali pun Mba Ranti rasakan.     

Mas Sardi tersenyum dalam gelap malam itu. Berharap tak ada yang sia-sia dalam usaha terakhir kalinya.     

''Kita menikah Ran, aku janji, tidak akan menggantimu dengan siapapun.'' Ucap Mas Sardi memastikan. Sementara Mba Ranti hanya menunduk lalu ia mengangguk, ia kalah oleh dirinya sendiri. Sementar hari semakin malam. Suara binatang malam pun mulai mendominasi. Mas Sardi pun memutuskan mengajak Mba Ranti masuk ke saung milik ayah. Ia menyalakan lampu sentir. Nampak wajah Mba Ranti yang tenang dan ayu. Temaram menemani mereka berdua.     

''Apa kamu mau mandi? Dibelakang ada sumur nanti saya ambilkan airnya.'' Ajak Mas Sardi     

Mba Ranti masih tidak menjawab.     

''Ayo.'' Mas Sardi menarik lengan Mba Ranti dengan lembut.     

Mba Ranti hanya menuruti ajakan Mas Sardi. Mas Sardi menggandeng lengan Mba Ranti serta menunjukan jalan. Sementara sisi tangan lainnya memegang sentir. Satu-satunya sumber penerangan ditempat itu.     

Mas Sardi pun memposisikan diri untuk menimba air. Ia membelakangi Mba Ranti. Sementara Mba Ranti melucuti kain satu persatu di badanya. Ia terlihat kebingungan. Kalau ia membasahi jariknya ia akan berpakaian apa nanti.     

Mas Sardi pun menoleh ke arah Mba Ranti . yang ternyata hanya memakai kemben dari jariknya.     

''Kenapa Ran?'' Mba Ranti tidak menjawab. Sementara Mas Sardi memahami kebingungan Mba Ranti. ''Tidak apa-apa lepas saja semuanya. Aku juga akan mandi membelakang imu. Sehingga tidak melihatmu.'' Ucap Mas Sardi     

Mba Ranti hanya menunduk. Sementara Mas Sardi terus menimba untuk memenuhi tandan air agar cukup untuk mereka berdua mandi. Mba Ranti hanya diam menunggu Mas Sardi memenuhi air. Ia duduk di sebuah kotak kecil terbuat dari kayu. Setelah Mas Sardi selesai ia pun membuka celananya. Seketika membuat Mba Ranti memalingkan muka karena malu. Mas Sardi tersenyum. Padahal tersisa celana pendek menempel kulitnya.     

"Sudah ayo mandi, aku menghadap kesini, kamu menghadap kesana. Sabun ada di tengah-tengah ini ya… gayung ada dua gausah kawatir.'' Ucap Mas Sardi.     

Mba Ranti dan Mas Sardi pun saling membelakangi. Mereka saling mengguyur diri dengan air yang begitu dingin dan segar. Bagian intim mereka saling menegang karena dingin. Berbeda dengan Mas Sardi yang punya metode mandi cepat. Mba Ranti mandi dengan metode pelan dan halus, ia mengguyur tubuhnya sedikit demi sedikit.     

Tibalah waktunya mereka mengambil sabun. Namun mereka saling lupa bahwa sabun hanya satu disana. Tangan mereka bertumpuk. Sontak membuat keduanya saling menoleh. Berdesirlah hati keduanya. Merinding menjalar di sekujur tubuh keduanya. Airnya mungkin benar-benar dingin atau perasaan mereka yang sedang memicunya.     

Mba Ranti hendak menarik tanganya namun Mas Sardi dengan sigap menggenggamnya. Dalam remang Mba Ranti menatap mata Mas Sardi. Mereka saling menginginkan. Itulah kalimat yang cocok untuk mereka berdua saat ini. Mas Sardi pun membalikkan badannya. Sementara Mba Ranti memalingkan muka dari Mas Sardi.     

''Sini aku gosok punggungmu.'' Ucap Mas Sardi keberaniannya meningkat bersama dengan waktu yang terus bergulir diantara mereka berdua.     

Mba Ranti hanya diam.     

Dengan pelan Mas Sardi mengambil air lalu mengguyur punggung Mba Ranti.     

Mas Sardi mengelusnya pelan lalu ia mengoleskan sabun dan menggosoknya dengan batu alam yang biasa ia gunakan. Mba Ranti merinding di sekujur tubuh. Ia tahu ini salah. Namun sama halnya Mas Sardi ia juga menginginkannya. Mas Sardi terus menggosok pelan di punggung Mba Ranti. Sementara tangan Mba Ranti menggerayangi dirinya di bagian depan.     

Mas Sardi menggosok dibagian pinggang dan sontak membuat Mba Ranti menggeliat geli. Hal itu malah memncing Mas Sardi untuk melakukan sekali lagi. Sampai akhirnya Mba Ranti tidak kuat menahann entah apa disalam dirinya yang sedang bergejolak saat ini dan ia pun kini memegan tangan Mas Sardi.     

''Mas aku..'' Mba Ranti yang belum menyelesaikan kalimatnya sontak terkejut dengan Mas Sardi yang mulai mencumbui lehernya. Hal itu membuat Mba Ranti menggelinjang geli.     

Mas Sardi meletakkan batunya ia lalu mengambil air dan menyiram punggung Mba Ranti. Mba Ranti tak menolak. Ia terus menikmati sengatan-sengatan Mas Sardi yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Sesekali Mba Ranti melenguh. Ia tak tahu sensasi apa yang sedang ia rasakan. Ia hanyalah menikmati setiap hal yang kini sedang Mas Sardi ajarkan.     

Mas Sardi pun memeluk Mba Ranti. Sehingga kulit punggung Mba Ranti menempel pada dada Mas Sardi. Mereka sama-sama tak kuasa menahannya. Mas Sardi pun semakin tak sanggup lagi. Dan mereka saling bercumbu mengisi ruang ragu-ragu diantara masing-masing.     

Mba Ranti menengadah,terpejam. Kepalanya bersandar pada bahu Mas Sardi. Napas mereka saling memburu. Antara lelah dan nikmat. Mba Ranti yang tak pernah merasakan kenikmatan semacam ini pun menunduk.     

Lalu Mas Sardi mengarahkan tubuh Mba Ranti ke arahnya. Mba Ranti masih menunduk. Mungkin ia malu. Batin Mas Sardi.     

''Nanti setrelah menikah, kita akan melakukan hal seperti ini.''     

Sontak Mba Ranti menatap Mas Sardi yang sedang membersihkan tubuh Mba Ranti.     

Mba Ranti hanya diam dan menatapnya. Pada titik ini, Mba Ranti menyadari ia kini telah dewasa.     

Pada akhirnya Mas Sardi mengantar Mba Ranti untuk pulang.mereka berjalan beriringan. Meraba-raba jalanan gelap, meski Mas Sardi sempat berpikir untuk menhan Mba Ranti lebih lama, namun ia mengurungkannya. Ia tak mau memaksa gadis polos seperti Mba Ranti. Ia tak mau Mba Ranti salah sangka dan malah berbalik membencinya. Ia hanya berharap setelah ini, semoga besok ia dapat kabar baik darinya.Pernikahan mereka pun akhirnya digelar secara sederhana di rumah kami. Mba Ranti yang mulanya tidak ikhlas dengan perjodohan tersebut akhirnya berusaha legowo juga. Gosip yang menerpa Mas Sardi selama ini pun perlahan sirna. Masyarakat desa mulai membaur kembali dengab keluarga kami.     

Rencana transmigrasi Mas Sardi pun berjalan lancar sesuai dengan apa yag di rencanakannya. Mba Rantilah kunci pemutus dari perjalanan hidup Mas Sardi yang selalu pilu itu.     

Perlahan khidupan Mas Sardi pun mulai pulih. Aku kira keadaan di Sumatera membuat pikirannya menjadi terbuka. Ia juga sering kali mengirimi kami surat dengan tulisan tangan rapi dan indahnya melewati pulau menyampaikan kabarnya kepada kami. Hingga ia memiliki anak pertamanya yang bernama yaitu Bejk.     

Dia selalu menceritakan anaknya didalam suratnya itu. Bejo ia gambarkan sebagai anak yang sangat cerdas. Cita-citanya kelak adalah menjadi dokter. Dalam surat yang kami, keluarga di Jawa baca.     

Simbok berulang kali mengatakan ingin menyusulnya ke Sumatera. Setelah mas kardi juga berada di sana. Sepeninggal ayah sepertnya Simbok merasa kesepian dikampung. Apalagi setelah aku juga memutuskan untuk merantau. Simbok hanya di temani saudara-saudaranya.     

Akhirnya Simbok pun menyusul Mas Sardi dan mas kardi di sumatera. Di sana kelurga kami termasuk cukup banyak. Dan keluarga kami adalah keluarga tertua, sehingga kami cukup di segani. Selian dari keluarga kandungku, dari pihak keluarga dan saudara-saudara ayah juga ada di sana. Mas Selamet misalnya, Bulek Musri dan masih banyak lagi. Pasalnya hanya merakalah yang akrab denganku.     

Beberapa tahun di sumatera, kukira Simbok hidup nyaman di sana. Karena semua keluarga kami merantau, termasuk aku. Sehingga tak ada yang bisa saling berkabar. Terkadanng aku menyurati mereka. Namun mereka tidak bisa membalas suratku dikarenakan tempat tinggalku yang berpindah-pindah.     

Saat aku pulang rumah kami tak di huni siapapun. Beberapa bulan aku menetap dirumah untuk istirahat sejenak. Kudengar kabar tak mengenakkan dari salah satu tetangga yang pulang dari sumatera. Mereka mengatakan kalau Simbok tidak betah di sana. Sehingga ia terkadang hidup berpindah-pindah dari satu saudara ke saudara yang lain. Hal itu sedikit membuatku gamang. Pasti ada sesuatu hal yang pernah terjadi.     

Hingga akhirnya kini aku berada di sini. Ya, untuk menjempu Simbok. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku lah kelak yang akan menjadi tempatnya pulang dan merawatnya. Tidak mungkin kubiarkan Simbok hidup bersama menantunya.     

Menapakkan kaki di rumah Mas Sardi membuatku ingat dengan masa lalunya yang kudengar dari nenek begitu kelam. Aku memang sedikit mengasihaninya. Ya meski sikapnya itu selalu dingin terhadapku. Tapi sebagai adik aku selalu berusaha mengabdi kepadanya. Kata-katanya adalah kata-kata mutlak ke dua setelah ayah.     

Berada satu meja makan lagi dengan mereka membuat suasana hatiku menghangat. Beberapa tahun ini aku selalu makan di dapur bersama teman kerjaku yang juga pembantu sama sepertiku. Pikiranku yang sudah melayang entah kemana membuat Simbok menyenggol lenganku dan aku pun tersadar.     

"Yang lain sudah pada mau selesai kamu malah melamun." Tutur Simbok.     

Sontak Mas Sardi dan Mba Ranti menoleh kearahku.     

"Kebiasaan!" Tutur Simbok lagi yang membuatku sedikit manyun.     

"Kenapa San?" Tanya Mba Ranti kepadaku.     

Aku hanya menggeleng. Aku tidak terlalu kenal dengannya. Ya, selama ini aku hanya mendengar banyak tentangnya melalui cerita dari Simbok atau nenek. Dan juga dari surat-surat yang Mas Sardi kirimkan kepada kami. Dulu aku masih terlalu kecil untuk mengerti kondisinya. Sekarang aku sudah cukup dewasa untuk memahami apapun.     

Mba Ranti, pertama kali akubertemu dengannya adalah sewaktu aku masih kecil. Aku sudah lupa visualnya. Dan kini aku melihatnya kembali. Orangnya cukup pendiam. Sehingga terkadang membuat aku merasa sungkan di depannya. Namun wajahnya menampakkan sosok yang tenang dan bersahaja.     

Kulihat guratan-guratan di wajahnya yang menandakan dia sudah mulai berumur. Kudengar dulu beliau sempat melahirkan dua orang putra kembar. Namun naas meninggal saat masih bayi. Dari setiap tatapan matanya adalah sayu dan sendu. Kulihat terpendam dalam di sana sebuah kesedihan yang nyata.     

Akupun menyelesaikan sisa nasi di piringku. Sementara Simbok sudah berjalan ke dapur, kemudian disusul Mba Ranti di belakangnya. Aku melirik Mas Sardi. Dia menatap ke luar jendela samping rumah. Entah apa yang di pikirkannya. Selalu menatap jauh dan kosong. Ia menyalakan kreteknya dan menghisapnya lalu membuang asapnya keluar jendela.     

"Beneran kamu disini. Sekalian bantuin mas." Ucapnya seketika membuat gerahamku berhenti mengunyah.     

Kuhentikan aktivitasku dan ku tatap dia.     

Seharunya bukanlah kalimat itu yangn Mas Sardi ucapkan. Karena ia sangatlah tahu kalu tujuanku ke sini adalah menjemput Simbok. Bukan untuk menetap lama atau bahkan mencari pekerjaan.     

"Rasain dulu tinggal di sini. Itung-itung cari pengalaman. Sukur-sukur kalau kerasan." Kalimatnya terucap begitu enteng dari mulutnya. Aku ini mau menjemput Simbok, rasanya ingin aku berteriak demikian di hadapannya sekarang ini.     

Namun aku hanya diam. Memebiarkan semua tertelan dalam pikiranku. Ingatlah kata-katanya adalah mutlak. Masih terlalu pagi jika aku harus membantah dan membuat keributan. Aku pun hanya mengangguk menanggapinya.     

Tiba saatnya para karyawan Mas Sardi datang. Sebagian adalah saudara, termasuk mas slamet. Yang lain adalah orang luar kampung kami. Bahkan ada yang dari ujung pulua jawa, yaitu Madura. Dengan gaya bicaranya yang khas membuat aku seketika tahu. Dia adalah orang Madura. Hal itu mengingatkanku akan Pak Hadi. Orang baik yang mengantarkanku sampai di sini malam tadi.     

Ah iya, Pak Hadi membuatku ingat akan pertanyaanku yang ku simpan semalam. Haruskan ku tanyakan sekarang?     

Alih-alih bertanya kepada Mas Sardi, aku memilih kebelakang untuk bertanya kepada Simbok atau Mba Ranti. Mereka sedang duduk diatas dingklik dan menikmati buahjambu air hasil panen belakang rumah. Ah iya, aku melewatkan pohon itu tadi.     

Aku menaruh piringku lalu menghampiri mereka. Aku berjongkok dihadapan mereka, karena tidak kutemun dingklik yang lain.     

"Sini. Ini makan jambu air. Baru metik ini ndok," Tutur Simbok padaku.     

Aku langsung mengambilnya dari tangan Simbok dan melahapnya kedalam mulutku.     

"Dikasih sambel enak ya mbok?" Ucapku.     

"husss… masih pagi kok mau nglotek, mules ntar kamu." Sergah Simbok. Sementara Mba Ranti hanya tersenyum menanggapinya.     

"Bilang aja takut keenakan. Jadi entar makan terus. Satu pohon habis kumakan gak jadi jual deh. Ya kan….?" Aku menggodai Simbok. Mba Ranti terkekeh.     

"Opo kamu ini, orang di makan aja enak kok mau dijual. Makan aja sana sepuasnya. Habisin sama pohon-pohonnya. Awas kalau nggak sampai habis ya. Kena kamu…"     

"eeee… emang aku apaan? Ulet suruh makan pohon. Simbok ini ada-ada aja. Masa anaknya di samain sama ulet." Selorohku.     

Mba Ranti makin terkekeh.     

"Kamu yang bilang ulet sendiri kok malah aku yang disalahin."     

"Hla habisnya di suruh makan pohon."     

"ya itu kalau kamu doyan."     

"ah Simbok ini gak jelas."     

"Gak jelas gak jelas gimana kamu ini wong pagi-pagi kok mau nglotek. Mau cari penyakit?"     

"hmmm…" Aku pun menanggapinya dengan manyun.     

Tiba-tiba aku jadi ingat pertanyaan di kepalaku.     

"Oh ya Mbok, memangnya setiap malem di sini ada ronda ya?"     

Sontak Mba Ranti dan Simbok menoleh padaku dengan tatapan aneh.     

"Ronda apanya kamu ini. Wong di hutan begini kok ronda."     

Dahiku mengernyit mendengar jawaban Mba Ranti.Sudah ku duga ada sesuatu yang aneh perihal semalam. Mulai dari begal yang tiba-tiba saja pergi tanpa melakukan apa pun kepada kami hingga Pak Hadi yang tiba-tiba saja memanggilku dengan sebutan nyai. Di jawa nyai biasanya digunakan untuk panggilan wanita yang punya pengaruh tertentu. Contohnya orang pintar, dukun bayi, atau orang ningrat.     

Seingatku, malam itu golok mereka bahkan sudah menempel pada kulit leherku. Kuingat betapa mengerikannya tertawaan mereka terhadapku. Dan lagi, mereka sudah menghabisi Pak Hadi sehingga tersungkur jauh dari hadapanku.     

Sat ku buka mata kembali. Kupikir aku sudah ada di dunia lain. Ternyata remang-remang suara Pak Hadi muncul dan menyadarkanku ternyata kami masih selamat dan masih berada di dunia ini. Anehnya saat itu Pak Hadi begitu ketakutan. Takut terhadap kehadiranku. Aku ingin memastikan apa yang terjadi saat aku memejamkan mata kala itu. Tapi melihat kondisi syok Pak Hadi membuat aku mengurungkan niatku itu.     

Kejadian berikutnya yang semakin aneh adalah para pria di gardu. Cahaya petromak memang tidak terlalu terang. Malahan cenderung remang-remang. Akan tetapi dari cahaya petromak lebih dari cukup untuk membuat siapa pun bisa melihat raut wajah seseorang. Termasuk raut wajah salah satu pria di gardu itu yang tersenyum padaku seolah menyapa.     

Aku berusaha tanya dengan Pak Hadi. Kenapa tidak bertanya kepada mereka saja. Orang-orang di gardu itu. Tapi Pak Hadi malah terlihat bingung dan Ia lalu mengalihkan pembicaraan .     

Sekarang lah kesempatanku untuk bertanya. Setidaknya simbok atau mba ranti itu sudah tinggal cukup lama di sini. Mungkin saja mereka punya jawaban yang cukup masuk akal untukku.     

"Mbok... sebenarnya semalam aku di begal." Ucapku santai di hadapan mba ranti dan simbok sambil melahap jambu air.     

Sontak mereka berdua membelalak kepadaku.     

"Kok bisa?!" Tanya Simbok penuh kekhawatiran.     

"Kan udah dibilangin kalau sampai hilir sore nginep saja." Ucap Mba Ranti kepadaku.     

"Ya tapi kan kebeneran ada yang mau nganterin mba..."Jawabku.     

Simbok lalu menimpukku berulang kali karena gemas campur khawatir.     

"Kebeneran! Kebeneran apanya! Hah! Kalau yang nganterin juga orang jahat mau apa kamu! Sini kamu! Ceroboh saja kebiasaannya! Nggak pernah belajar. Pikirannya itu dipakai! Ya Allahhh saannn... kamu itu kok ya ngeyellll jadi anak perempuan satu-satunya." Dari marah-marah memukuliku kemudian simbok lalu menangis dan memelukku.     

"Kalau kamu enggak nyampe disini... simbok harus bilang apa sama bapakmu di aherat sana ndokkk... mbok ya jangan srugal srugul seperti itu... seng ati-ati..."     

Simbok terus memelukku sambil menangis. Ia juga tak henti-hentinya mengelus punggungku.     

"Hla terus kamu ndak papa? Badanmu ada yang sakit ndak? Barang-barangmu pada hilang?" Tanya beliau lagi.     

"Hmmm…sebenernya aku sih ndak apa-apa. Aku juga ndak kehilangan apa-apa. Justru itu yang bikin aku bingung Mbok."     

"Bingung kenapa to Ndok?"     

"Waktu itu aku kira udah ndak bakal bisa ketemu sama simbok. Soalnya detik terakhir yang aku ingat itu si begal mencengkeram leherku. Sedangkan Pak Hadi kayaknya udah pingsan karena beliau berusaha melindungiku. aku kan merem tuh mbok saking takutnya. Eh…gak lama setelah aku buka mata malah Pak Hadi yang didepanku. Anehnya, beliau jadi takut sama aku. Malah aku dipanggil nyai sama dia."     

Simbok dan mba ranti terlihat serius mendengarkan ceritaku. Lalu tangan simbok pun mulai bergerilya ke arah leherku. Merangsek masuk ke kaosku. Ternyata Ia mencari bandul kalung yang kupakai selama ini. Pemberian dari ayah sewaktu aku masih kecil.     

"Ini, jangan pernah di lepas." Tutur simbok sambil mengangkat bandul kalungku.     

Aku menoleh ke arah Mba Ranti. Aku yakin kita berdua sama penasarannya dengan alasan simbok.     

"Ini kan Cuma kalung pemberian dari bapak dulu Mbok." Jawabku yang sebenarnya sedang memancing agar simbok memberitahukan alasannya kepada kami.     

"Kamu itu memang paling ngeyel kalau jadi anak." Tutur simbok kesal.     

"Ya kalau jadi kambing aaku ndak bakalan ngeyel mbok. Paling ya mbeeeekkk gitu." Jawabku melawak. Mba ranti pun terkekeh.     

"Kamu sama masmu Sardi, itu wetonnya ganjil." Tutur simbok tiba-tiba.     

Aku dan mba ranti mengernyitkan dahi. Mungkin sama bingungnya, apa hubungannya weton dengan kalung?     

Simbok pun mulai pasang wajah serius.     

"Weton ganjil itu rentan. Kalau masmu rentan sama hal ghaib. Sementara kamu rentan sama musibah. Amit-amit Ndok, semoga sepanjang umurmu diberi keselamatan oleh gusti Allah."     

Aku dan mba ranti sama-sama mengucapkan kata amiin.     

"Ada juga yang rentan sama keduanya. Masmu iku ndak bisa diberi penangkal. Makanya semasa ayahmu hidup, dialah yang selalu menjaga dan mengawasi masmu. Ndak pernah lepas. Sayangnya masmu Kardi selalu salah paham. Padahal ada alasan di balik itu. Dulu, sewaktu di pagelaran sintren di kampung utara, hampir saja masmu itu celaka dan mencelakai orang. Untung bapakmu itu langsung datang dan menolong. Selain bapakmu, simbok, Cuma simbah lanang lah yang tahu kondisi masmu dan kamu. Bandul kalung ini didapatkan endak sembarangan. Bapakmu dan simbahmu bertapa dua hari dua malam di bukit wadas. Dan akhirnya menemukan ini untukmu. Maka gunakanlah ini selamanya. Jangan pernah melepasnya walau sekali." Cerita panjang simbok membuat pikiranku bergerilya. Membayangkan betapa pengorbanan ayah begitu besar terhadap hidupku. Bahkan setelah ia tiada pun aku masih mendapatkan perlindungan dari peninggalannya.     

Tiba-tiba mba ranti mengajukan sebuah pertanyaan kepada simbok.     

"Lalu bagaimana dengan mas sardi mbok?" Tanyanya.     

Simbok nampak mengeernyitkan dahi tanda tak paham.     

"Bagaimana apanya."     

"Itu…tadi simbok bilang Mas Sardi dilindungi ayah secara langsung. Sekarang kan ayah sudah ndak ada. Lalu bagaimana dengan kehidupan Mas Sardi kelak.?"     

Pertanyaan Mba Ranti mengandung sejuta kekhawatiran terhadap suaminya yang dahulu bahkan tak ingin Ia nikahi. Lega sekali mendengarnya, peribahasa yang tepat adalah witing ing tresno jalaran soko kulino. Alias awal mula dari sebuah rasa cinta adalah karena sebuah keterbiasaan.     

Simbok menghela nafas sedikit panjang.     

"Hm…itu yang aku sedikit khawatirkan. Dulu ayahmu sebelum menikahkan kalian sempat berunding dengan simbahmu. Karena khawatir ketika itu sebenarnya ayahmu sudah sering sakit-sakitan. Dan tidak bisa menjaga suamimu selamanya."     

"Lalu?" Sela ku karena terlalu penasaran.     

Simbok terdiam. Tiba-tiba air matanya mengalir deras tanpa suara. Ia menahan tangis seolah begitu menyakitkan dalam dadanya. Aku dan Mba Ranti terdiam bingung. Tak sepatah katapun ia ucapkan namun terjabarkan oleh air mata beliau yang masih belum kami pahami.     

Aku mengelus pundaknya. Simbok semakin sesenggukan. Mba Ranti memeluk beliau. Aku pun juga memeluknya. Tangisnya tanpa suara begitu mengiris hati kami berdua. Seolah begitu sulit dan berat bagi simbok menanggungnya selama ini. Sudah saatnya beliau lepaskan kepada kami. Beban yang tak pernah kami ketahui itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.