Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Penolakan



Penolakan

0"Bagaimana kalau Raisa sengaja meninggalkan ponselnya di tempat karaoke dan keluar tanpa membawanya?" tebak Tara.     
0

"Raisa tidak sepintar itu," kata Nico dengan santai.     

"Hmm … Walaupun Raisa dimanja hingga sifatnya menjadi buruk, ia bukan wanita dengan pikiran licik seperti itu. Apa yang ia lakukan lebih condong ke tindakan impulsif dibandingkan rencana-rencana licik seperti ini. Jika ia melakukan sesuatu yang luar biasa seperti ini, kemungkinan besar ia diperintah atau dijebak," kata Anya.     

"Kalau bukan Raisa, berarti ada seseorang yang sengaja menjebaknya. Siapakah orang itu?" Nico berpikir sejenak dan kemudian seseorang muncul di benaknya. "Natali?"     

"Aku tidak bisa memikirkan orang lain selain Natali," Anya menertawai betapa ironisnya kenyataan ini.     

"Raisa begitu bodoh sehingga tidak sadar bahwa ia dipermainkan oleh sahabatnya sendiri. Harus ada seseorang yang memberitahunya" Nico mengerutkan keningnya. Ia memikirkan Raisa karena Raisa adalah adik Raka, sahabatnya.     

"Mengapa tidak kamu saja yang memberitahunya?" kata Aiden.     

Nico mengangguk, tetapi beberapa saat kemudian ia tersadar, "Paman, kamu menjebakku lagi!"     

"Menjebak apa?" Tara terlihat bingung.     

Anya hanya tersenyum tanpa mengatakan apa pun. Aiden ingin menggunakan pernikahan Nico dan Raisa untuk memperdalam kerja sama antara dua keluarga.     

"Ayo kita pulang," Aiden bangkit berdiri dan meraih tangan Anya, membawanya keluar dari ruangan itu.     

"Anggurku …" gumam Anya dengan bingung. Ia belum sempat membawa anggur yang ada di atas meja.     

"Biarkan Nico yang membawanya," Aiden menggandeng Anya keluar dari ruangan tersebut, membiarkan Tara dan Nico berbicara berdua.     

Nico dan Tara masih berada di dalam ruangan itu. Nico menatap Tara dan berkata, "Ke mana kamu akan pergi? Aku akan mengantarmu."     

"Aku akan kembali ke rumah kakekku. Tidak perlu mengantarku. Tempatnya dekat dari sini," Tara menggigit bibir bawahnya dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya, ��Apa yang dimaksud pamanmu tadi?"     

Mata Nico berbinar dengan gembira. "Tara, apakah kamu peduli padaku?"     

"Aku hanya penasaran," Tara berpura-pura tidak peduli.     

"Pamanku ingin menjodohkanku dengan Raisa," Nico tidak menyembunyikannya dan mengatakan yang sesungguhnya pada Tara.     

"Untuk kerja sama keluarga kalian?" tanya Tara.     

"Hmm …" Nico tidak mengelak. Ia hanya berkata dengan suara pelan. "Aku menyukaimu. Aku tidak menyukai Raisa. tetapi sebagai anggota Keluarga Atmajaya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. sama seperti saat tiga tahun lalu. pamanku juga tidak menyukai Natali dan Natali tidak menyukai pamanku, tetapi pada akhirnya mereka masih harus bertunangan."     

"Itu bukan pertunangan. Itu hanyalah kesepakatan. Apa artinya pernikahan jika semua itu hanyalah berdasarkan uang?" Tara menatap Nico dengan simpatik. "Sebelumnya, aku selalu iri pada kehidupanmu yang penuh dengan kemewahan. Tetapi sekarang, aku merasa jauh lebih bebas menjadi diriku sendiri."     

Nico menertawai dirinya sendiri, "Tentu saja jika kamu menginginkan kemewahan di dalam hidupmu, kamu juga harus mengorbankan sesuatu. Menjadi anggota Atmajaya tidak seindah kelihatannya. Begitu aku mendapatkan caranya, aku akan membawamu kawin lari."     

"Aku tidak mau kawin lari denganmu. Kalau kamu bukan Nico Atmajaya, kamu tidak memiliki apa-apa. aku tidak mau hidup susah," Tara seperti menyiramkan air dingin pada tekad Nico, memintanya untuk menyerah pada ide kawin lari secepat mungkin. Ia tidak akan bisa pergi bersama dengan Nico.     

Tara merasa bahwa hidupnya saat ini sudah cukup baik. Cinta bukanlah satu-satunya hal yang terpenting di dunia ini.     

Setelah orang tuanya meninggal, kakeknya adalah satu-satunya orang yang berharga untuknya di dunia ini.     

Ia ingin menghasilkan banyak uang dan berbakti pada kakeknya yang sudah merawatnya hingga saat ini.     

Cinta bukanlah segalanya. Ia lebih baik menyerah pada cinta daripada menyerahkan seluruh kehidupannya.     

Lebih baik ia menganggap Nico sebagai teman saja. Menjaga hubungan pertemanan jauh lebih mudah dibandingkan menjaga hubungan percintaan.     

"Tara, jika suatu hari nanti aku bertunangan dengan orang lain dan kamu belum menikah. Bisakah kamu menungguku beberapa tahun?" tanya Nico.     

"Mengapa kamu begitu egois? Mengapa kamu bisa bertunangan dengan orang lain dan memintaku untuk menunggumu? Aku akan menikah terlebih dahulu daripada kamu."     

Akhirnya, Nico hanya bisa menyerah saat melihat Tara semakin kesal padanya. Ia juga tidak ingin kehilangan temannya.     

Nico merangkul pundak Tara dan menepuknya. "Tara, kamu memang teman baikku."     

"Hmm … Kalau kamu memang menganggapku teman baik, bagaimana kalau kamu juga membelikan anggur untukku?" kata Tara dengan sengaja.     

"Ya, ya, ya …" Nico memutar bola matanya, tetapi ia tetap memberikan apa yang Tara inginkan.     

…     

Anya dan Aiden sedang berjalan dengan santai, menuju ke mobil mereka. Begitu mereka tiba di depan mobil, pengawal Aiden langsung membukakan pintu.     

Mereka segera pulang ke rumah tanpa menunggu Nico dan Tara.     

Hari belum larut sehingga Anya dan Aiden memutuskan untuk menghabiskan waktu di ruang keluarga. Anya memegang sebuah buku tebal dan membacanya dengan serius sambil bersandar di pelukan Aiden. Sementara mata Aiden tertuju pada televisi yang menyala di hadapannya.     

Salah satu tangannya memeluk pinggang Anya dengan erat. Meski pandangannya tertuju pada televisi, tangannya tetap memeluk Anya dengan erat dan menarik tubuh istrinya sehingga tidak ada jarak di antara mereka.     

Ketika Anya dan Aiden sedang bersantai di sofa ruang keluarga, Nico datang sambil membawa sebotol anggur di tangannya.     

"Paman, aku membawakan botol anggurmu. Berhentilah bermesraan!" Nico mengeluh ketika melihat dua orang yang bermesraan di ruang keluarga itu. Hatinya masih sakit karena ditolak oleh Tara, tetapi ia malah harus melihat Paman dan Bibinya terus menempel satu sama lain seperti perangko.     

Pipi Anya merona dan ia langsung mendorong tubuh Aiden agar sedikit menjauh darinya. Ia menatap ke arah Nico dan tersenyum malu-malu. "Terima kasih sudah membawakannya. Pulanglah, sudah malam."     

"Tidak usah berterima kasih padaku, Bibi. Kita kan keluarga. Kalau Bibi butuh bantuanku, katakan saja," kata Nico sambil menepuk dadanya.     

"Nico, kapan kamu pulang ke rumah?" tanya Aiden.     

"Pulang ke rumah? Rumah Keluarga Atmajaya?" Nico mengerutkan keningnya. "Aku tidak berniat kembali. Paman dan Harris tinggal di sini. Aku juga ingin tinggal di sini. Kita bisa saling membantu!"     

"Membantu? Kamu hanya ingin makan masakan Hana," dengus Aiden.     

"Paman, aku tidak akan merepotkanmu. Aku berjanji tidak akan mengganggu kalian. Aku bisa berjanji apa pun kepadamu selama aku bisa tinggal di sini," Nico langsung memohon agar ia tidak pulang ke rumah Atmajaya. Ia lebih suka tinggal di tempat ini.     

"Aku tidak mau tinggal di rumah ini dulu karena tempat ini kosong dan aku kesepian. Tetapi aku sudah terbiasa tinggal di tempat ini. Bu Hana juga membantuku untuk membersihkan rumah dan mencuci baju. Aku bisa ikut makan dengan kalian setiap hari. Aku benar-benar tidak ingin pulang," kata Nico. Sebenarnya, bukan hanya itu alasan satu-satunya mengapa ia tidak ingin pulang.     

Aiden melirik ke arah Nico. "Melarikan diri tidak akan menyelesaikan masalah."     

"Selama aku tidak muncul di hadapan kakek, kakek tidak akan bisa menemukanku dan tidak akan bisa memaksaku untuk menghadiri kencan buta," kata Nico.     

"Jadi, kamu tinggal di tempat ini untuk menghindari kencan buta?" Anya baru menyadarinya.     

Kalau bukan karena alasan itu, mana mau Nico menyaksikan kemesraan Aiden dan Anya setiap hari.     

"Bibi, tolong bantu aku. Suruh Paman mengasihani aku dan tidak mengusirku. Aku janji tidak akan mengganggu kalian," kata Nico.     

Anya memeluk tangan Aiden dengan lembut dan membantu Nico. "Aiden, biarkan Nico tinggal di sini. Jangan paksa dia untuk kencan buta. Hidup bersama dengan orang yang tidak kamu cintai seumur hidup sama saja dengan penderitaan," kata Anya.     

Nico langsung mengangguk-angguk dengan penuh semangat, menyetujui kata-kata Anya.     

"Jika aku adalah kepala Keluarga Atmajaya, aku tidak akan pernah memaksamu untuk menikahi orang yang tidak kamu cintai. Aku juga pernah merasakannya dan aku baru saja terbebas. Pulanglah. Jangan melibatkan bibimu," suara Aiden terdengar datar dan tanpa emosi.     

Untuk melindungi Anya dan keluarga kecilnya, Aiden lebih memilih untuk mengorbankan Nico.     

Note :     

Please support my other novels in the webnovel application, Thankyou! ^^     

- Istri Supermodel https://www.webnovel.com/book/istri-supermodel-(for-sale!)_17294214406387705     

- Pangeran Sekolah Adalah Peliharaan Kesayanganku https://www.webnovel.com/book/pangeran-sekolah-adalah-peliharaan-kesayanganku_17805232805997105     

- Suami Pernikahan Percobaan : Si Cantik Pemuas Hasrat CEO Liar https://www.webnovel.com/book/suami-pernikahan-percobaan-si-cantik-pemuas-hasrat-ceo-liar_17805308206129805     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.