PERNIKAHAN TANPA RENCANA

50.MBELAH



50.MBELAH

0Setelah mereka mengikat gelondongan-gelondongan kayu besar itu menjadi menyerupai getek. Mereka akan naik di atasnya. Proses mbelah belum selesai sampai di situ. Selanjutnya adalah proses larung. Proses ini bisa dilakukan bersama-sama atau sebagian. Tergantung Mas Sardi yang memutuskan. Biasanya orang yang muda yang di suruh pulang. Karena yang di butuh kan kelak adalah negosiasi dengan supplier. Yang penting ada yang bertugas mengemudi dan wajib Mas Sardi hadir. Karena dia lah nantinya yang akan bernegosiasi dengan para juragan kayu.     
0

Hari berlalu setelah Santo menjelaskan proses mbelah kepadaku saat itu. Saat di mana Ia pulang cepat. Ternyata hari ini terdengar kabar dari mbak Ranti kalau Mas Sardi dan teman-temannya akan pulang sekitar dua hari lagi.     

Benar saja, dua hari kemudin mereka kembali dengan keadaan yang berbeda. Nampak wajah-wajah letih namun bahagia. Aku mengintip dari jendela kedatangan mereka. Sebagian mereka hanya menaruh alat lalu pulang. Beberapa ada yang beristirahat di teras.     

Simbok menarikku ke belakang. Ia menyiapkan gelas-gelas. Aku langsung sigap menuangkan kopi dan gula. Lalu Simbok menuangkan air dari termos. Ia lalu menyuruhku mengantarkannya kepada para pekerja yang kelelahan itu. Aku pun hanya mengikuti perintahnya.     

Sesampainya di ruang tamu ternyata ada tamu yang tak kukenal. Dia melirik ke arahku beberapa kali. Membuatku merasa risi. Aku pun meninggalkan ruang tamu dan keluar dengan sisa gelas untuk teman-teman kakakku yang sedang istirahat di teras. Setelahnya aku pun kembali lagi dapur.     

Kuentakkan nampan di meja dapur. Simbok yang sedang menggoreng ubi sampai terkejut. Mbak Ranti yang sedang memotong ubi menoleh ke arahku.     

"Amit amit. Ndak mau lagi aku nganter minuman ke tamunya Mass Sardi." Ucapku geram.     

"Kenapa to San..?" Tanya mbak Ranti     

"Anu mbak. Itu tamunya mas Sardi. Genit banget. Geli aku. Orang sudah ubanan juga." Ucapku.     

"Wong perempuan di senengi laki-laki kok gitu kamu ndok." Tutur Simbok dengan santainya.     

"Senengi-senengi! Simbok nih apa-apaan sih. Ya masa aku mau sama tua bangka. Kaya ndak ada laki-laki aja. Lagian orang itu tahu umur. Ndak malu apa sama cucu." Ujarku tersungut-sungut.     

"Ya sudah sini biar aku yang antar ubinya." Pinta Mba Ranti kemudian.     

Dan berlalu keluar.     

"Kamu itu kalo sama laki-laki mbok jangan galak-galak." Tutur simbok padaku.     

"Galak gimana to mbok. Aku ini cuman ndak suka kalo ada yang genit. Apalagi sudah umur. Risi mbok.." ucapku.     

"Iya risi ya risi tapi kan mereka juga enggak ngapa-ngapain kamu to"     

"Ndak ngapa-ngapain gimana orang lirak-lirik gitu kok"     

"Ya lirak-lirik itu kan hak mereka orang mata juga milik mereka."     

"Ah simbok ini malah belain mereka."     

"Lohh ndak belain. Simbok ini takut kamu enggak laku. Udah umur hlo kamu itu, dinikahkan endak mau tapi endaak kunjung bawa calon. Entar kalo jadi prawan tua gimana kamu."     

"Ah simbok nyebelin lama-lama." Aku sudah kesal berdebat dengan Simbok.lalu pergi meninggalkannya ke rawa belakang.     

Simbok hanya geleng kepala mendengar ucapanku. Aku berlalu pergi ke belakang. Menyebalkan sekali harus dikait-kaitkan dengan jodoh. Sudah pasti jodoh itu Tuhan yang ngatur, ngapain manusia ikut campur.     

Tanpa terasa langkah kakiku terus menuju ladang demi ladang. Kutemukan jalan setapak yang pernah ku lewati bersama Santo. Aku menjadi penasaran apakah aku masih mengingat jalan yang aku lewati kemarin waktu pulang dari ladang bersamanya?     

Beberapa tempat seperti muncul kembali di ingatanku. Seperti ladang yang terbakar, kubangan babi, atau pohon rotan yang menjuntai menumpangi pohon lain. Ingatan-ingatan kecil itu berhasil membawaku ke jembatan pertama sungai yang menghubungkan jalan ke ladang milik Mas Sardi.     

Aku menghela napas. Akhirnya aku sampai juga di ladang ini. Tanpa bekal apa pun. Aku langsung berjalan menuju pondok. Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan maka tujuanku kali ini hanyalah tidur. Iya. Aku akan naik ke atas dan tidur.     

Belum sampai aku di tangga pondok. Sebuah suara muncul dan mengejutkanku.     

"Ndaak dimakan macan?." Suara yang beberapa hari ini familiar di telingaku.     

Aku menghentikan langkahku.     

"Macannya endak doyan sama perawan tua." Ucapku kesal.     

Memang suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja.     

"Memangnya kalau prawan tua dosa.? Sampai macan aja endak doyan?" Ucap Santo.     

"Endak dosa tapi aib buat keluarga." Timpalku.     

Santo mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya dengan korek. Asap mengepul dari rongga mulutnya. Aku langsung menjauh darinya. Sebenarnya aku tidak begjtu suka dengan asap rokok. Enak saja. Mereka yang menikmati isapannya. Kita yang di suruh menelan sampahnya     

Dia terlihat salah tingkah dan merasa bersalah. Lalu mematikan rokoknya.     

Aneh. Ini pertama kalinya aku dipertemukan dengan laki-laki seperti Santo. Tanpa banyak basa basi dia langsung tahu kalau aku tidak suka asap rokok. Dan dengan cepat mematikan baranya. Pernah ada lelaki yang se tanggap itu? Hanya Santo.     

Dia lalu duduk di bawah pohon sawit. Sementara aku duduk pada anak tangga tidak jauh darinya.     

"Ngapain di di matikan?" tanyaku meski sudah tahu jawabannya.     

"Basah rokoknya." Ucapnya gengsi.     

Aku tersenyum mendengar alasannya yang benar-benar terlihat bohong. Kalau basah kenapa di masukan lagi ke dalam wadahnya?     

"Kamu sendiri udah nikah di?" tiba-tiba iseng muncul pertanyaan itu dari pikiranku.     

Santo melirikku. Ia lalu meremas-remas rokoknya dan membuangnya.     

"Belum." Jawabnya lirih.     

"Kenapa?" tanyaku. Tiba-tiba semua rasa sungkanku hilang kepadanya.     

"Kamu sendiri kenapa belum menikah?" tanya edi padaku.     

"Ya belum dikasih jodohlah." Jawabku dengan santai.     

"Memangnya jodoh itu kayak orang ngemis. Mintanya di kasih." Jawab Edi.     

"Ya terus harus gimana?" tanyaku.     

"Ya harus diusahkanlah." Jawabnya.     

"Sudah. Tapi enggak ada yang berhasil."     

"Benar?"     

Aku mengangguk pada Santo. Dia lalu membuang muka kembali seusai menatapku.     

"Oh berati patah hati yang belum terobati nih." Aku menoleh pada Santo yang sedang meledek. Padahal sama sekali tak berguna ledekannya itu.     

"Apaan sih di..." ucapku kesal.     

"Alah.. ngaku aja Nti..."     

"Ya terus kenapa emangnya?"     

"Ya penasaran aja lelaki yang bikin kamu patah hati itu siapa."     

"Mau tahu aja kamu To."     

"Memang endak boleh?" dahiku mengerut. Ke mana sebenarnya arah pembicaraan ini.     

"Ha endak lah. Orang Simbok saja enggak tahu. Apalagi kamu"     

"Wahh jadi aku spesial nih.." ucap Santo terus menggodaku.     

"Spesial gundulmu To. Kamu itu asal nebak dari tadi. Sok tau."     

"Ya tapi bener kan...?"     

Aku tidak menjawab pertanyaan Santo karena semua terjawab dari wajahku. Dan entah jawaban apa sebenarnya yang Santo inginkan dari setiap godaannya kepadaku. Tidak kusangka Santo ini ternyata punya sisi lain lagi. Dia mendominasi pembicaraan. Setiap raut wajah dia bisa menilai. Membahayakan. Lebih baik kutinggal dia pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.